Mengapa Kita Meniru Orang Lain Ketika Tersenyum? Dasar Saraf dari Empati dan Mekanisme Mirror Neuron System
Edukasi | 2025-10-19 21:56:16
Dalam interaksi sosial sehari-hari, kita sering kali tanpa sadar meniru ekspresi wajah orang lain, seperti tersenyum saat melihat orang lain tersenyum. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan cerminan dari mekanisme psikologis dan neurologis yang mendalam. Senyum, sebagai salah satu bentuk komunikasi nonverbal, membantu membangun ikatan emosional dan memfasilitasi empati. (Batson et al., 2002) mendefinisikan senyum sebagai sebuah proses dalam diri manusia yang begitu indah, berawal dari sebuah objek kemudian panca indera kita menangkap dan mengetahuinya. Dalam proses tersebut akan muncul dalam hati energi yang sangat besar berupa kebahagiaan sehingga terjadi senyuman. Husley dalam (Azmi, 2021) mendefinisikan senyum sebagai suatu perubahan pada bagian ekspresi wajah sehingga menimbulkan mata bersinar, sudut mulut melengkung ke atas tanpa adanya suara, kegembiraan, kesenangan, kasih sayang, persetujuan, terkendali, serta berbagai macam emosi lainnya. Empati sendiri adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain, yang berakar pada dasar saraf di otak manusia. Empati dapat diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain Sears (Asih dan Pratiwi, 2010). Hurlock ( Asih dan Pratiwi, 2010) menyatakan empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan-akan menjadi bagian dalam diri.
Mengapa kita bisa meniru seseorang ketika tersenyum? imitasi senyum berfungsi sebagai alat sosial yang efektif untuk membangun rasa percaya dan kedekatan kita terhadap seseorang. Merupakan respons biologis yang terprogram melalui evolusi, di mana otak kita bereaksi terhadap stimulus sosial untuk meningkatkan kelangsungan hidup. Secara evolusioner, manusia adalah makhluk sosial yang bergantung pada individu lain untuk bertahan hidup. Menurut teori evolusi sosial, senyum menandakan kebahagiaan, keramahan, atau ketertarikan, sehingga meniru senyum membantu dalam menciptakan lingkungan yang aman dan kooperatif. Secara biologis, senyum memicu pelepasan neurotransmitter seperti dopamin dan oksitosin, yang menciptakan rasa senang dan ikatan sosial. Ketika kita melihat seseorang tersenyum, otak kita merespons dengan cara yang membuat kita merasa senang, sehingga imitasi ini memperkuat ikatan sosial.
Empati merupakan bagian yang begitu melekat dalam diri manusia sehingga sering kali terwujud dengan cara yang mungkin tak kita sadari. Empati manusia bergantung pada kemampuan untuk berbagi emosi serta kemampuan untuk memahami pikiran, keinginan, dan perasaan orang lain. Dasar saraf empati dalam biopsikologi melibatkan jaringan otak yang kompleks, di mana struktur biologis dan kimiawi berinteraksi untuk memproses emosi seseorang. Empati, sebagai kemampuan untuk berbagi perasaan, bergantung pada amygdala, insula, dan korteks prefrontal—wilayah otak yang terlibat dalam pemrosesan emosi dan pengambilan keputusan. Dalam pandangan Biopsikologi, empati dipengaruhi oleh neurotransmitter seperti serotonin dan endorphin, yang membantu mengatur respons emosional seseorang ketika meniru senyum orang lain. Misalnya ketika seseorang meniru orang lain tersenyum, insula menjadi aktif, menciptakan sensasi tubuh yang mirip, seperti peningkatan detak jantung atau pelepasan endorphin. Penelitian menggunakan fMRI menunjukkan bahwa individu dengan empati tinggi akan memiliki konektivitas saraf yang lebih kuat antara amigdala dan korteks prefrontal, yang mendukung imitasi emosi. Konektivitas yang lebih kuat ini memungkinkan informasi emosional yang diproses oleh amigdala untuk lebih efektif diatur dan diproses oleh korteks prefrontal, sehingga memudahkan individu untuk meniru atau merasakan emosi yang sama dengan orang lain. Selain itu, biopsikologi menyoroti peran hormon seperti testosteron dan estrogen dalam memodulasi empati; misalnya, tingkat oksitosin yang lebih tinggi pada wanita sering dikaitkan dengan kemampuan lebih besar untuk meniru ekspresi wajah. Dengan demikian, dasar saraf empati adalah interaksi dinamis antara genetika, neurokimia, dan lingkungan, yang semuanya berkontribusi pada imitasi senyum sebagai perilaku biologis dan melibatkan dua sistem saraf utama: sistem emosional untuk merasakan perasaan orang lain secara langsung dan sistem kognitif untuk memahami perspektif seseorang.
Mekanisme mirror neuron sistem dalam biopsikologi merupakan elemen penting yang menjelaskan bagaimana otak kita "mencerminkan" aksi orang lain. Mirror neuron sistem terdiri dari neuron-neuron di korteks premotor dan parietal inferior yang menjadi aktif baik saat kita melakukan aksi maupun saat melihat aksi tersebut. Sistem ini penting untuk memahami tindakan, niat, serta empati orang lain. Sistem ini adalah hasil evolusi saraf yang memungkinkan pembelajaran sosial dan empati melalui simulasi internal. Kondisi disaat kita melihat sesorang tersenyum, mekanisme mirror neuron kita menyalin pola yang sama, memicu respon motorik dan emosional. Penelitian oleh Rizzolatti menunjukkan bahwa mirror neuron system berkaitan dengan jalur dopaminergik, yang memfasilitasi pembelajaran melalui imitasi yang diperkuat oleh rasa senang sebagai bentuk pembelajaran berbasis hadiah (reward). Mirror neuron membantu otak memahami dan meniru tindakan orang lain, sementara dopamin memperkuat proses ini sehingga imitasi menjadi lebih efektif sebagai bentuk pembelajaran. Secara evolusioner, mirror neuron system berkembang untuk membantu manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial, di mana imitasi emosi meningkatkan kelangsungan hidup. Dengan demikian, dari pandangan biopsikologi, mirror neuron system adalah jembatan antara biologi dan perilaku, yang menjelaskan mengapa imitasi senyum adalah respons alami yang dipengaruhi oleh faktor saraf dan genetik.
Pada akhirnya dalam perspektif biopsikologi, kita meniru senyum karena dasar saraf empati dan mirror neuron system, pada gilirannya memperkuat ikatan sosial dan kelangsungan evolusioner manusia dan membentuk respons biologis yang esensial untuk interaksi sosial. Evolusi telah memprogram otak kita untuk menggunakan neurotransmitter seperti oksitosin dan struktur saraf seperti amygdala guna memfasilitasi imitasi. Memahami hal ini dapat membantu dalam aplikasi praktis, seperti terapi untuk gangguan sosial atau pembangunan hubungan interpersonal yang lebih baik. Pemahaman ini tidak hanya memperkaya pengetahuan kita tentang perilaku manusia, tetapi juga memiliki implikasi praktis, seperti dalam pengobatan gangguan sosial melalui intervensi biologis. Dengan penelitian lebih lanjut, biopsikologi dapat membantu kita memanfaatkan mekanisme ini untuk membangun masyarakat yang lebih empati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
