Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ruslan Sudrajat

Demam Status P3K: Antara Janji Kesejahteraan dan Beban APBD Daerah

Rubrik | 2025-12-04 10:33:18
Ilustrasi pengangkatan PPPK. Foto: Kompas

Oleh: Ruslan Sudrajat Mahasiswa Magister Sosiologi Uin Sunan Gunung Djati Bandung

Membaca Ledakan Pengangkatan PPPK bagi Tenaga Honorer lewat Perspektif Sosiologi

Setiap kali pengumuman kelulusan PPPK/P3K dirilis, linimasa media sosial dipenuhi foto-foto SK, ucapan syukur, dan testimoni “akhirnya resmi jadi ASN”. Padahal, jika dilihat secara nominal, gaji PPPK di banyak daerah tidak selalu jauh di atas upah minimum, dan bahkan masih kalah dari sebagian pekerjaan di sektor swasta. Namun, status “ASN P3K” seolah menjadi sesuatu yang “wajib” bagi banyak warga kelas menengah-bawah di Indonesia: sebuah tiket menuju martabat sosial dan rasa aman di masa depan.

Fenomena “demam status P3K” ini tidak bisa hanya dibaca sebagai soal teknis kebijakan kepegawaian. Di baliknya ada proses sosial yang kompleks: bagaimana negara menata ulang tenaga honorer, bagaimana pemerintah daerah menanggung beban gaji dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)/APBD, dan bagaimana individu memaknai status kerja di tengah ketidakpastian ekonomi.

PPPK sebagai Instrumen Penataan Negara: Level Makro

Secara hukum, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah warga negara yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas di lingkungan pemerintahan, dan secara kedudukan termasuk dalam rumpun Aparatur Sipil Negara (ASN) bersama PNS. Landasannya antara lain UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, kemudian diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2023, serta diatur lebih teknis dalam PP dan regulasi turunannya.

Kebijakan penghapusan honorer dan penyerapan mereka menjadi PPPK—termasuk skema PPPK paruh waktu—bisa dibaca sebagai strategi makro negara untuk:

 

  1. Merapikan administrasi kepegawaian yang selama ini dipenuhi kategori “honorer”, “tenaga kontrak”, dan “non-ASN” yang rentan eksploitasi.
  2. Mengurangi tekanan politik dari jutaan tenaga honorer yang selama bertahun-tahun menuntut kepastian status kerja.
  3. Menerapkan logika manajemen ala New Public Management, di mana kontrak kerja, evaluasi kinerja, dan fleksibilitas menjadi kata kunci.

Dalam perspektif sosiologi, kebijakan PPPK juga bisa dibaca sebagai bagian dari lahirnya “kelas precariat” di sektor publik—pekerja yang diakui negara, tetapi tetap terikat pada kontrak waktu tertentu, selalu hidup dalam kemungkinan tidak diperpanjang. Status “ASN” memberi legitimasi simbolik, tetapi bentuk hubungan kerja tetap berkarakter fleksibel.

Artinya, di level makro, negara menawarkan kombinasi unik: status tinggi (ASN) dengan hubungan kerja kontraktual. Inilah paradoks yang sering tidak disadari publik ketika merayakan kelulusan PPPK.

Beban APBD dan Politik Organisasi Daerah: Level Meso

Jika diturunkan ke level organisasi, terutama di pemerintah daerah, PPPK bukan hanya soal status, tetapi juga soal arus kas. Regulasi penggajian menyebutkan bahwa gaji dan tunjangan PPPK instansi pusat dibebankan pada APBN, sedangkan PPPK di instansi daerah dibebankan pada APBD.

Di atas kertas, ada tabel gaji PPPK nasional yang diatur melalui Perpres No. 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK. Namun pada praktiknya, kemampuan fiskal setiap daerah tidak sama. Beberapa daerah dengan PAD kuat relatif lebih siap menanggung gaji PPPK; daerah lain dengan PAD terbatas akan merasakan tekanan yang lebih besar ketika formasi PPPK membengkak.

Masuknya skema PPPK Paruh Waktu 2025, yang gajinya minimal setara upah minimum daerah atau setidaknya sama dengan penghasilan terakhir saat honorer, makin menegaskan bahwa desain ini diarahkan agar lebih “fleksibel” terhadap kemampuan anggaran daerah. Di satu sisi ini solusi agar honorer tidak “dibuang”, di sisi lain membuka ruang ketimpangan baru antar daerah, dan antar pegawai di dalam tubuh ASN itu sendiri.

Dari sudut pandang sosiologi, struktur birokrasi daerah kini diisi oleh kelas masyarakat:

PNS tetap dengan jenjang karier linier,

PPPK penuh waktu,

PPPK paruh waktu,

dan sisa-sisa tenaga non-ASN yang belum terakomodasi.

Relasi kuasa di kantor-kantor pemerintah daerah menjadi semakin berlapis. Max Weber menyebut birokrasi modern sebagai organisasi rasional-legal, tetapi dalam kasus PPPK, rasionalitas itu bersinggungan dengan politik anggaran dan patronase lokal. Siapa yang lebih mudah diangkat? Siapa yang dapat formasi penuh waktu, siapa yang “cukup” paruh waktu? Keputusan-keputusan ini sering kali dipengaruhi bukan hanya oleh kinerja, tetapi juga jaringan sosial dan kalkulasi politik lokal.

Status, Martabat, dan Mimpi Kelas Menengah-Bawah: Level Mikro

Di level mikro, kita perlu memahami mengapa status P3K begitu diburu meski gajinya belum tentu tinggi. Di sinilah teori Bourdieu tentang modal simbolik.

Bagi banyak keluarga Indonesia, terutama di desa dan kota kecil, menjadi ASN—baik PNS maupun PPPK—adalah simbol naik kelas. Kartu tanda ASN, seragam kerja, dan SK pengangkatan memberi rasa diakui negara. Status ini menjadi modal simbolik yang bisa diubah menjadi modal sosial (pengaruh di komunitas) dan modal budaya (pengakuan sebagai “orang berpendidikan”).

Dari perspektif ini, pilihan mengejar seleksi PPPK 2024–2025, mengikuti bimbingan belajar, hingga rela menunggu bertahun-tahun sebagai honorer, tidak bisa disederhanakan sebagai “tidak rasional”. Justru sangat rasional jika dilihat dari kalkulasi:

stabilitas penghasilan (meski tidak tinggi),

akses pada jaminan sosial dan pensiun,

serta kehormatan sosial sebagai ASN.

Namun, ada sisi lain: begitu status “ASN P3K” tercapai, ekspektasi sosial dan ekonomi ikut naik. Keluarga berharap hidup lebih sejahtera, cicilan rumah dan kendaraan mulai dipikirkan, tuntutan gaya hidup kelas menengah muncul. Ketika realitas gaji PPPK daerah yang terbatas dan bergantung APBD tidak mampu mengejar ekspektasi itu, potensi kekecewaan dan frustrasi pun muncul.

Di sinilah muncul gejala kesenjangan dimana norma lama tentang kerja honorer yang diganti norma baru tentang hidup layak sebagai ASN, tetapi struktur ekonomi belum sepenuhnya mendukung norma baru itu. Individu berada di antara harapan dan kenyataan yang tidak sinkron.

Menjernihkan Persepsi, Menata Politik Status

Dalam perspektif sosiologi, fenomena demam status P3K ini perlu dibaca secara lebih jernih dan holistik:

 

  1. Negara perlu jujur bahwa PPPK bukan “PNS versi diskon” tetapi juga bukan “tiket otomatis menuju kesejahteraan”. Kontrak waktu tertentu, ketergantungan pada APBD, dan skema paruh waktu harus dijelaskan apa adanya kepada publik, bukan hanya dikemas sebagai “kabar gembira honorer diangkat ASN”.
  2. Pemerintah daerah tak bisa sekadar bangga dengan jumlah PPPK yang diangkat, tetapi abai pada kapasitas fiskal. Jika belanja pegawai membengkak tanpa diimbangi peningkatan kualitas layanan publik, yang lahir adalah birokrasi gemuk dengan kinerja stagnan, dan PPPK justru berisiko dijadikan kambing hitam ketika krisis anggaran terjadi.
  3. Masyarakat dan calon pelamar PPPK perlu mengelola ekspektasi. Mengejar status ASN sah-sah saja, tetapi penting untuk tidak memitoskan P3K sebagai satu-satunya jalan hidup. Di tengah ekonomi yang makin fleksibel, diversifikasi keterampilan, jaringan, dan sumber penghasilan tetap krusial, bahkan bagi mereka yang sudah memegang SK PPPK.

Pada akhirnya, PPPK/P3K adalah cermin dari bagaimana negara, daerah, dan warga bernegosiasi soal status, pekerjaan, dan kesejahteraan. Jika dibaca dengan lensa sosiologi, kita bisa melihat bahwa masalahnya bukan sekadar “apakah honorer diangkat atau tidak”, melainkan: model negara seperti apa yang sedang kita bangun, dan kelas pekerja seperti apa yang sedang kita bentuk.

Opini ini bukan ajakan untuk menolak PPPK, tetapi ajakan untuk mengkritisi “politik status” di baliknya. Sebab, di tengah euforia status ASN, kita jangan lupa bertanya: apakah yang betul-betul meningkat adalah status sosial pegawai, atau justru beban baru bagi daerah dan generasi pekerja yang kian terjebak dalam kontrak tanpa akhir?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image