Secangkir Kopi, Segunung Dopamin: Sains di Balik Kebahagiaan Setelah Ngopi
Gaya Hidup | 2025-10-24 09:25:47
Pagi tanpa kopi terasa hambar seperti sinyal yang ada tapi tak tersambung. Bagi banyak orang, secangkir kopi bukan sekedar rutinitas, melainkan tombol “mulai” bagi otak untuk beraktivitas. Aromanya membangkitkan energi, sementara rasa pahitnya memberi sensasi tenang.
Kopi bukan hanya sekedar minuman, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup yang melekat di banyak budaya. Di era sekarang, kopi tak lagi identik dengan pagi hari saja. Siang, sore, bahkan tengah malam pun, para pecinta kopi tetap meneguknya sebagai teman kerja, belajar, atau sekedar penguat semangat.
Nah, di balik kenikmatan yang ditawarkan, kopi sejatinya sedang “bermain” di dalam sistem saraf kita. Melalui perspektif biopsikologi ilmu yang mempelajari hubungan antara otak, tubuh, dan perilaku kita bisa memahami bagaimana secangkir kopi mempengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.
Kopi dan Otak: Dari Adenosin ke Dopamin
Secara ilmiah, kafein yang terkandung dalam kopi bekerja dengan cara menghambat reseptor adenosin di otak. Adenosin ini adalah zat kimia yang memberi sinyal kalau kita capek dan butuh istirahat. Jadi, ketika kafein “menduduki kursi” adenosin, otak tidak lagi menerima sinyal lelah itu. Hasilnya, aktivitas neuron meningkat, kita jadi lebih waspada, dan rasa kantuk pun berkurang. Menurut Santos dkk. (2020) dalam Nutrition Research Reviews , mekanisme ini membantu meningkatkan konsentrasi, memperbaiki fokus, dan mempercepat waktu reaksi tubuh terhadap rangsangan.
Tapi efek kopi ternyata tidak berhenti di situ. Dari sisi psikologis, kopi juga berpengaruh pada suasana hati dan emosi kita. Kafein mampu merangsang peningkatan kadar dopamin—hormon yang sering disebut sebagai “pembawa rasa bahagia”. Jadi, ketika kita merasa lebih senang atau termotivasi setelah minum kopi, itu bukan sugesti semata. Ada proses biologi yang benar-benar terjadi di otak.
Saat kafein masuk ke tubuh, otak kita merespons dengan melepaskan dopamin, neurotransmiter yang sering disebut sebagai “pembawa rasa bahagia”. Dopamin inilah yang membuat kita merasa senang, termotivasi, bahkan sedikit euforia setelah meneguk kopi. Beberapa penelitian di Indonesia mendukung hal ini: konsumsi kopi terbukti meningkatkan kemampuan memori jangka pendek sekaligus membuat responden merasa lebih segar dan bersemangat (Razi,2023)
Penelitian Grosso dkk. (2016) bahkan menemukan bahwa orang yang minum 2–3 cangkir kopi per hari memiliki risiko 30% lebih rendah mengalami depresi dibandingkan mereka yang tidak minum kopi sama sekali. Jadi, bisa dibilang, kopi bukan hanya teman begadang, tapi juga punya efek positif terhadap keseimbangan emosi dan kebahagiaan.
Namun, tidak semua orang merasakan hal yang sama. Bagi sebagian individu yang sensitif terhadap kafein, kopi bisa menimbulkan efek lain seperti kecemasan, sulit tidur, dan jantung berdebar. Hal ini menunjukkan bahwa respon tubuh terhadap kopi bergantung pada faktor biologis dan psikologis setiap orang. Jadi, kalau kamu merasa gelisah setelah ngopi, bukan berarti kamu lemah. Bisa jadi tubuhmu memang punya cara sendiri dalam merespons zat ini.
Kopi, Biopsikologi, dan Gaya Hidup Modern
Dalam kehidupan modern, kopi sering kali menjadi simbol produktivitas. Pelajar, pekerja, hingga seniman, semuanya punya alasan sendiri untuk “menyala” lebih lama dengan kopi. Dari sudut pandang biopsikologi, hal ini menunjukkan bagaimana zat biologi (kafein) berinteraksi dengan konteks sosial dan perilaku manusia.
Kopi bukan hanya stimulan fisiologis, tetapi juga alat sosial yang mempengaruhi kebiasaan dan cara manusia berinteraksi. Ia menjadi alasan bertemu teman, membuka percakapan, atau sekadar jeda di tengah rutinitas padat.
Dengan kata lain, kopi adalah contoh nyata bagaimana otak, perilaku, dan lingkungan saling terhubung. Dari proses kimia kecil yang memblokir adenosin hingga ledakan dopamin yang membuat kita merasa bahagia—semuanya menunjukkan betapa rumitnya hubungan antara tubuh dan pikiran manusia.
Jadi, lain kali saat kamu menyeruput kopi, mungkin kamu sedang memberi “pelukan kecil” pada otakmu. Karena di balik aroma yang menenangkan dan rasa yang pahit, ada kerja biologis yang membuat hidup terasa lebih hidup.
sumber
Santos, C., dkk. (2020). Efek senyawa aktif yang terkait dengan konsumsi kopi terhadap penyakit neurodegeneratif . Tinjauan Penelitian Nutrisi. Cambridge University Press.
Razi, TK (2023). Pengaruh Kopi terhadap Memori Jangka Pendek pada Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Abulyatama.
Grosso, G., dkk. (2016). Kopi, kafein, dan risiko depresi: Tinjauan sistematis dan meta-analisis dosis-respons dari studi observasional . Nutrisi Molekuler & Penelitian Pangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
