Hukum yang Tumpul Saat Korban Itu Perempuan
Kebijakan | 2025-10-19 20:09:08
Di negeri yang bangga dengan jargon “negara hukum”, perempuan masih harus menanggung luka dua kali: pertama dari pelaku kekerasan, dan kedua dari sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka. Ironis, tapi itulah kenyataan yang terus berulang — keadilan terasa begitu jauh ketika korban itu perempuan.
Kasus kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 400 ribu laporan kekerasan sepanjang 2024, angka yang mencerminkan betapa rapuhnya ruang aman bagi perempuan. Tapi lebih menyakitkan lagi, banyak dari kasus itu berhenti di tengah jalan — tersandung prosedur hukum yang rumit, aparat yang tidak peka, atau bahkan masyarakat yang menyalahkan korban.
Indonesia sudah punya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Secara normatif, undang-undang ini adalah kemajuan besar: mengakui beragam bentuk kekerasan, menjamin hak korban atas pemulihan, dan mewajibkan negara hadir dalam perlindungan.
Namun di lapangan, hukum sering berhenti di atas kertas. Banyak aparat penegak hukum masih gagap menghadapi kasus kekerasan berbasis gender. Korban malah diinterogasi seolah mereka pelaku: ditanya kenapa datang malam, kenapa berpakaian begitu, kenapa tidak melawan. Pertanyaan-pertanyaan yang mengulang trauma, bukan memberikan rasa aman.
Di titik ini, UU TPKS bukan gagal secara substansi — ia gagal karena sistem yang mengabaikan empati. Sebuah hukum tanpa nurani hanya jadi pasal kosong yang dingin.
Sumber masalahnya tidak hanya di sistem hukum, tapi juga di budaya patriarki yang menembus sampai ruang-ruang publik. Kita masih hidup di masyarakat yang terbiasa menyalahkan perempuan atas kekerasan yang mereka alami. Narasinya sederhana tapi mematikan: “perempuan harus menjaga diri”, “itu aib keluarga”, “jangan lapor, nanti malu.”
Di dunia digital, kekerasan berbasis gender juga semakin brutal. Dari revenge porn, cyber harassment, sampai komentar seksis yang seolah biasa saja di media sosial. Korban perempuan tidak hanya kehilangan rasa aman di ruang fisik, tapi juga di ruang digital yang seharusnya jadi tempat berekspresi.
Masalahnya, aparat penegak hukum sering tidak siap menghadapi kekerasan jenis baru ini. Banyak kasus cyber harassment diabaikan karena dianggap “tidak serius”, padahal dampak psikologisnya bisa menghancurkan hidup korban.
Sistem hukum kita masih sangat maskulin — dibangun oleh, untuk, dan dari sudut pandang laki-laki. Proses hukum berjalan kaku dan teknis, tapi kehilangan empati terhadap korban. Perempuan sering tidak punya ruang aman untuk bicara, bahkan di dalam sistem yang seharusnya melindunginya.
Di banyak daerah, rumah aman, psikolog, dan pendamping hukum masih sangat terbatas. Laporan sering mentok karena korban harus menghadapi birokrasi panjang tanpa dukungan memadai. Dalam banyak kasus, pelaku justru bisa bebas karena status sosial atau pengaruh politik. Sementara korban, selain kehilangan rasa aman, sering juga kehilangan reputasi dan pekerjaan.
Bagaimana mungkin kita bicara soal keadilan, kalau sistemnya sendiri menciptakan ketakutan baru bagi yang mencari perlindungan?
Reformasi hukum soal kekerasan berbasis gender tidak cukup hanya dengan menambah pasal atau memperbarui regulasi. Ia harus dimulai dari perubahan pola pikir. Aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim harus dilatih untuk memahami perspektif korban, bukan hanya prosedur hukum.
Negara perlu memperkuat akses terhadap pendampingan hukum, layanan psikologis, dan edukasi publik yang melawan budaya victim blaming. Hukum harus menjadi tempat berlindung, bukan sumber ketakutan baru.
Ketika korban perempuan berani bersuara, itu bukan sekadar laporan — itu bentuk perlawanan terhadap sistem yang terlalu lama membungkam. Setiap kali kasus kekerasan berbasis gender tidak ditindaklanjuti dengan serius, kita sedang membiarkan pesan berbahaya berulang: bahwa perempuan tidak cukup penting untuk dilindungi.
Keadilan yang tumpul bukan hanya kegagalan sistem, tapi kegagalan moral sebuah bangsa. Dan selama negara masih menutup mata terhadap luka-luka perempuan, maka hukum di negeri ini akan tetap tajam ke bawah, dan tumpul saat korbannya adalah perempuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
