Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dara Alya Fatima

Luka yang Tak Terlihat: Perkembangan Anak dari Keluarga Broken Home dalam Perspektif Biopsikologi

Eduaksi | 2025-10-18 22:34:33

Keluarga adalah tempat pertama seorang anak belajar tentang dunia — tentang kasih sayang, rasa aman, dan arti kebersamaan. Namun, ketika rumah kehilangan kehangatannya karena perceraian atau perpisahan orang tua, dunia kecil anak dapat berubah secara drastis. Dari kacamata biopsikologi, perubahan ini bukan hanya menyentuh perasaan, tetapi juga meninggalkan jejak mendalam pada tubuh dan otak anak yang sedang berkembang.

sumber: httpsistock

Secara biologis, anak yang tumbuh dalam keluarga broken home sering terpapar stres kronis akibat konflik, kehilangan, atau ketidakpastian. Tubuh kecil mereka merespons tekanan ini dengan meningkatkan produksi kortisol, hormon stres utama. Dalam jangka panjang, kadar kortisol yang tinggi dapat mengganggu fungsi otak, terutama pada hippocampus, bagian otak yang berperan dalam memori dan pengaturan emosi. Gangguan ini membuat anak lebih mudah merasa cemas, sulit fokus, dan kadang kehilangan semangat untuk belajar atau berinteraksi (Shonkoff et al., 2018).

Dengan kata lain, luka emosional akibat keluarga yang retak dapat “terpahat” di sistem biologis anak.

Dari sisi psikologis, dampaknya sering kali tampak dalam bentuk perasaan tidak aman, kehilangan kepercayaan diri, hingga kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat. Anak-anak yang terbiasa mendengar pertengkaran atau mengalami kehilangan figur orang tua cenderung memandang dunia dengan rasa ragu. Mereka mungkin menjadi pendiam, menarik diri, atau sebaliknya, menunjukkan perilaku agresif sebagai bentuk protes yang tidak disadari.

Amalia, Lesmana, dan Nurjamilah (2024) menemukan bahwa anak dari keluarga broken home lebih rentan terhadap perilaku menyimpang dan tekanan sosial. Hal ini terjadi karena kebutuhan emosional mereka — kasih sayang, kehadiran, dan dukungan — tidak terpenuhi dengan baik. Sementara itu, Aritonang dan Brahmana (2025) menegaskan bahwa ketidakstabilan psikologis ini juga berdampak pada dunia akademik, seperti menurunnya konsentrasi dan motivasi belajar. Pada akhirnya, masalah emosional yang tidak tertangani dapat menjalar ke berbagai aspek perkembangan kepribadian.

Namun, tidak semua anak dari keluarga broken home berakhir dengan luka yang sama dalam. Perspektif biopsikologi juga mengakui adanya faktor protektif, seperti dukungan sosial, hubungan yang hangat dengan salah satu orang tua, atau lingkungan sekolah yang empatik. Dukungan emosional semacam ini berperan sebagai “penyeimbang biologis” yang dapat menekan kadar kortisol dan menstabilkan sistem saraf. Indrawati (2022) mencatat bahwa anak-anak prasekolah dari keluarga broken home yang masih mendapatkan perhatian penuh dari orang dewasa cenderung lebih adaptif dan tetap mampu membangun hubungan sosial yang positif.

Dalam banyak kasus, ketahanan seorang anak lahir bukan dari absennya masalah, melainkan dari keberadaan seseorang yang tetap hadir untuknya. Seseorang yang mau mendengar, memahami, dan memberikan rasa aman. Di sinilah pentingnya pendekatan holistik: memahami anak bukan hanya dari aspek perilaku yang tampak, tetapi juga dari proses biologis dan emosional yang berlangsung di dalam dirinya.

Dengan memahami interaksi antara tubuh dan jiwa melalui perspektif biopsikologi, kita diajak untuk lebih peka. Bahwa di balik sikap murung atau perilaku memberontak seorang anak, mungkin ada sistem saraf yang lelah menghadapi tekanan yang tak ia mengerti. Maka, tugas kita — sebagai orang tua, pendidik, atau masyarakat — bukan sekadar menasihati, melainkan menenangkan sistem biologis yang sedang berjuang, memberi ruang aman bagi emosi yang belum sempat terungkap.

Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga broken home tidak selalu ditakdirkan rapuh. Dengan lingkungan yang penuh empati, dukungan sosial yang kuat, dan perhatian terhadap keseimbangan biopsikologis mereka, luka itu bisa menjadi bekal pembelajaran hidup — bukan sekadar trauma. Karena bahkan dari keluarga yang retak, seorang anak tetap bisa tumbuh menjadi pribadi yang utuh, selama ada kasih yang tidak ikut pecah bersama rumahnya.

Referensi Jurnal

1. Amalia, D., Lesmana, G., & Nurjamilah, K. (2024). The Impact of a Broken Home Family on Children’s Social Deviant Behavior. Journal of General Education Science. Link https://journal.berpusi.co.id/index.php/JoGEs/article/view/513

2. Aritonang, S. L., & Brahmana, K. M. (2025). Impact of the Broken Home Family on Child Psychology: Literature Review. Link https://sites.google.com/uksw.edu/crossculturalpsychology/home/volume-1-mei-2023/impact-of-the-broken-home-family-on-child-psychology-literature-review

3. Shonkoff, J. P. et al. (2018). How the Toxic Stress of Family Separation Can Harm a Child. PBS NewsHour. Link https://www.pbs.org/newshour/health/how-the-toxic-stress-of-family-separation-can-harm-a-child

4. Indrawati, T. (2022). The Psychosocial Growth of Preschool-Age Children from Broken Home Families. Link https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/al-athfaal/article/download/14296/5923

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image