Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Ekonomi Dunia di Atas Kertas yang Rapuh

Politik | 2025-10-16 20:47:49
sumber : freepik

IMF memperingatkan bahwa total utang publik global kini mencapai sembilan puluh tiga persen dari PDB dunia dan akan melampaui seratus persen sebelum akhir dekade ini. Dalam laporan Fiscal Monitor terbaru, lembaga itu menyebut delapan puluh persen perekonomian dunia kini menanggung beban utang yang lebih berat dibanding sebelum pandemi. Angka itu berarti manusia berutang lebih banyak daripada yang mereka hasilkan. Amerika Serikat, Jepang, dan Italia memimpin daftar negara dengan utang terbesar, sementara negara berkembang terjebak dalam lingkaran pinjaman demi menjaga pertumbuhan dan defisit fiskal.

Indonesia ikut berada dalam arus yang sama. Berdasarkan data CEIC, rasio utang pemerintah mencapai tiga puluh sembilan koma dua persen dari PDB pada akhir 2024 dengan nilai setara lima ratus empat puluh delapan miliar dolar Amerika. Pemerintah menyebut posisi itu masih aman karena di bawah batas empat puluh lima persen, tetapi setiap tahun porsi pembayaran bunga dalam APBN terus membesar. Ruang fiskal yang seharusnya dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat menyempit karena tersedot kewajiban pembayaran utang.

Fenomena ini bukan sekadar soal angka, melainkan soal paradigma. Dunia modern telah terbiasa membangun dengan uang yang tidak dimiliki. Pertumbuhan ekonomi didorong oleh kredit dan pinjaman, bukan oleh nilai riil dari produksi. Uang fiat menjadikan nilai hanya simbol kepercayaan, bukan representasi barang atau jasa nyata. Akibatnya, sistem ekonomi global bergantung pada keyakinan yang bisa berubah sewaktu-waktu. Ketika keyakinan itu goyah, krisis pun datang, dan solusinya kembali sama: menambah utang.

Islam memandang cara berpikir semacam ini sebagai bentuk penyimpangan mendasar. Dalam pandangan Islam, kekuatan ekonomi bukan dibangun dari utang, melainkan dari pengelolaan riil atas sumber daya. Negara bertugas memastikan bahwa kekayaan alam, hasil bumi, dan kepemilikan publik dikelola untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan dijadikan jaminan untuk meminjam dana luar negeri. Islam tidak menolak perdagangan atau investasi, tetapi menolak sistem yang menjadikan utang sebagai fondasi keberlangsungan negara.

Rasulullah dan para khalifah sesudahnya tidak pernah membangun ekonomi dengan utang berbunga, karena itu berarti menyerahkan kedaulatan pada pemberi pinjaman. Dalam sistem Islam, baitul mal menjadi pusat keuangan negara yang dikelola berdasarkan sumber pendapatan nyata seperti zakat, jizyah, kharaj, dan kepemilikan umum. Pengeluaran dilakukan sesuai kemampuan, bukan berdasarkan janji uang masa depan. Karena itu, stabilitas ekonomi dalam sejarah Islam tidak pernah bertumpu pada lembaga keuangan internasional atau pasar uang, melainkan pada keseimbangan antara produksi, konsumsi, dan keadilan distribusi.

Ketika dunia modern menjadikan utang sebagai normalitas baru, Islam justru menempatkannya sebagai anomali. Sebab utang dalam skala negara menciptakan ketergantungan struktural. Ia membuat kebijakan publik tunduk pada disiplin fiskal global, bukan pada kebutuhan rakyat. Negara peminjam kehilangan kebebasan untuk menentukan arah pembangunan karena harus menyesuaikan diri dengan syarat kreditur. Dalam istilah modern, itu disebut kerja sama ekonomi, padahal dalam substansi ia adalah bentuk baru dari kolonialisme.

Masalah utang juga bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal moral. Islam memandang bahwa berutang tanpa kemampuan membayar adalah bentuk ketidakadilan, karena membebani pihak lain tanpa dasar kemampuan nyata. Dalam konteks negara, utang berarti memindahkan beban kepada generasi yang belum sempat berbicara. Ia menjadikan rakyat masa depan sebagai penanggung jawab keputusan masa kini. Tidak ada prinsip amanah dalam kebijakan yang membiayai hari ini dengan menagih masa depan.

Indonesia hari ini perlu melihat utang bukan sekadar sebagai alat pembangunan, tetapi sebagai cermin arah berpikir. Apakah pembangunan ini benar-benar bertujuan menyejahterakan rakyat, atau sekadar menumpuk proyek yang menambah beban fiskal. Selama kebijakan ekonomi masih berorientasi pada pinjaman luar negeri dan proyek yang dibiayai utang, kita akan terus bergerak di dalam lingkaran ketergantungan.

Islam menawarkan alternatif yang mungkin terdengar sederhana, tetapi justru itulah kekuatannya. Ia menempatkan nilai uang pada zat, bukan janji. Dalam sejarah panjang peradaban Islam, dinar dan dirham berfungsi sebagai alat tukar dengan nilai intrinsik yang stabil. Tidak ada inflasi yang liar, tidak ada manipulasi nilai, dan tidak ada krisis moneter sebagaimana yang dikenal dunia modern. Prinsip itu bisa diterjemahkan dalam konteks sekarang bukan dengan kembali ke logam mulia secara fisik, tetapi dengan mengembalikan makna uang sebagai alat tukar yang mewakili nilai nyata.

Ekonomi Islam berdiri di atas asas keseimbangan, kejujuran, dan keadilan. Negara tidak dibiarkan hidup dari pinjaman, karena itu berarti menggantungkan keberlangsungan hidup rakyat kepada pihak lain. Dalam pandangan Islam, kemandirian ekonomi bukan sekadar tujuan pragmatis, melainkan kewajiban moral. Ia adalah bagian dari amanah kekuasaan.

Dunia modern mungkin menganggap utang sebagai mekanisme normal, tetapi dari kacamata Islam, itu adalah tanda sistem yang kehilangan arah. Sebuah peradaban yang hidup dari janji-janji kertas tak akan pernah benar-benar berdiri tegak. Keseimbangan hanya lahir dari nilai yang nyata dan keadilan yang terjaga. Maka, di tengah dunia yang terus menumpuk utang, keberanian untuk berkata cukup adalah bentuk tertinggi dari kedaulatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image