Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image aulia syaharani

Kenapa Kita Sering Overthinking Sebelum Tidur: Perang antara Otak Logika dan Emosi

Eduaksi | 2025-10-25 15:08:05

Pendahuluan

Bayangkan ini: kamu sudah mematikan lampu, layar HP sudah diletakkan, tubuh pun sudah siap tidur. Tapi justru di saat itu, pikiran mulai sibuk. Kamu mengulang percakapan yang terjadi pagi tadi, menyesali keputusan masa lalu, atau mencemaskan hari esok. Semakin kamu mencoba mengosongkan pikiran, semakin padat lalu lintasnya. Inilah overthinking sebelum tidur,fenomena umum yang dirasakan banyak orang, namun sering diabaikan sebagai “sekadar kebiasaan”.

Namun sesungguhnya, overthinking sebelum tidur bukanlah persoalan biasa. Ia merupakan hasil dari dinamika kompleks antara sistem saraf, aktivitas otak, hormon, dan kebiasaan mental yang saling mempengaruhi. Dalam konteks biopsikologi, ini bisa dipahami sebagai benturan antara sistem kognitif dan sistem emosional, yang ironisnya terjadi saat seluruh tubuh justru ingin beristirahat. Esai ini membongkar proses biologis di balik fenomena ini, menjelaskan mengapa pikiran kita “berisik” saat malam, dan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya.

1. Otak: Mesin yang Tidak Pernah Benar-Benar Diam

Otak manusia tidak pernah mati meskipun kita tidur. Bahkan, beberapa bagian otak menunjukkan peningkatan aktivitas saat tidur, khususnya dalam fase REM (rapid eye movement). Tapi sebelum kita benar-benar tertidur, ada fase transisi bernama “pre-sleep”atau tahap “hypnagogic” ini adalah momen ketika tubuh mulai rileks, tetapi otak masih cukup aktif.

Menurut hasil penelitian dalam bidang neuropsikologi, aktivitas otak saat malam hari banyak melibatkan DMN (default mode network) sebuah jaringan saraf yang aktif saat kita tidak fokus pada dunia luar dan mulai mengarahkan perhatian ke dalam (Raichle et al., 2001). Aktivasi DMN inilah yang mendorong kita merenung, mengingat, dan mengantisipasi. Pada orang yang sedang mengalami tekanan emosional atau kelelahan mental, aktivitas ini bisa meningkat drastis, memicu arus pikiran tak berujung yang kita sebut “overthinking”.

2. Prefrontal Cortex vs Amigdala: Siapa yang Memegang Kendali?

Secara struktural, overthinking adalah hasil dari ketidakseimbangan antara “korteks prefrontal” dan amigdala. Prefrontal cortex berfungsi sebagai pusat logika, kontrol impuls, dan perencanaan. Di sisi lain, amigdala adalah pusat respons emosional, terutama untuk rasa takut, cemas, dan marah.

Di siang hari, prefrontal cortex bekerja lebih aktif, karena kita sibuk berpikir rasional, bekerja, dan membuat keputusan. Namun saat malam, terutama menjelang tidur, korteks prefrontal cenderung mulai melambat. Dalam kondisi ini, amigdala yang lebih impulsif dan emosionalmulai mengambil alih. Hal ini menyebabkan emosi menjadi lebih nyaring, sementara filter logis menjadi lemah (Yoo et al., 2007). Kombinasi ini menciptakan “internal dialogue” yang penuh kekhawatiran, penyesalan, atau imajinasi negatif.

3. Sistem Saraf Simpatik: Aktif Saat Harusnya Diam

Tubuh manusia memiliki dua sistem saraf otonom utama: “simpatik” (fight or flight) dan “parasimpatik” (rest and digest). Idealnya, saat malam hari, sistem parasimpatik mengambil alih, menurunkan detak jantung, memperlambat pernapasan, dan mempersiapkan tubuh untuk tidur.

Namun, pada orang yang sering overthinking, sistem simpatik justru tetap aktif. Detak jantung naik, napas menjadi dangkal, dan otot tetap tegang seolah-olah ada ancaman yang harus dihadapi. Ini adalah kondisi hiperarousal kronis, yang tidak hanya mengganggu tidur, tapi juga bisa memperburuk gangguan kecemasan dan depresi jangka panjang (Riemann et al., 2010).

4. Perspektif Evolusioner: Otak yang Waspada di Tengah Kegelapan

Secara evolusioner, malam hari adalah waktu yang paling berisiko bagi manusia purba. Dalam kegelapan, potensi ancaman dari predator atau musuh lebih tinggi. Otak manusia pun berevolusi untuk lebih waspada saat gelap, dan mengandalkan proses berpikir internal sebagai bentuk antisipasi bahaya.

Meskipun sekarang kita hidup dalam dunia yang relatif aman, warisan evolusi ini tetap tertanam. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak orang lebih cemas di malam hari otak kita secara tidak sadar masih berjaga. Maka ketika muncul beban pikiran, otak menafsirkan itu sebagai potensi ancaman, memicu reaksi stres biologis.

5. Dampak Jangka Panjang: Overthinking Bukan Sekadar Gangguan Tidur

Kebiasaan overthinking sebelum tidur tidak hanya mengganggu kualitas tidur, tetapi juga bisa merusak fungsi otak jangka panjang. Kurangnya tidur berkualitas berdampak pada:

• Penurunan fungsi eksekutif (fokus, memori kerja)

• Meningkatkan risiko gangguan mood (depresi, gangguan kecemasan)

• Gangguan regulasi emosi

• Disregulasi hormonal seperti peningkatan kortisol kronis dan penurunan serotonin (Walker, 2009)

Siklus ini bisa menjadi “lingkaran setan” : semakin sering overthinking, semakin buruk kualitas tidur; semakin buruk tidur, semakin mudah cemas di hari berikutnya.

6. Intervensi Biopsikologis: Apa yang Bisa Dilakukan?

Memahami akar biologis dari overthinking membuka jalan bagi solusi yang lebih efektif. Beberapa pendekatan yang berbasis ilmu antara lain:

Latihan pernapasan dalam (deep breathing): Membantu mengaktifkan sistem parasimpatik dan menurunkan aktivitas amigdala.

Mindfulness dan meditasi: Secara ilmiah terbukti mengurangi aktivitas DMN dan menurunkan tingkat kortisol (Tang et al., 2007).

Sleep hygiene: Mengatur waktu tidur tetap, menjauhkan layar 1 jam sebelum tidur, mengurangi konsumsi kafein, serta menciptakan lingkungan tidur yang tenang dan gelap.

Menulis jurnal sebelum tidur:Menurut penelitian, menuliskan isi pikiran sebelum tidur membantu otak melepaskan beban mental yang memicu overthinking (Smyth, 1998).

Terapi kognitif berbasis neuropsikologi:Seperti CBT-I (Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia) yang mengajarkan otak untuk memutus asosiasi antara tempat tidur dan kecemasan.

Kesimpulan

Overthinking sebelum tidur bukan sekadar kebiasaan buruk atau sifat melankolis. Ia adalah hasil dari kerja sistem saraf yang kompleks, ketidakseimbangan antara logika dan emosi, serta warisan evolusioner yang membuat kita waspada dalam diam. Pada dasarnya, ini adalah bentuk kecerdasan otak yang salah waktu.

Namun, dengan memahami proses biologis dan psikologis di baliknya, kita tidak lagi menjadi korban dari pikiran sendiri. Kita bisa mulai membentuk ulang kebiasaan, menenangkan sistem saraf, dan merebut kembali waktu tidur sebagai ruang pemulihan, bukan arena peperangan pikiran.

Referensi

Gooley, J. J., Chamberlain, K., Smith, K. A., Khalsa, S. B. S., Rajaratnam, S. M., Van Reen, E., ... & Lockley, S. W. (2011). Exposure to room light before bedtime suppresses melatonin onset and shortens melatonin duration in humans. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 96(3), E463–E472.

Raichle, M. E., MacLeod, A. M., Snyder, A. Z., Powers, W. J., Gusnard, D. A., & Shulman, G. L. (2001). A default mode of brain function. Proceedings of the National Academy of Sciences, 98(2), 676–682.

Riemann, D., Spiegelhalder, K.,

Feige, B., Voderholzer, U., Berger, M., Perlis, M., & Nissen, C. (2010). The hyperarousal model of insomnia: A review of the concept and its evidence. Sleep Medicine Reviews, 14(1), 19–31.

Smyth, J. M. (1998). Written emotional expression: Effect sizes, outcome types, and moderating variables. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 66(1), 174–184.

Tang, Y. Y., Ma, Y., Wang, J., Fan, Y., Feng, S., Lu, Q., ... & Posner, M. I. (2007). Short-term meditation training improves attention and self-regulation. Proceedings of the National Academy of Sciences, 104(43), 17152–17156.

Walker, M. P. (2009). The role of sleep in cognition and emotion. Annals of the New York Academy of Sciences 1156(1), 168–197.

Yoo, S. S., Gujar, N., Hu, P., Jolesz, F. A., & Walker, M. P. (2007). The human emotional brain without sleep — a prefrontal amygdala disconnect. Current Biology, 17(20), R877–R878.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image