Perang Energi di Tengah Krisis Iklim: Ketika Bahan Bakar Jadi Alat Tekanan Politik
Politik | 2025-10-18 15:29:45
Dalam lanskap geopolitik abad ke-21, energi telah berevolusi dari sekadar komoditas ekonomi menjadi instrumen kekuasaan yang menentukan arah politik dunia. Di tengah krisis iklim global yang semakin genting, bahan bakar fosil—yang seharusnya mulai ditinggalkan—justru kembali menjadi senjata strategis. Dunia terjebak dalam paradoks besar: kita berlomba menuju transisi energi hijau, tapi pada saat yang sama, ketergantungan pada minyak, gas, dan batu bara justru menguatkan negara-negara yang menguasai pasokan energi tersebut.
Krisis energi yang muncul setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022 menjadi titik balik yang menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan energi global. Ketika Moskow memutus pasokan gas ke Eropa, efek domino langsung terjadi. Harga energi melonjak tajam, inflasi meroket, dan banyak negara Eropa yang selama ini berkomitmen terhadap energi hijau terpaksa menyalakan kembali pembangkit listrik batu bara untuk menjaga pasokan listrik nasional. Dalam sekejap, kebijakan iklim berubah menjadi kebijakan bertahan hidup. Energi menjadi alat tawar politik yang jauh lebih efektif daripada sanksi ekonomi atau diplomasi formal.
Eropa yang selama ini menjadi pelopor transisi energi hijau harus menghadapi realitas bahwa kemandirian energi masih jauh dari tercapai. Ketika Rusia menggunakan gas sebagai senjata geopolitik, muncul kembali kesadaran bahwa keamanan energi sama pentingnya dengan keamanan militer. Hal ini menandai pergeseran besar dalam paradigma kebijakan luar negeri banyak negara. Energi bukan lagi hanya urusan kementerian ekonomi, melainkan bagian dari strategi pertahanan nasional.
Sementara itu, negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar justru memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi tawar mereka. Dengan mengontrol pasokan minyak global melalui OPEC+, mereka memainkan peran ganda: di satu sisi, mendukung stabilitas harga demi keuntungan ekonomi, namun di sisi lain juga menggunakan energi sebagai instrumen diplomasi. Ketika negara-negara Barat menekan mereka untuk mempercepat transisi hijau, para eksportir energi justru memanfaatkan ketergantungan tersebut untuk memperluas pengaruhnya di forum global seperti G20 atau COP.
Ironisnya, transisi menuju energi hijau sendiri juga membuka babak baru dalam perebutan kekuasaan global. Negara-negara yang menguasai teknologi energi terbarukan—seperti panel surya, baterai lithium, dan kendaraan listrik—tengah membangun bentuk baru dari energy hegemony. Tiongkok, misalnya, berhasil menjadi pemain utama dalam rantai pasok energi terbarukan dunia. Sekitar 80% produksi panel surya dan baterai global terkonsentrasi di Tiongkok. Ini artinya, ketergantungan dunia terhadap energi fosil dari Timur Tengah kini beralih menjadi ketergantungan terhadap teknologi hijau dari Asia Timur.
Negara-negara berkembang kemudian menjadi pihak yang paling rentan dalam dinamika ini. Mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap menggunakan energi fosil murah untuk menjaga stabilitas ekonomi atau beralih ke energi hijau yang biayanya masih tinggi dan teknologinya sulit dijangkau. Di sisi lain, tekanan internasional agar mereka menurunkan emisi terus meningkat. Banyak negara di Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara akhirnya terjebak dalam dilema antara kepentingan nasional dan tuntutan global.
Contohnya bisa dilihat pada Indonesia, yang berada di persimpangan antara ambisi menjadi pemimpin transisi energi di Asia Tenggara dan realitas ekonomi yang masih sangat bergantung pada batu bara. Dalam diplomasi internasional, Indonesia sering menekankan prinsip “keadilan iklim” —bahwa negara berkembang tidak seharusnya menanggung beban yang sama dengan negara maju dalam upaya dekarbonisasi. Namun, dalam praktiknya, ketergantungan pada pendapatan ekspor batu bara dan subsidi energi domestik membuat perubahan kebijakan menjadi lambat dan penuh kompromi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perang energi tidak lagi sekadar soal perebutan minyak, tetapi juga tentang siapa yang menguasai masa depan energi dunia. Perang energi modern bersifat multidimensi: mencakup persaingan teknologi, rantai pasok mineral kritis seperti lithium dan nikel, serta diplomasi untuk mengamankan akses ke pasar energi bersih. Negara-negara yang mampu mengendalikan seluruh ekosistem energi—dari produksi hingga teknologi penyimpanannya—akan memegang kendali atas dinamika politik global di masa depan.
Krisis iklim seharusnya menjadi momentum bagi kerja sama global. Namun kenyataannya, transisi energi justru memperdalam ketimpangan antarnegara. Negara maju menuntut pengurangan emisi dari negara berkembang, sementara mereka sendiri tetap mempertahankan konsumsi energi tinggi. Bahkan, beberapa di antara mereka menggunakan isu hijau sebagai alat baru untuk menekan negara-negara lain melalui mekanisme seperti carbon border tax atau standar lingkungan yang diskriminatif terhadap ekspor dari Selatan Global.
Situasi ini memperlihatkan wajah baru dari politik global—di mana energi bukan hanya sumber kekayaan, tapi juga sumber kekuasaan. Dalam konteks ini, perang energi menjadi perpanjangan dari perang ekonomi dan perang ideologi. Ia tidak selalu terjadi lewat konflik bersenjata, tapi melalui kebijakan, investasi, dan teknologi.
Pada akhirnya, dunia sedang bergerak menuju tatanan energi baru yang masih belum stabil. Di satu sisi, ada dorongan besar menuju dekarbonisasi dan inovasi hijau. Di sisi lain, masih ada kepentingan geopolitik yang membuat energi menjadi alat kontrol dan tekanan. Masa depan perang energi akan ditentukan oleh seberapa cepat dunia mampu menyeimbangkan kebutuhan akan energi dengan tanggung jawab terhadap planet ini.
Selama bahan bakar—baik fosil maupun hijau—masih bisa digunakan sebagai alat tawar politik, perang energi tidak akan benar-benar berakhir. Ia hanya akan berganti bentuk, mengikuti siapa yang memegang kendali atas sumber daya dan teknologi. Dalam dunia yang sedang bertransisi ini, energi bukan sekadar kebutuhan—ia adalah kekuasaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
