Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Michael Joe

Di Balik Laporan Polisi, Ada Trauma yang Tak Terpulihkan

Edukasi | 2025-10-19 20:49:10

Ditulis Oleh : Michael Joe, Chaterine Devinda, Adinda Thalia Salsabila, R.A Heliza Aprilyana Putri

Setiap kali seorang perempuan melapor ke polisi karena mengalami kekerasan berbasis gender, yang ia bawa bukan cuma berkas laporan. Ia membawa keberanian, ketakutan, dan trauma yang berat,s esuatu yang tak bisa diukur dengan pasal hukum. Tapi sering kali, keberanian itu tidak disambut dengan empati. Di ruang yang seharusnya memberi perlindungan, korban justru kembali dilukai.

Kekerasan berbasis gender (KBG) masih jadi salah satu isu kemanusiaan terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang 2024 tercatat lebih dari 400 ribu kasus kekerasan, dengan mayoritas korbannya perempuan dan anak. Dari angka itu, hanya sebagian kecil yang berlanjut ke ranah hukum. Banyak kasus berhenti karena tekanan sosial, kurangnya bukti, atau trauma yang semakin dalam.

Ketika seorang korban datang ke kantor polisi, ia dihadapkan pada sistem hukum yang kaku, maskulin, dan sering kali tidak berperspektif gender. Pertanyaan seperti “Kamu yakin nggak dipancing duluan?” atau “Kenapa baru lapor sekarang?” bukan cuma bentuk ketidakpekaan, tapi juga bentuk kekerasan baru, kekerasan yang datang dari mereka yang seharusnya melindungi.

Dalam banyak kasus, proses hukum justru memperpanjang penderitaan korban. Pemeriksaan yang berulang, kurangnya pendamping psikolog, dan minimnya privasi membuat korban harus membuka luka lama berkali-kali. Trauma itu nggak sembuh; justru makin dalam.

Padahal, Indonesia sudah punya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang jelas-jelas menegaskan hak korban untuk mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, dan pemulihan psikologis. Tapi di lapangan, hukum itu sering berhenti di spanduk dan sosialisasi formal. Pelaksanaannya masih tergantung sensitivitas individu aparat dan itu artinya keadilan masih bergantung pada keberuntungan.

Masalahnya nggak berhenti di kantor polisi. Ketika kasus kekerasan mencuat ke publik, masyarakat sering lebih cepat menghakimi korban daripada pelaku. Korban dituduh cari perhatian, dianggap mempermalukan keluarga, atau bahkan dituding merusak reputasi kampus atau instansi.

Budaya victim blaming ini jadi racun sosial yang membuat banyak korban memilih diam. Dalam diam itu, mereka menanggung trauma sendirian. Mereka kehilangan rasa aman, kehilangan kepercayaan diri, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum.

Trauma semacam ini nggak hilang dengan waktu. Ia menempel di ingatan, memengaruhi cara korban memandang diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Dan itulah yang sering tidak disadari oleh publik: bahwa kekerasan bukan hanya soal luka fisik, tapi juga luka batin yang membekas seumur hidup.

Sistem hukum kita terlalu sering bicara soal bukti, tapi jarang bicara soal empati. Padahal empati adalah inti dari keadilan. Tanpa empati, penegakan hukum hanya jadi formalitas tanpa nurani.

Negara semestinya hadir bukan cuma sebagai penegak aturan, tapi juga sebagai penyembuh luka sosial. Itu artinya: menyediakan pendamping psikolog di setiap proses hukum, melatih aparat penegak hukum dengan perspektif gender, dan memastikan setiap korban diperlakukan dengan hormat, bukan dicurigai.

Keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender tidak bisa diukur dari jumlah pelaku yang ditangkap. Keadilan sejati adalah ketika korban bisa merasa aman, bisa memulihkan diri, dan bisa hidup tanpa rasa takut. Itu tidak akan terjadi kalau proses hukum masih membuat mereka merasa bersalah atas luka yang bukan mereka ciptakan.

Di balik setiap laporan polisi, ada keberanian yang luar biasa—dan juga trauma yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya pulih. Tugas negara dan masyarakat bukan hanya memastikan pelaku dihukum, tapi juga memastikan korban tidak harus terluka lagi untuk mendapatkan keadilan.

Karena pada akhirnya, keadilan bukan hanya tentang siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi tentang siapa yang berani mendengar mereka yang telah terlalu lama dibungkam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image