Dari Menu Basi ke Trauma Anak: Apa yang Salah dengan Program MBG?
Lain-Lain | 2025-10-21 19:49:07
Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan sosial yang paling banyak disorot publik dalam beberapa pekan terakhir. Program ini diluncurkan dengan tujuan mulia: memastikan anak-anak sekolah di Indonesia mendapatkan makanan sehat dan bergizi agar tumbuh lebih kuat, cerdas, dan terhindar dari stunting. Namun, di balik gagasan yang baik tersebut, pelaksanaannya di lapangan justru menimbulkan polemik. Kasus makanan basi, pembagian bahan mentah, hingga munculnya trauma di kalangan siswa membuat publik bertanya: di mana letak kesalahan dalam implementasi program sebesar ini?
Secara konsep, MBG merupakan kebijakan progresif yang mencerminkan perhatian negara terhadap gizi anak bangsa. Pemerintah berupaya memastikan setiap siswa, terutama di wilayah rentan, memperoleh asupan nutrisi yang cukup untuk menunjang kesehatan dan konsentrasi belajar. Namun, sebagaimana banyak program sosial sebelumnya, idealisme kebijakan sering kali terbentur oleh realitas di lapangan.
Kasus yang viral di Dompu, Nusa Tenggara Barat, menjadi contoh nyata betapa buruknya sistem distribusi dan pengawasan di beberapa daerah. Dalam laporan Detik News (8 Oktober 2025), sejumlah siswa menolak memakan makanan yang disediakan karena kondisinya sudah basi dan berbau tidak sedap. Bahkan, beberapa anak dikabarkan mengalami rasa mual, sementara sisanya membuang makanan tersebut. Akibat kejadian itu, muncul rasa takut dan enggan di kalangan siswa untuk menerima menu MBG berikutnya. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) kemudian mengakui bahwa memang ada anak-anak yang mengalami trauma dan perlu pendekatan ulang agar kembali percaya pada program tersebut (Detik Health, 13 Oktober 2025).
Tak berhenti di sana, kasus lain muncul di Tangerang Selatan. Menurut laporan Seputar NTB (10 Oktober 2025), pembagian MBG dilakukan dalam bentuk bahan mentah yang dibagikan kepada siswa untuk dimasak sendiri. Langkah ini menuai kritik karena dianggap menyimpang dari tujuan utama program, yakni penyediaan makanan siap santap bergizi di sekolah. Pihak BGN segera mengklarifikasi bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai pedoman resmi dan merupakan inisiatif yang belum mendapat persetujuan. Tak lama kemudian, media sosial kembali dihebohkan oleh isu hoaks tentang “keracunan massal akibat MBG di Jawa Barat” yang akhirnya dibantah secara resmi oleh BGN (Detik Health, 17 Oktober 2025).
Rangkaian peristiwa tersebut memperlihatkan adanya persoalan sistemik dalam manajemen program sosial nasional. Permasalahan bukan semata pada teknis pelaksanaan di lapangan, melainkan pada lemahnya sistem koordinasi, pengawasan mutu, dan transparansi anggaran. Program sebesar MBG, yang melibatkan ribuan sekolah di berbagai daerah, semestinya memiliki mekanisme kontrol kualitas yang ketat sejak tahap pengadaan hingga distribusi. Pengawasan tidak boleh berhenti pada laporan administratif, melainkan harus menyentuh praktik nyata di lapangan.
Kelemahan lain terlihat pada aspek komunikasi dan transparansi publik. Hingga kini, data resmi tentang jumlah sekolah penerima manfaat, vendor penyedia, serta mekanisme evaluasi kualitas makanan belum dipublikasikan secara terbuka. Padahal, keterbukaan informasi merupakan kunci kepercayaan masyarakat terhadap program sosial pemerintah. Tanpa transparansi, berbagai isu dan spekulasi mudah menyebar, seperti yang terjadi dalam kasus hoaks keracunan.
Dampak sosial dari kekacauan pelaksanaan MBG pun tidak bisa diremehkan. Hilangnya kepercayaan publik terhadap program bantuan pangan bisa berimbas panjang terhadap penerimaan masyarakat terhadap kebijakan serupa di masa depan. Anak-anak yang mengalami pengalaman buruk berpotensi membawa trauma psikologis yang memengaruhi pola makan mereka. Dalam konteks sosial, beberapa siswa bahkan merasa malu saat menerima paket MBG karena dianggap “penerima bantuan”. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program sosial tidak hanya harus memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memperhatikan aspek psikologis dan rasa harga diri penerima manfaat.
Kritik tajam terhadap MBG juga seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar ajang saling menyalahkan. Pemerintah perlu melihat permasalahan ini sebagai peluang untuk memperbaiki sistem kebijakan sosial agar lebih akuntabel, transparan, dan berbasis partisipasi masyarakat. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah memperkuat pengawasan berbasis komunitas. Sekolah, komite orang tua, dan masyarakat setempat bisa dilibatkan langsung dalam proses pemantauan distribusi makanan dan pengecekan kualitas. Model partisipatif ini akan membantu menekan potensi penyimpangan sekaligus meningkatkan rasa memiliki terhadap program.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk menerapkan sistem audit publik secara rutin. Data terkait anggaran, vendor, dan hasil uji kualitas pangan harus dipublikasikan secara berkala agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Tanpa keterbukaan, kepercayaan publik tidak akan pulih.
Tak kalah penting, edukasi gizi di sekolah perlu menjadi bagian integral dari MBG. Anak-anak tidak hanya diberi makanan bergizi, tetapi juga diajarkan mengapa gizi itu penting dan bagaimana mengenali makanan sehat. Program yang edukatif akan jauh lebih berdampak daripada sekadar memberikan bantuan tanpa pemahaman.
Pelajaran terbesar dari polemik MBG adalah bahwa niat baik tidak akan cukup tanpa perencanaan matang dan pelaksanaan yang transparan. Program sosial yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan dan gizi menuntut keseriusan, bukan sekadar pencitraan. Jika pelaksanaannya terus diwarnai masalah, bukan mustahil program ini justru menimbulkan ketidakpercayaan yang meluas terhadap kebijakan pemerintah.
Pemerintah perlu menyadari bahwa setiap anak yang kecewa, setiap makanan yang terbuang, dan setiap trauma yang muncul adalah bentuk kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka. MBG seharusnya menjadi simbol perhatian negara terhadap generasi masa depan bukan sekadar proyek yang viral di media sosial.
Sudah saatnya kita memastikan bahwa niat baik benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata. Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan program sosial bukan pada seberapa besar anggaran yang digelontorkan, melainkan pada seberapa besar manfaat dan kepercayaan yang ditumbuhkan di hati masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
