Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Thoriq Panji Perdana

Kampus Aman Itu Hak, Bukan Privilege

Eduaksi | 2025-10-19 20:20:03


Setiap mahasiswa datang ke kampus dengan harapan sederhana: belajar, berkembang, dan merasa aman. Tapi buat banyak perempuandan bahkan sebagian mahasiswa laki-lakirasa aman itu sering cuma ilusi. Di balik jargon “kampus inklusif” dan “bebas kekerasan,” masih banyak cerita tentang pelecehan, intimidasi, dan kekerasan berbasis gender (KBG) yang disembunyikan demi menjaga nama baik institusi.

Fenomena ini bukan sekadar kasus individu. Ia adalah masalah sistemikcerminan bagaimana struktur kekuasaan dan budaya patriarki di dunia akademik masih mengakar kuat. Kampus yang seharusnya jadi ruang aman dan kritis, justru sering meniru dunia luar yang toksik: hierarkis, penuh ketimpangan kuasa, dan minim empati.

Kekerasan di kampus sering kali bersembunyi di balik relasi kuasa. Dosen yang memanfaatkan posisi akademik, senior yang menyalahgunakan tradisi, atau organisasi mahasiswa yang menormalisasi “kedekatan” dengan nuansa manipulatif. Korban sering kali tidak berani bicara, bukan karena tidak ingin, tapi karena takut: takut nilai anjlok, takut dikucilkan, atau takut dianggap “membesar-besarkan masalah.”

Yang lebih menyakitkan, ketika korban akhirnya melapor, respon kampus sering tidak berpihak. Alih-alih perlindungan, korban justru dihadapkan dengan proses panjang, birokratis, bahkan disalahkan balik. “Kenapa baru bicara sekarang?”, “Kenapa nggak langsung lapor?”, “Kalian kan dekat sebelumnya.”. Kalimat-kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi efeknya menghancurkan.

Indonesia sebenarnya sudah punya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan ini menegaskan bahwa kampus wajib membentuk Satuan Tugas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual), serta menjamin kerahasiaan dan perlindungan korban.

Namun, implementasinya jauh dari ideal. Banyak kampus hanya menjadikan satgas sebagai “pajangan administratif”dibentuk karena kewajiban, bukan karena kesadaran. Sosialisasi minim, pelatihan terbatas, dan kebanyakan mahasiswa bahkan tidak tahu kemana harus melapor jika jadi korban.

Kampus masih terlalu sibuk menjaga citra, lupa bahwa keadilan untuk korban jauh lebih penting daripada reputasi lembaga. Kita juga perlu jujur bahwa masalahnya nggak berhenti di level institusi. Budaya patriarki masih tumbuh di ruang-ruang kecil: dalam candaan, dalam obrolan kelompok, dalam cara teman sebaya menormalisasi pelecehan. “Cuma bercanda,” kata mereka, tapi candaan yang berulang menciptakan lingkungan yang menekan dan menormalisasi kekerasan.

Perempuan yang melawan sering dicap “baper,” “drama,” atau “merusak suasana.” Laki-laki yang jadi korban pun kerap diremehkan karena dianggap “nggak mungkin dilecehkan.” Semua ini menunjukkan satu hal: kampus kita masih gagal mengajarkan empati.

Perubahan nggak akan datang kalau kita terus diam. Gerakan mahasiswa, organisasi kampus, dan dosen muda harus berani mendorong sistem yang lebih transparan dan berpihak pada korban. Edukasi gender dan kesetaraan harus jadi bagian dari kurikulum, bukan sekadar seminar seremonial yang dilupakan seminggu kemudian.

Kampus juga perlu membuka ruang aman bagi korban untuk bicara tanpa rasa takutbaik lewat satgas, konselor, atau komunitas independen. Setiap laporan harus ditindaklanjuti dengan serius, bukan disapu di bawah karpet demi menjaga nama baik almamater.

Rasa aman bukan bonus. Ia bukan privilege yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang beruntung, punya koneksi, atau berani bersuara. Rasa aman adalah hak dasar setiap mahasiswa, tanpa kecuali. Kampus yang gagal melindungi mahasiswanya berarti gagal menjalankan fungsi moral dan intelektualnya.

Perubahan budaya memang butuh waktu. Tapi diam berarti menyetujui. Dan selama kita masih menormalisasi kekerasan atas nama “citra kampus,” maka setiap upacara wisuda hanya akan jadi simbol kemajuan palsu dari institusi yang sebenarnya masih buta terhadap luka-luka mahasiswanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image