Begadang Demi Tugas: Dampak Ritme Tidur Tidak Teratur terhadap Otak Mahasiswa
Eduaksi | 2025-10-22 10:51:18Begadang Demi Tugas: Dampak Ritme Tidur Tidak Teratur terhadap Otak Mahasiswa
Pendahuluan
Dalam dunia kehidupan akademik mahasiswa yang penuh tuntutan, Fenomena begadang telah menjadi bagian yang hampir tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Tuntutan akademik yang tinggi, tekanan sosial, serta budaya produktivitas yang berlebihan sering kali membuat mahasiswa mengorbankan waktu istirahatnya demi menyelesaikan tanggung jawab akademik. Fenomena ini seolah menjadi simbol perjuangan, ketekunan, bahkan kedewasaan dalam dunia akademik. Hal ini juga sering kali dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik atau kegiatan lain di luar perkuliahan seperti organisasi. Namun, di balik kebiasaan tersebut, terdapat dampak serius terhadap keseimbangan biologis dan psikologis individu. Dalam perspektif biopsikologi, tidur bukan sekadar aktivitas istirahat, tetapi proses biologis kompleks yang melibatkan sistem saraf pusat, hormon, dan fungsi kognitif otak. Selama tidur, otak bekerja untuk mengonsolidasi memori, meregenerasi sel, serta menstabilkan suasana hati. Ketika tidur terganggu atau berkurang, fungsi otak pun tidak berjalan optimal. Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa mahasiswa yang sering begadang cenderung mengalami kesulitan berkonsentrasi, mudah lupa, serta rentan terhadap stres dan perubahan emosi. Gangguan terhadap ritme tidur yang teratur dapat memicu berbagai disfungsi pada sistem saraf pusat yang berdampak langsung terhadap performa akademik dan kesehatan mental mahasiswa. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kebiasaan begadang mahasiswa dari sudut pandang biopsikologi agar dapat dipahami bahwa tidur bukan sekadar kebutuhan sekunder, melainkan fondasi utama bagi keseimbangan tubuh dan pikiran.
Pembahasan
Dalam pandangan biopsikologi, perilaku manusia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas biologis yang terjadi di dalam otak. Tidur merupakan salah satu proses fisiologis yang bersiklus bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan (Potter & Perry, 2005). Selama tidur, otak tidak sepenuhnya beristirahat, melainkan melakukan aktivitas pemulihan seperti konsolidasi memori, pembersihan sisa metabolik melalui sistem glinfatik, serta penyeimbangan neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan asetilkolin (Walker, 2017).
Secara psikologis, begadang juga dapat menciptakan siklus perilaku negatif. Ketika seseorang merasa kelelahan akibat kurang tidur, kemampuan fokus dan produktivitasnya menurun. Hal ini membuat pekerjaan atau tugas akademik tertunda, yang pada akhirnya memicu kebiasaan begadang kembali. Siklus ini berulang tanpa disadari, menimbulkan tekanan mental dan perasaan gagal mengatur waktu.
Kebiasaan begadang yang umum dilakukan mahasiswa mengacaukan ritme sirkadian, yaitu sistem biologis internal yang mengatur siklus tidur dan bangun berdasarkan paparan cahaya. Ritme ini dikendalikan oleh suprachiasmatic nucleus (SCN) yang terletak di hipotalamus. Ketika mahasiswa begadang dan tetap terpapar cahaya hingga larut malam, produksi hormon melatonin yang berfungsi menimbulkan rasa kantuk menjadi terhambat (McEwen, 2006). Akibatnya, tubuh mengalami kesulitan tidur pada waktu yang seharusnya, dan pola tidur pun menjadi tidak stabil.
Kondisi kurang tidur ini memiliki konsekuensi langsung terhadap fungsi hippocampus, yaitu bagian otak yang berperan dalam pembentukan memori jangka panjang. Penelitian oleh Curcio, Ferrara, dan De Gennaro (2006) menunjukkan bahwa individu yang kurang tidur mengalami penurunan signifikan dalam kapasitas belajar dan daya ingat. Selain itu, prefrontal cortex, yang berperan dalam pengambilan keputusan dan pengendalian diri, juga mengalami penurunan aktivitas. Hal ini menjelaskan mengapa mahasiswa yang sering begadang cenderung sulit fokus, mudah tersinggung, dan lebih rentan terhadap stres.
Dari sisi hormonal, begadang memicu peningkatan kadar kortisol, hormon stres utama tubuh. Peningkatan kortisol yang berulang menyebabkan tubuh berada dalam kondisi siaga berkepanjangan, yang dalam jangka panjang dapat mengganggu sistem kekebalan dan keseimbangan emosi (Banks & Dinges, 2007). Mahasiswa yang mengalami deprivasi tidur kronis juga cenderung menunjukkan gejala anxiety, burnout, dan mood swing, karena aktivitas amigdala pusat emosi dalam otak menjadi lebih reaktif tanpa pengendalian optimal dari prefrontal cortex (Killgore, 2010).
Dengan demikian, fenomena begadang bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan refleksi dari ketidakseimbangan biologis dan psikologis mahasiswa. Dari perspektif biopsikologi, tubuh dan pikiran bekerja dalam sistem yang terintegrasi; gangguan terhadap salah satu akan berdampak pada keseluruhan. Dalam konteks akademik, kurangnya tidur dapat menurunkan kemampuan adaptif otak terhadap stres, melemahkan motivasi, serta menurunkan produktivitas secara signifikan.
Kesimpulan
Tidur bukanlah bentuk kemalasan, melainkan kebutuhan biologis yang sangat dibutuhkan bagi keseimbangan otak dan tubuh. Dalam konteks kehidupan mahasiswa modern, begadang sering kali dipandang sebagai simbol kerja keras dan dedikasi, padahal dari perspektif biopsikologi, hal tersebut justru menandakan gangguan terhadap ritme alami tubuh yang dapat berdampak pada fungsi kognitif, emosional, dan fisiologis.
Gangguan tidur kronis menghambat kerja hippocampus dan prefrontal cortex, meningkatkan kadar kortisol, serta menurunkan kemampuan otak untuk fokus dan mengendalikan emosi. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk membangun kesadaran baru bahwa produktivitas sejati tidak hanya diukur dari seberapa lama mereka terjaga, tetapi seberapa sehat otak dan pikiran mereka bekerja.
Mahasiswa yang terbiasa begadang sebenarnya tengah melawan fitrah tubuhnya. Dalam jangka panjang, hal ini bukan hanya menurunkan performa akademik, tetapi juga menimbulkan ketidakseimbangan emosional dan spiritual. Maka, menjaga tidur bukan sekadar urusan biologis, tetapi juga bentuk ketaatan karena dalam istirahat yang cukup, manusia sedang merawat amanah tubuh dan jiwa yang Allah titipkan.
Tidur yang cukup bukanlah bentuk kelemahan, melainkan strategi biologis yang paling mendasar untuk menjaga daya pikir, keseimbangan jiwa, dan kualitas hidup terutama di kalangan mahasiswa.
Daftar Referensi
Banks, S., & Dinges, D. F. (2007). Behavioral and physiological consequences of sleep restriction. Journal of Clinical Sleep Medicine, 3(5), 519–528.
Curcio, G., Ferrara, M., & De Gennaro, L. (2006). Sleep loss, learning capacity and academic performance. Sleep Medicine Reviews, 10(5), 323–337.
Killgore, W. D. S. (2010). Effects of sleep deprivation on cognition. Progress in Brain Research, 185, 105–129.
McEwen, B. S. (2006). Sleep deprivation as a neurobiologic and physiologic stressor: Allostasis and allostatic load. Metabolism, 55(10), S20–S23.
Walker, M. (2017). Why We Sleep: Unlocking the Power of Sleep and Dreams. Scribner.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
