Menguak Rahasia Golan Mirah
Sejarah | 2025-10-21 08:09:42Di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo terdapat dua desa yang hingga kini masih menyimpan kisah legendaris penuh misteri dan pesan moral. Desa Golan dan Desa Mirah bukan sekadar wilayah bertetangga, tetapi menjadi simbol cinta yang berakhir tragis dan meninggalkan jejak panjang berupa pantangan adat yang tetap dijaga secara turun-temurun.
Kisah ini bermula ketika dua tokoh sakti, yaitu Ki Honggolono dari Golan dan Ki Ageng Mirah dari Mirah, hidup berdampingan namun memiliki perbedaan prinsip serta tabiat. Putra Ki Honggolono yang bernama Joko Lancur jatuh hati kepada Siti Amirah, putri Ki Ageng Mirah yang terkenal berparas ayu dan berbudi halus. Cinta mereka yang tulus mendapat tentangan keras dari ayah Siti Amirah karena dianggap tidak sepadan. Untuk menguji kesungguhan lamaran tersebut, Ki Ageng Mirah memberi syarat yang mustahil dilakukan dalam satu malam, yaitu mengaliri seluruh sawah di Mirah serta memindahkan lumbung padi dan kedelai dari Golan ke Mirah tanpa bantuan manusia.
Dengan kesaktiannya, Ki Honggolono hampir berhasil memenuhi syarat tersebut, namun karena caranya dianggap curang, lamaran itu tetap ditolak. Amarah pun memuncak dan berujung pada tragedi. Joko Lancur dan Siti Amirah meninggal dunia, dan sejak saat itu muncul kepercayaan bahwa warga Golan dan Mirah tidak boleh menikah satu sama lain karena diyakini akan mendatangkan malapetaka. Barang dari satu desa juga tidak boleh dibawa ke desa lain, dan air sungai yang mengalir di antara keduanya dipercaya tidak pernah dapat menyatu meskipun bertemu di satu titik.
Kepercayaan tersebut tidak hanya menjadi cerita rakyat semata, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat Ponorogo. Sejarawan lokal Ponorogo, Sutrisno Adi, menjelaskan dalam wawancara yang dimuat Balai Bahasa Jawa Timur tahun 2023 bahwa fenomena air yang tidak menyatu di sungai sekitar Golan dan Mirah sering dianggap sebagai “simbol kutukan cinta yang gagal disatukan, tetapi juga lambang keseimbangan antara dua desa yang berbeda namun saling menjaga batas.” Sementara itu, peneliti budaya Heri Purwanto dalam liputan DetikJatim tahun 2024 menyebut bahwa “larangan menikah antarwarga dua desa tersebut kini lebih dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan tradisi, bukan lagi sebagai ketakutan terhadap kutukan.”
Dari legenda ini tersirat pesan mendalam bahwa cinta dan ambisi tanpa kejujuran hanya akan membawa perpecahan. Golan Mirah mengingatkan bahwa dalam setiap perbedaan terdapat pelajaran tentang kehormatan dan kebijaksanaan. Di tengah arus modernisasi, kisah ini tetap relevan karena mengajarkan pentingnya menghargai nilai-nilai leluhur dan menjaga harmoni sosial di tengah keberagaman.
Hingga kini, masyarakat Ponorogo tetap merawat kisah tersebut sebagai warisan budaya yang hidup. Golan Mirah bukan sekadar legenda lama, melainkan cermin tentang makna cinta, harga diri, dan kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
