Menyelamatkan Bumi dan Akhlak: Urgensi Integrasi AI dan Fikih Hijau dalam Kurikulum PAI
Edukasi | 2025-10-21 15:28:18Krisis lingkungan global kini bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan realitas mendesak yang membutuhkan respon cepat dan terpadu. Kerusakan ekologis yang masif, mulai dari perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati, tak dapat dilepaskan dari krisis akhlak—ketidakseimbangan dalam hubungan manusia dengan alam. Di tengah tantangan ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran krusial sebagai garda terdepan dalam membentuk karakter dan panduan hidup umat. Untuk itu, sudah saatnya kurikulum PAI bertransformasi dengan mengintegrasikan dua pilar penting: Kecerdasan Buatan (AI) dan Fikih Hijau (Green Fiqh).
Fikih Hijau: Manifestasi Ajaran Islam sebagai Rahmatan Lil 'Alamin
Ajaran Islam memandang manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30), sebuah konsep yang menempatkan tanggung jawab pelestarian alam sebagai ibadah. Namun, selama ini, fokus PAI kerap didominasi oleh isu-isu ubudiyah (ritual) dan muamalah konvensional, sementara pembahasan ekologi dan konservasi kurang mendapat porsi yang memadai.
Fikih Hijau hadir sebagai kerangka pemikiran hukum Islam yang secara eksplisit membahas kewajiban menjaga lingkungan, pengelolaan sumber daya alam yang bijak, dan etika konsumsi. Fikih ini bukan sekadar tambahan materi, melainkan penegasan bahwa menjaga bumi adalah bagian integral dari iman (). Mengintegrasikan Fikih Hijau berarti mengubah paradigma: merusak lingkungan sama dengan melanggar syariat, dan upaya pelestarian adalah amal saleh. Konsep seperti larangan israf (pemborosan) dan fasad (perusakan) dapat diterjemahkan menjadi panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari manajemen sampah hingga konservasi air dan energi.
AI: Alat Akselerasi Pembentukan Akhlak Ekologis
Di sisi lain, perkembangan teknologi, khususnya AI, menawarkan peluang revolusioner untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas PAI. Integrasi AI dalam PAI harus dilihat sebagai katalisator, bukan sekadar alat bantu administrasi.
AI dapat mempersonalisasi pembelajaran tentang Fikih Hijau. Misalnya:
- Personalisasi Materi: Sistem AI dapat menyesuaikan penyampaian materi (teks, video, simulasi 3D) tentang bahaya polusi di daerah siswa atau praktik daur ulang yang relevan dengan komunitas mereka, menjadikan materi lebih kontekstual dan berdampak.
- Aplikasi Praktis: Chatbot berbasis AI dapat menjawab pertanyaan siswa terkait hukum lingkungan (misalnya, hukum membuang limbah B3, atau panduan salat di tengah bencana asap/banjir), memberikan akses instan ke fatwa-fatwa lingkungan yang relevan.
- Analisis Perilaku: Melalui aplikasi pembelajaran, AI bisa membantu guru dan siswa melacak jejak karbon atau tingkat pemborosan air mereka, kemudian menyajikan saran dan refleksi keagamaan secara spesifik, sehingga terjadi perubahan perilaku nyata .
Integrasi ini juga krusial untuk menanamkan Etika AI dari Perspektif Islam, memastikan generasi muda menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, bebas dari bias, dan sejalan dengan nilai-nilai maslahah (kemaslahatan umum) dan maqashid syariah (tujuan syariah).
Urgensi Integrasi: Menjawab Tantangan Multidimensi
Urgensi mengintegrasikan AI dan Fikih Hijau dalam PAI terletak pada kebutuhan untuk mengatasi tiga krisis utama secara simultan:
- Krisis Ekologi: PAI harus membekali generasi muda dengan kesadaran bahwa mereka adalah pewaris dan penjaga bumi. Fikih Hijau memberikan landasan normatif, sementara AI menyediakan alat untuk aksi nyata dan terukur.
- Krisis Akhlak Digital: Di era Society 5.0, akhlak tidak hanya sebatas interaksi fisik, tetapi juga digital. PAI perlu mengajarkan etika penggunaan AI, etika bermedia sosial, dan pentingnya literasi digital Islami agar teknologi tidak merusak nilai spiritual.
- Krisis Relevansi Kurikulum: Tanpa adaptasi, PAI berisiko menjadi mata pelajaran yang terasing dari dinamika zaman. Integrasi AI dan Fikih Hijau menjamin PAI tetap relevan, transformatif, dan mampu membimbing umat di tengah pusaran teknologi dan tantangan lingkungan.
Jalan ke Depan: Kolaborasi dan Visi
Integrasi ini memerlukan langkah strategis:
- Penyusunan Kurikulum Baru: Kemenag, bersama ulama, ahli lingkungan, dan pakar teknologi, harus merumuskan modul Fikih Hijau dan Etika AI yang terstruktur, mulai dari tingkat dasar hingga menengah.
- Pelatihan Guru: Guru PAI harus dilatih tidak hanya dalam penguasaan materi Fikih Hijau, tetapi juga dalam pemanfaatan alat AI sebagai mitra pedagogis.
- Pengembangan Platform Digital: Dibutuhkan pengembangan platform AI yang sesuai dengan prinsip syariah, adaptif, dan mudah diakses, agar pembelajaran PAI berbasis lingkungan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Menyelamatkan Bumi adalah manifestasi tertinggi dari akhlak. Dengan mengintegrasikan kecanggihan AI dan kebijaksanaan Fikih Hijau, kurikulum PAI akan menghasilkan generasi muslim yang tidak hanya taat dalam ibadah ritual, tetapi juga memiliki akhlak ekologis yang tangguh—sebuah generasi yang siap menjadi khalifah yang bertanggung jawab, cerdas, dan peduli terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Ini adalah investasi akhlak demi keberlanjutan bumi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
