Pengaruh Paparan Sosial Media terhadap Hormon Dopamin dan Regulasi Emosi
Gaya Hidup | 2025-10-20 16:49:30Pengaruh Paparan Sosial Media Terhadap Hormon Dopamin dan Regulasi Emosi
Oleh: Galuh Lintang Kasih
Media sosial kini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Platform-platform seperti Instagram, TikTok, dan X telah mengubah cara individu berinteraksi, mencari hiburan, hingga membangun citra diri. Aktivitas digital semacam ini tidak hanya memengaruhi perilaku sosial, tetapi juga proses biologis di otak yang melibatkan hormon dopamin. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: seberapa besar pengaruh paparan media sosial terhadap kadar dopamin dan kemampuan seseorang dalam mengatur emosi? Terlebih lagi, di era saat ini, di mana hampir setiap orang memiliki akses ke perangkat pintar, paparan tersebut dapat terjadi kapan saja, bahkan saat sedang bersantai di rumah atau menunggu transportasi umum.
Dopamin merupakan neurotransmiter yang memainkan peran penting dalam sistem penghargaan otak, atau yang sering disebut sebagai reward system. Hormon ini dilepaskan ketika seseorang mengalami hal-hal yang menyenangkan, seperti menerima pujian dari teman, memenangkan permainan daring, atau sekadar mendengarkan lagu favorit sambil menikmati secangkir kopi di pagi hari. Pelepasan dopamin memberikan sensasi kebahagiaan yang membuat seseorang merasa puas, sekaligus mendorongnya untuk mengulangi perilaku yang menimbulkan rasa senang tersebut. Dalam konteks media sosial, elemen-elemen seperti likes, komentar positif, atau peningkatan jumlah pengikut menjadi bentuk "hadiah sosial" yang mampu memicu sistem dopaminergik di otak. Bayangkan saja, ketika seseorang baru saja mengunggah foto liburan dan tiba-tiba menerima notifikasi bahwa unggahan tersebut mendapat 50 likes dalam waktu singkat rasa gembira yang muncul adalah hasil dari aktivasi dopamin.
Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa media sosial dirancang secara khusus untuk memanfaatkan mekanisme dopamin ini agar pengguna merasa ketagihan. Fitur notifikasi yang memberikan isyarat suara setiap kali ada interaksi, infinite scroll yang memungkinkan pengguna terus menggulir layar tanpa batas, serta alur konten yang tak ada habisnya semua elemen ini mendorong pengguna untuk terus mencari rangsangan baru. Menurut Adam Alter dalam bukunya tahun 2017, Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked, pola ini mirip dengan kecanduan judi atau zat adiktif. Alasannya, keduanya menciptakan ketergantungan melalui pelepasan dopamin yang cepat dan tidak dapat diprediksi. Ketika notifikasi baru muncul, otak menginterpretasikannya sebagai "hadiah" yang harus dikejar, sehingga individu cenderung sering memeriksa ponselnya, bahkan di tengah rapat kerja atau saat makan malam bersama keluarga. Studi lain oleh Kuss dan Griffiths (2017) juga mengonfirmasi bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyerupai bentuk kecanduan, dengan gejala seperti kesulitan berhenti dan rasa gelisah ketika tidak terhubung.
Masalah mulai muncul ketika otak mengalami overstimulation akibat paparan dopamin yang terlalu sering dan intens. Sistem penghargaan otak secara bertahap kehilangan sensitivitas terhadap stimulus normal, seperti percakapan santai dengan teman atau menikmati makanan favorit. Akibatnya, seseorang memerlukan rangsangan yang lebih kuat untuk merasakan kepuasan yang sama, sebuah proses yang dikenal sebagai desensitisasi dopamin. Penelitian oleh Volkow et al. (2011) menjelaskan bahwa fenomena ini serupa dengan apa yang dialami pecandu narkoba, di mana otak membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek yang sama. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini terlihat pada pengguna media sosial yang merasa gelisah atau tidak tenang ketika tidak membuka aplikasi, atau sangat kecewa jika unggahan mereka hanya mendapat sedikit respons misalnya, hanya 10 likes padahal biasanya mencapai ratusan. Reaksi emosional semacam ini menandakan adanya gangguan dalam regulasi emosi, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dopamin dan menyebabkan fluktuasi mood yang tidak stabil.
Lebih lanjut, penggunaan media sosial yang berlebihan juga memengaruhi fungsi wilayah otak lainnya, terutama korteks prefrontal bagian yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, kontrol diri, dan pengendalian impuls. Ketika aktivitas dopamin meningkat secara berlebihan, kemampuan otak untuk mengatur emosi menurun secara signifikan. Individu menjadi lebih rentan terhadap perasaan cemas, iri hati, atau kurangnya kepercayaan diri akibat perbandingan sosial yang konstan. Cukup perhatikan umpan balik di Instagram yang sering dipenuhi gambar orang-orang sukses, liburan mewah, atau penampilan idea hal ini dapat membuat seseorang bertanya-tanya, "Mengapa hidup saya tidak seperti itu?" Penelitian oleh Przybylski et al. (2013) tentang fear of missing out(FoMO) mengungkapkan bahwa ketakutan akan ketinggalan informasi sosial di dunia digital dapat memperburuk stres dan mengganggu kestabilan emosi. Mereka menemukan bahwa individu dengan tingkat FoMO tinggi cenderung memeriksa media sosial lebih sering, yang justru meningkatkan kecemasan. Data dari survei global juga menunjukkan bahwa remaja yang aktif di media sosial memiliki risiko depresi 27% lebih tinggi, sebagian besar karena faktor-faktor ini.
Paparan konten yang sangat cepat dan beragam di media sosial juga dapat mengganggu keseimbangan emosi melalui mekanisme lain yang tidak kalah krusial. Otak manusia pada dasarnya tidak dirancang untuk menerima ratusan rangsangan emosional yang berbeda dalam waktu singkat. Bayangkan menggulir TikTok selama 30 menit dari video lucu tentang kucing, langsung ke berita kecelakaan tragis, lalu ke unggahan influencer yang memicu rasa iri karena kehidupannya tampak sempurna. Sistem emosi menjadi kelelahan dan overload. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan penurunan empati, di mana seseorang menjadi kurang peka terhadap perasaan orang lain di dunia nyata, serta peningkatan rasa hampa atau mati rasa emosional. Ini seperti otak yang mengalami "kehabisan tenaga" akibat drama digital yang berlebihan, sehingga sulit menikmati momen sederhana tanpa layar.
Meskipun demikian, pengaruh media sosial terhadap dopamin dan regulasi emosi tidak selalu bersifat negatif. Jika digunakan dengan bijak, media sosial dapat menjadi sumber dukungan emosional yang berharga dan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan. Sebagai contoh, interaksi positif dengan komunitas daring seperti kelompok dukungan untuk hobi atau forum bagi orang dengan pengalaman serupa dapat memberikan rasa diterima dan dihargai, yang berkaitan dengan pelepasan dopamin dalam kadar yang seimbang. Aktivitas semacam ini membantu individu merasa termotivasi, terhubung secara sosial, dan bahkan pulih dari masa sulit, seperti selama pandemi ketika media sosial menjadi jembatan untuk tetap berkomunikasi dengan keluarga yang jauh. Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam komunitas positif secara daring dapat mengurangi rasa kesepian, selama tidak berlebihan. Kunci utamanya adalah menjaga keseimbangan antara penggunaan media sosial dan aktivitas di dunia nyata yang memberikan kepuasan alami, seperti berolahraga bersama teman, berbincang langsung sambil berjalan-jalan, atau menekuni hobi kreatif seperti melukis atau memasak.
Untuk mempertahankan keseimbangan tersebut, sangat disarankan untuk menerapkan strategi digital well-being yang praktis dan mudah diikuti. Mulailah dengan membatasi waktu layar harian misalnya, atur pengingat di ponsel untuk maksimal dua jam per aplikasi. Nonaktifkan notifikasi yang tidak esensial agar tidak terus terganggu, dan lakukan detoks digital secara berkala, seperti akhir pekan tanpa media sosial untuk memulihkan energi otak. Kesadaran diri terhadap dampak biologis media sosial juga sangat penting, sehingga individu dapat mengenali tanda-tanda awal ketergantungan, seperti kecemasan ketika tidak terhubung atau penurunan suasana hati saat tidak aktif di platform tersebut. Selain itu, integrasikan kebiasaan sehat seperti meditasi atau menulis jurnal untuk memantau emosi, yang dapat membantu memulihkan sensitivitas dopamin secara alami.
Secara keseluruhan, paparan media sosial memiliki hubungan yang erat dengan sistem dopamin dan kemampuan individu dalam mengatur emosi. Fitur-fitur digital yang memicu dopamin dapat memberikan kebahagiaan sementara yang membuat hari terasa lebih berwarna, tetapi dalam jangka panjang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional dan menimbulkan perilaku adiktif yang sulit dikendalikan. Oleh karena itu, setiap pengguna perlu memahami bahwa setiap like, komentar, dan notifikasi bukan sekadar interaksi sosial biasa, melainkan stimulus kimiawi yang memengaruhi cara kerja otak. Dengan kesadaran diri yang lebih tinggi, pengendalian yang bijaksana, dan komitmen untuk hidup seimbang, media sosial dapat dimanfaatkan secara sehat tanpa merusak kestabilan emosi atau kesehatan mental jangka panjang. Pada akhirnya, teknologi ini hanyalah alat bukan penguasa yang dapat kita kendalikan demi kebaikan diri sendiri.
Daftar Pustaka
Alter, A. (2017). Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked. New York: Penguin Press.
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.
Volkow, N. D., Wang, G. J., Fowler, J. S., Tomasi, D., & Telang, F. (2011). Addiction: Beyond dopamine reward circuitry. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(37), 15037–15042.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
