Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mochamad Tazu Subki

Izin Lingkungan IKN dan Krisis Kepercayaan terhadap Negara Hukum

Hukum | 2025-10-24 16:52:10
Sumber foto : Willy Kurniawan

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur disebut sebagai simbol transformasi besar menuju pemerataan pembangunan nasional. Pemerintah menempatkan proyek ini sebagai Proyek Strategis Nasional yang diharapkan menjadi wajah baru Indonesia yang modern dan berkelanjutan. Namun, di balik narasi optimistis itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah ambisi besar tersebut dijalankan dengan menghormati prinsip negara hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik?

Sengketa izin lingkungan IKN yang kini bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menguji sejauh mana pemerintah konsisten menjalankan hukum administrasi negara dalam praktik. Keterbukaan yang Dipertanyakan Beberapa organisasi masyarakat sipil menggugat penerbitan izin lingkungan proyek IKN karena dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dengan tegas mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Minimnya ruang partisipasi publik tidak hanya melanggar prinsip keterbukaan, tetapi juga menggerus legitimasi kebijakan.

Dalam konteks hukum administrasi negara, pelanggaran terhadap prosedur yang bersifat wajib dapat menjadikan suatu keputusan administratif berstatus cacat hukum. Artinya, meskipun proyek IKN memiliki kepentingan strategis nasional, setiap langkah tetap harus tunduk pada norma hukum yang berlaku. Antara Kewenangan dan Kepatuhan Prosedural Secara prinsip, setiap keputusan pejabat publik harus sah baik dari sisi kewenangan maupun prosedur.

Pemerintah memang memiliki hak untuk mengeluarkan izin lingkungan, tetapi hak tersebut tidak bersifat absolut. Ia dibatasi oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti kepastian hukum, kehati-hatian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Prosedur hukum tidak dapat dianggap sekadar formalitas birokrasi. Ia merupakan mekanisme perlindungan bagi masyarakat agar keputusan pemerintah tidak menimbulkan kerugian yang tidak sah.

Bila tahapan konsultasi publik atau uji kelayakan lingkungan tidak dilakukan secara memadai, keputusan tersebut dapat digugat dan dibatalkan oleh PTUN. Diskresi dan Batas Kekuasaan Sering kali, alasan “percepatan pembangunan” dijadikan pembenaran untuk menyederhanakan prosedur administrasi. Dalam politik pembangunan, logika ini tampak rasional. Tetapi dalam hukum administrasi negara, penyederhanaan bukanlah alasan untuk mengabaikan hukum.

Diskresi pejabat publik memang diakui, tetapi penggunaannya harus tetap dalam kerangka kepentingan umum dan proporsionalitas. Ketika diskresi digunakan untuk mengesampingkan prinsip kehati-hatian atau mengabaikan partisipasi publik, maka hal itu berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Dengan kata lain, niat mempercepat pembangunan tidak dapat mengorbankan ketaatan hukum. Pembangunan yang sah harus berjalan seiring dengan keabsahan tindakan pemerintah.

PTUN sebagai Penjaga Akuntabilitas Sengketa izin lingkungan IKN mengingatkan kembali pada pentingnya keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai penjaga batas kekuasaan eksekutif. PTUN bukan sekadar tempat warga menggugat keputusan administratif, tetapi forum untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan dalam koridor hukum dan prinsip keadilan.

Melalui PTUN, masyarakat dapat menilai apakah pemerintah telah memenuhi syarat sahnya keputusan, baik dari sisi kewenangan maupun prosedur. Jika tidak, maka keputusan itu harus dibatalkan demi tegaknya kepastian hukum. Namun, dalam praktik, tekanan politik sering kali menggeser prioritas penegakan hukum administrasi. Proyek yang dinilai terlalu strategis sering ditempatkan di atas hukum. Padahal, justru di situ negara hukum diuji: apakah hukum masih menjadi panglima, atau sekadar alat legitimasi kekuasaan?

Menegakkan Hukum dalam Pembangunan Kasus izin lingkungan proyek IKN memberi pelajaran penting bahwa pembangunan besar tidak boleh mengorbankan prinsip negara hukum. Kepatuhan pada prosedur bukan hambatan, melainkan jaminan agar pembangunan memiliki legitimasi moral dan sosial. Negara hukum tidak diukur dari seberapa cepat pemerintah membangun, tetapi dari seberapa taat ia pada hukum dalam proses membangun.

Jika pemerintah ingin masyarakat menghormati hukum, maka pemerintah harus menjadi contoh utama dalam menegakkannya. IKN boleh menjadi simbol masa depan Indonesia. Tetapi masa depan itu hanya akan berkelanjutan bila dibangun dengan fondasi hukum yang kokoh, partisipasi publik yang bermakna, dan komitmen nyata terhadap transparansi. Tanpa itu, IKN hanya akan menjadi simbol ambisi, bukan kemajuan hukum dan demokrasi.

-- Mochamad Tazu Subki Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image