Ketika Rem dan Klakson sebagai Manifestasi Respons Instingtif terhadap Ancaman Saat Berkendara
Lain-Lain | 2025-10-17 13:28:191. Pendahuluan
Berkendara di jalan raya tentunya menjadi kebutuhan sehari-hari. Namun tidak sedikit situasi yang menuntut pengemudi untuk bereaksi dengan cepat. Misalnya, ketika kendaraan di depan berhenti mendadak, pejalan kaki atau hewan tiba-tiba menyeberang, kendaraan di depan tiba-tiba belok ke kiri tanpa menyalakan lampu sein, atau ada pengemudi lain yang ugal-ugalan. Tentunya kondisi seperti ini membuat jengkel dan membuat tubuh kita harus langsung bereaksi spontan tanpa berpikir panjang, seperti menekan rem atau membunyikan klakson.
Tindakan refleks yang seperti itu adalah bentuk mekanisme adaptasi, yaitu cara tubuh dan pikiran menyesuaikan diri untuk menghadapi ancaman atau situasi berbahaya. Mekanisme adaptasi ini melibatkan kerja sistem saraf, pengalaman, dan faktor psikologis yang membentuk kebiasaan pengemudi dalam merespons kondisi berisiko. Esai ini akan membahas bagaimana rem dan klakson menjadi bentuk nyata dari respons instingtif manusia saat menghadapi bahaya di jalan, serta bagaimana faktor pengalaman dan emosi memengaruhi cara pengemudi bereaksi.
2. Pembahasan
Penulis mengambil lima poin untuk dibahas sebagai berikut;
a) Pengertian Mekanisme Adaptasi
Dalam psikologi, mekanisme adaptasi berarti cara seseorang menyesuaikan diri terhadap perubahan atau ancaman lingkungan untuk menjaga keseimbangan diri. Menurut teori “fight or flight” yang banyak dijelaskan dalam kajian perilaku manusia, tubuh kita secara otomatis menyiapkan dua pilihan ketika menghadapi ancaman: melawan (fight) atau menghindar (flight).
Pada pengemudi, respons ini tentunya seperti tindakan menginjak rem (menghindar) atau membunyikan klakson (memberi peringatan). Mekanisme ini terjadi sangat cepat karena dikendalikan oleh sistem saraf otomatis, bukan melalui proses berpikir yang panjang.
Suwarto, Hartono, dan Lukman (2019) dalam penelitiannya tentang Profil Perilaku Pengendara Usia Remaja menemukan bahwa rasa takut dan kewaspadaan berpengaruh langsung terhadap kecepatan respons pengemudi terhadap situasi bahaya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem adaptasi manusia dalam berkendara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fisik, tetapi juga oleh keadaan emosional dan pengalaman.
b) Rem dan Klakson sebagai Respons Instingtif
Ketika tubuh mendeteksi adanya ancaman di jalan raya, otak langsung mengirimkan sinyal ke otot untuk bertindak cepat. Rem berfungsi sebagai alat pengendalian utama untuk menghindar dari bahaya. Dalam hitungan sepersekian detik, jari-jari pengemudi bisa langsung menekan rem sebelum sempat berpikir panjang. Ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah hasil kerja mekanisme refleks yang sudah terbentuk melalui kebiasaan dan pengalaman.
Sementara itu, klakson memiliki fungsi yang berbeda. Walaupun bukan reaksi fisik untuk menghindar, membunyikan klakson merupakan bentuk respon sosial instingtif. Ketika pengemudi merasa terancam, otak memperingatkan atau melindungi diri dengan cara memberi sinyal kepada orang lain.
Utari (2021) dalam jurnal Psikoneo Universitas Mulawarman menjelaskan bahwa pengendara dengan kematangan emosi yang baik lebih mampu mengendalikan diri saat menghadapi situasi jalan yang menegangkan. Ini membuktikan bahwa meskipun reaksi instingtif seperti membunyikan klakson atau mengerem adalah alami, kemampuan mengelola emosi tetap penting agar reaksi tersebut tetap efektif dan tidak berlebihan.
c) Pengalaman dan Pembelajaran dalam Adaptasi Berkendara
Adaptasi tidak hanya berasal dari naluri alami, tapi juga bisa melalui pengalaman yang terulang-ulang. Setiap kali pengemudi menghadapi bahaya di jalan, otak seakan-akan “merekam” pola bahaya dan tindakan yang berhasil mengatasinya. Seiring waktu, jalur saraf tersebut semakin kuat, sehingga pengemudi menjadi lebih cepat dan akurat dalam bereaksi.
Hendratmoko (2020) dalam Kajian Transportasi Jalan menunjukkan bahwa faktor psikologis seperti perhatian, pengalaman, dan tingkat kewaspadaan berpengaruh besar terhadap keselamatan berkendara. Pengemudi berpengalaman cenderung memiliki reaksi refleks yang lebih terkontrol karena telah terlatih secara mental dalam mengenali tanda-tanda bahaya. Dengan kata lain, pengalaman membantu memperkuat mekanisme adaptasi alami manusia.
d) Klakson sebagai Bentuk Komunikasi Sosial dan Budaya
Selain fungsi teknis, klakson juga memiliki makna sosial. Di Indonesia, bunyi klakson pendek sering digunakan sebagai tanda “awas” atau “saya mau lewat”. Namun di negara lain, penggunaan klakson berlebihan bisa dianggap tidak sopan. Ini menunjukkan bahwa adaptasi manusia saat berkendara juga dipengaruhi oleh budaya dan norma sosial.
Elias, Rompis, dan Lefrandt (2023) dalam jurnal SOSTECH menjelaskan bahwa emosi dan pemahaman aturan lalu lintas memengaruhi tingkat agresivitas pengendara. Pengemudi yang kurang memahami norma sosial cenderung lebih sering menggunakan klakson dengan nada marah atau frustrasi. Dengan demikian, adaptasi instingtif seperti membunyikan klakson tidak hanya bersifat biologis, tetapi juga sosial dan emosional.
e) Pentingnya Kesadaran dan Pengendalian Diri
Walaupun reaksi instingtif seperti mengerem dan membunyikan klakson sangat penting untuk keselamatan, tindakan tersebut sebaiknya tetap dikendalikan oleh kesadaran dan tanggung jawab. Pengemudi yang terlalu banyak bereaksi atau emosional justru bisa menimbulkan bahaya baru di jalan. Oleh karena itu, pengembangan kesadaran diri, pengendalian emosi, serta latihan refleks berkendara yang baik dapat membantu menyeimbangkan antara respons cepat dan pengambilan keputusan yang bijak.
Dengan memahami mekanisme adaptasi yang bekerja dalam diri manusia, kita dapat menjadi pengemudi yang tidak hanya cepat bereaksi, tetapi juga tetap tenang dalam segala situasi.
3. Kesimpulan
Rem dan klakson adalah dua simbol nyata dari mekanisme adaptasi instingtif manusia saat menghadapi ancaman di jalan raya. Saat bahaya muncul, tubuh bereaksi otomatis melalui sistem saraf untuk melindungi diri, baik dengan menghentikan kendaraan ataupun memperingatkan orang lain. Reaksi tersebut merupakan hasil perpaduan antara naluri biologis, pengalaman berkendara, serta pengaruh emosional dan sosial. Memahami mekanisme adaptasi ini bukan hanya penting untuk keselamatan pribadi, tetapi juga untuk menciptakan budaya berlalu lintas yang lebih tertib dan manusiawi.
4. Referensi
• Suwarto, F., Hartono, & Lukman. (2019). Pengaruh Rasa Takut Terhadap Profil Perilaku Pengendara Usia Remaja. Jurnal Rekayasa Sipil, Universitas Andalas.
• Utari, U. (2021). Hubungan Perilaku Mengemudi Agresif dan Kematangan Emosi dengan Disiplin Berlalu Lintas pada Pengendara Remaja di Samarinda. Jurnal Psikoneo, Universitas Mulawarman.
• Hendratmoko, P. (2020). Pengembangan Model Perhitungan Nilai Keselamatan Transportasi Jalan dengan Pendekatan Ilmu Psikologi. Kajian Transportasi Jalan, Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan.
• Elias, Y. R. D., Rompis, S. Y. R., & Lefrandt, L. I. R. (2023). Pengaruh Pemahaman Regulasi Lalu Lintas dan Emosi Terhadap Perilaku Aggressive Driving Pengendara Sepeda Motor. Jurnal SOSTECH, Universitas Negeri Manado.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
