Dopamin dan Rasa Bahagia: Mengapa Scroll Media Sosial Terasa Menyenangkan?
Riset dan Teknologi | 2025-10-25 00:40:04
Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia modern. Aktivitas seperti menggulir (scrolling) Instagram, TikTok, X (Twitter), atau Facebook telah menjadi kebiasaan yang dilakukan tanpa sadar, sering kali dengan tujuan sederhana seperti “sekadar melihat-lihat.” Namun tanpa disadari, kegiatan tersebut bisa berlangsung berjam-jam dan sulit dihentikan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan menarik: mengapa scroll media sosial terasa menyenangkan dan membuat kita ingin terus melakukannya?
Dari sudut pandang biopsikologi, kebiasaan tersebut dapat dijelaskan melalui mekanisme kerja otak, khususnya yang berkaitan dengan dopamin, yaitu neurotransmiter yang berperan dalam sistem reward dan rasa bahagia. Esai ini membahas bagaimana dopamin bekerja saat seseorang menggunakan media sosial, mengapa aktivitas scrolling terasa menyenangkan, serta dampak biologis dan psikologis yang mungkin timbul akibat penggunaannya yang berlebihan.
1. Sistem Reward dan Peran Dopamin
Secara biologis, manusia memiliki sistem reward di otak yang berfungsi memberikan sensasi senang ketika mendapatkan sesuatu yang dianggap menyenangkan atau bermanfaat. Sistem ini bekerja melalui pelepasan dopamin, zat kimia yang berperan penting dalam pengaturan motivasi, kesenangan, dan perilaku berulang. Dopamin dilepaskan di area seperti ventral tegmental area (VTA) dan nucleus accumbens, yang berfungsi sebagai pusat penguatan perilaku (Lembke, 2021).
Ketika seseorang menerima stimulus positif seperti makanan lezat, hadiah, atau pujian sosial, otak akan melepaskan dopamin. Proses ini membuat individu merasa bahagia dan terdorong untuk mengulang pengalaman tersebut. Dalam konteks media sosial, setiap “like”, komentar, atau konten menarik dapat berperan sebagai stimulus positif yang memicu pelepasan dopamin. Aktivitas ini menciptakan rasa senang sesaat, membuat pengguna ingin kembali membuka aplikasi untuk mencari sensasi serupa (McLean Hospital, 2023).
Dengan demikian, kesenangan yang muncul ketika seseorang menggulir media sosial bukan semata karena kontennya, tetapi karena reaksi kimiawi otak terhadap reward sosial digital.
2. Mekanisme Variabel Reward dan Efek Ketidakpastian
Yang membuat aktivitas scroll begitu adiktif adalah adanya mekanisme variabel reward, yaitu sistem penguatan yang didasarkan pada ketidakpastian. Dalam sistem ini, seseorang tidak selalu tahu kapan ia akan mendapatkan reward, misalnya konten lucu atau notifikasi baru. Penelitian menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan dalam jumlah lebih besar ketika reward tidak dapat diprediksi, karena otak merasakan sensasi “harapan” terhadap kemungkinan hadiah (Meshi et al., 2022).
Desain media sosial modern memanfaatkan mekanisme ini secara efektif. Fitur seperti infinite scroll dan notifikasi instan membuat pengguna terus menggulir dengan harapan menemukan sesuatu yang menarik. Bahkan ketika tidak menemukan apa pun, rasa penasaran tetap mendorong pengguna untuk melanjutkan, karena dopamin sudah dilepaskan sejak tahap antisipasi.
Hal ini serupa dengan mekanisme yang terjadi pada perilaku perjudian, di mana pemain tidak tahu kapan kemenangan akan datang, tetapi terus bermain karena dorongan dopamin. Pada akhirnya, perilaku scrolling pun menjadi bentuk perilaku berulang yang diperkuat oleh reward tidak pasti.
3. Dampak Biologis dari Penggunaan Media Sosial Berlebihan
Penggunaan media sosial yang terlalu sering dapat memengaruhi keseimbangan sistem dopamin di otak. Sebuah penelitian oleh Montag et al. (2021) menemukan bahwa aktivitas sosial digital yang tinggi berkorelasi dengan penurunan kapasitas sintesis dopamin di area striatum. Artinya, semakin sering seseorang mencari reward dari media sosial, otaknya menjadi kurang sensitif terhadap dopamin. Akibatnya, individu memerlukan stimulasi lebih sering untuk merasakan tingkat kesenangan yang sama.
Kondisi ini dikenal sebagai adaptasi neurobiologis, di mana otak menyesuaikan diri dengan rangsangan yang berlebihan. Dampak jangka panjangnya bisa berupa perasaan mudah bosan, penurunan motivasi, bahkan gejala mirip kecanduan digital. Studi naratif oleh Tereshchenko (2023) juga menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah berkaitan dengan gangguan pada sistem reward dan kontrol impuls, serta dapat memengaruhi regulasi diri dan kesejahteraan psikologis.
Selain aspek neurokimia, aktivitas berlebihan di media sosial juga dapat memicu perubahan pada sistem saraf otonom, seperti peningkatan stres dan gangguan tidur. Hal ini terjadi karena paparan cahaya biru dari layar dan rangsangan sosial digital yang terus-menerus membuat otak sulit beristirahat.
4. Implikasi Psikologis dan Sosial
Dari perspektif biopsikologi, perilaku scrolling berlebihan dapat dipandang sebagai bentuk penguatan perilaku adiktif. Setiap kali pengguna menerima notifikasi atau konten yang menarik, dopamin dilepaskan dan perilaku tersebut diperkuat. Siklus ini kemudian menciptakan loop: membuka aplikasi, mendapat reward, merasa senang, lalu ingin mengulang kembali.
Fenomena ini menjelaskan mengapa seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial tanpa sadar. Secara psikologis, otak terus mencari kepuasan instan, sedangkan secara sosial, platform media dirancang agar pengguna bertahan lebih lama dengan algoritma yang menyesuaikan preferensi individu (Lembke, 2021).
Namun, pemahaman terhadap mekanisme ini dapat membantu individu mengendalikan perilaku digitalnya. Beberapa strategi yang disarankan antara lain: membatasi waktu penggunaan media sosial dengan fitur “screen time”, menonaktifkan notifikasi agar otak tidak terus-menerus menerima sinyal reward, serta mengalihkan pencarian dopamin ke aktivitas positif seperti olahraga, interaksi sosial nyata, dan kegiatan kreatif.Kesadaran terhadap cara kerja dopamin dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dengan teknologi.
Aktivitas scroll media sosial terasa menyenangkan karena melibatkan sistem dopamin otak yang bertanggung jawab atas rasa bahagia dan motivasi. Setiap interaksi digital, mulai dari “like” hingga notifikasi baru, memicu pelepasan dopamin yang menciptakan sensasi reward. Namun, desain media sosial yang berbasis variabel reward membuat pengguna sulit berhenti, karena otak terus mencari hadiah berikutnya.
Jika dilakukan berlebihan, aktivitas ini dapat menimbulkan perubahan biologis dan psikologis yang menyerupai perilaku adiktif. Oleh karena itu, memahami mekanisme biopsikologi di balik kebiasaan ini penting agar individu dapat menggunakan media sosial secara bijak dan menjaga keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata.
Alna Huriyah Sajidah, Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
