Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rama Kurnia Santosa

Sastra adalah Terapi Manusia Paling Sederhana

Sastra | 2025-10-24 08:27:03

Sastra bukan sekadar permainan kata, bukan sekadar hiasan bagi pikiran yang ingin tampak cerdas. Ia adalah nafas yang tersisa dari manusia yang hampir kehilangan kewarasan. Di tengah dunia yang semakin riuh, di mana kebisingan menggantikan keheningan batin, sastra muncul seperti doa yang tak pernah selesai diucapkan. Manusia menulis bukan karena ingin dikenal, melainkan karena ingin bertahan, bertahan dari pikirannya sendiri, dari kebisingan yang membentuk dunia, dari kesunyian yang menelan akal sehatnya pelan-pelan.

Aku percaya bahwa setiap manusia memiliki raksasa di dalam dirinya, sesuatu yang tersembunyi di balik wajah yang tenang, di balik tutur kata yang sopan. Sastra, dengan segala kesunyiannya, adalah cara untuk berdamai dengan keraksasaan yang hidup dalam diri manusia. Ia bukan terapi yang lembut, melainkan pisau bedah yang mengiris luka paling dalam agar nanahnya keluar. Dalam setiap kalimat, manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, ketakutan yang disembunyikan, dosa yang disangkal, dan kebohongan yang selama ini dianggap kebenaran. Menulis adalah mengakui bahwa kita rapuh, dan mungkin, dengan mengakui itu mungkin membuat kita menjadi manusia yang seharusnya.

Sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, sebab keindahan yang sejati lahir dari penderitaan. Ia adalah cermin yang menampakkan betapa kecilnya kita di hadapan hidup, betapa sering kita tak berdaya, bahkan terasingkan. Seperti seekor rusa yang terjun ke jurang, kehilangan arah, berusaha menemukan koloninya, manusia dalam sastra juga tersesat, namun dalam kesesatan itulah ia menemukan makna. Di dalam kesunyian kata, ia mendengar suaranya sendiri, sesuatu yang dunia seringkali bisukan.

Barangkali itulah alasan mengapa manusia menulis. Bukan karena ingin abadi, melainkan karena takut dilupakan oleh dirinya sendiri. Sastra menjadi cara untuk merekam kegelisahan, ketakutan, kebencian, dan kasih yang tak sempat diungkap. Ia menyimpan versi paling rapuh dari diri manusia, versi yang mungkin sudah lama hilang di antara tumpukan kewajiban dan rutinitas. Namun ironisnya, justru kerentanan itulah yang paling jujur, yang paling hidup. Karena betapa jarangnya manusia hari ini berani melihat dirinya sendiri sejujur itu.

Sastra adalah rumah bagi jiwa yang terusir. Di dalamnya, manusia bisa menangis tanpa rasa malu, atau marah tanpa harus membenarkan dirinya. Ia menjadi tempat pengakuan, tempat di mana setiap kebohongan sosial runtuh dan setiap luka kembali bersuara. Tak ada yang lebih manusiawi daripada menulis atau membaca dengan hati yang terbuka, sebab di sanalah penderitaan bertemu dengan pengertian, dan kegilaan bertemu dengan kasih.

Dunia hari ini mungkin telah kehilangan arah. Namun selama masih ada manusia yang menulis, yang berani membuka luka dan menatapnya tanpa berpaling, masih ada harapan bahwa kita belum sepenuhnya mati. Sastra adalah cara manusia melawan kehancuran dengan kata-kata. Ia bukan sekadar bahasa, tetapi perlawanan yang sunyi, sebuah upaya terakhir agar manusia tetap bisa disebut manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image