Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Partai An-Nahdhah Adaptasi Islam Politik di Tunisia

Politik | 2025-10-16 19:53:04
Pendukung Partai Ennahda Tunisia, Sumber : republika.co.id, Photo : AP Photo/Benjamin Girette

Menurut Hasan (2012) di dalam studinya terdapat tiga dimensi sebuah gerakan politik dapat dikategorikan sebagai Islam politik, yaitu (1) aktor, (2) aktifisme, dan (3) ideologi.

Aktor merujuk pada individu, kelompok, atau institusi yang berperan aktif di dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam ranah politik kenegaraan, aktor yang terlibat itu merupakan mereka yang beragama Islam, mengikat aktifitasnya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada kebijakan pemerintahan.

Sedangkan aktifisme adalah mengaktifkan diri melakukan gerakan dan aktifitas bernuasa politik yang memiliki spektrum sangat luas, terutama berkait dengan perebutan kekuasaan. Kemudian ideologi memiliki fungsi sebagai sumber pemikiran, inspirasi, dan landasan dari aktifitas gerakan, berangkat dari keyakinan Islam.

Keyakinan kelompok Islam pada aktor, aktifisme, dan ideologi, melahirkan banyak gerakan Islam politik di berbagai belahan dunia. Salah satu kelompok sangat terkenal adalah Ikhwanul Muslimin (Mesir), gerakan yang didirikan oleh Hasan al-Banna ini, memiliki pengaruh sangat kuat ke berbagai negara-negara Islam.

Ideologi Islamisme

Pergerakan Ikhwanul Muslimin berusaha menyatukan berbagai aliran (furu) yang berbeda-beda, orientasi gerakannya menghindari perpecahan di dalam tubuh umat Islam (Machmudi, 2021). Ikhwanul Muslimin meyakini Islam memiliki makna universal menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, Islam memberikan bimbingan serta aturan yang terperinci dari seluruh masalah kehidupan, Islam yang diyakini Ikhwanul Muslimin memberikan solusi membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia (Hamid, 2001).

Dari beberapa karakteristik Ikhwanul Muslimin itu, pergerakan ini memiliki karakteristik sebagai gerakan Islamisme. Menurut Tibi (2016), Islamisme melihat Islam sebagai sebuah ideologi dan basis gerakan untuk melakukan reformasi masyarakat secara menyeluruh, dengan menolak sekulerisme dari dunia barat, serta memperjuangkan formalisasi syari’at Islam dalam kehidupan bernegara.

Pergerakan politik FIS (Front Islamique du Salut) di Aljazair, menjadi kelompok Islam politik yang terpengaruh Ikhwanul Muslimin, meskipun secara struktural tidak terafiliasi dengan pergerakan berasal dari Mesir itu, tetapi ideologi FIS sangat terinspirasi oleh ide-ide Ikhwanul Muslimin, banyak tokoh FIS membaca karya Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan politik FIS menggunakan jalur konstitusional dan demokrasi untuk menegakkan pemerintahan Islam, hal ini memiliki kesamaan dengan metode gerakan Ikhwanul Muslimin memilih strategi bertahap.

Peniruan gerakan FIS pada Ikhwanul Muslimin, ditunjukkan ketika FIS memulai gerakannya dari masjid, kampus, dan komunitas lokal, serta mendirikan berbagai lembaga pendidikan, sosial, dan lembaga dakwah diberbagai pelosok Aljazair. Hal ini sangat mirip dengan model gerakan dirintis Ikhwanul Muslimin.

Pada tahun 1991, FIS mengikuti pemilu dengan mendapatkan suara nasional sebesar 54%, atau setara dengan188 kursi di parlemen pusat, sebelumnya FIS memenangkan pemilu tingkat lokal pada tahun 1990. Pasca pemilu tingkat lokal itu, FIS menerapkan sistem Islam di beberapa daerah tempat kemenangannya.

Kemudian pada Desember 1991, FIS menggelar pameran berslogan “Islam adalah penyelamat”, di dalam pameran tersebut, partai Islam ini membuktikan berbagai keberhasilan mereka di dalam memimpin daerah-daerah yang mereka kuasai, dengan menerapkan aturan-aturan Islam di dalam sistem kenegaraan (Romli, 2000). Melihat FIS membawa narasi “Islam adalah penyelamat”, pada tanggal 12 Januari 1992 pihak militer yang memiliki haluan ideologi sekuler melakukan aksi kudeta (Wiktorowicz, 2012).

Peristiwa kudeta militer pada Islam politik di Aljazair, memiliki kesamaan dengan yang terjadi di negara Turki.

Partai Kesejahteraan (Refah Partisi) di Turki, menempuh pendekatan Islamis, simbol-simbol Islam lebih dominan ditunjukkan ke publik. Partai Refah memiliki program politik antitesis dari sekulerisme.

Pertama, menawarkan sistem perbankan tanpa bunga. Kedua, ketidakminatan Turki bergabung ke dalam Uni Eropa. Ketiga, pembentukan PBB khusus negara-negara Islam, serta mengarahkan Turki berkiblat ke Timur Tengah. Keempat, memberantas kemaksiatan serta mengakhiri sekulerisme Turki, untuk diganti dengan islamisasi. Kelima, berusaha mewujudkan pemerintahan bersih dari korupsi (Hidayat, 2015)

Pada tahun 1995 Partai Refah menjadi pemenang pemilu nasional, sehingga mengantarkan pendirinya, Necmettin Erbakan, menjadi Perdana Menteri (PM), saat menjadi perdana menteri Turki, Partai Refah berusaha mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara Islam.

Melihat arah pemerintahan Turki di bawah Partai Refah lebih condong ke Islam, pihak militer sekuler melakukan “kudeta pasif” pada tanggal 28 Februari 1997. Pihak militer dan Mahkamah Konstitusi menekan Erbakan untuk turun dari jabatan kursi perdana mentri. Kemudian Partai Refah melalui pengadilan berhasil dibekukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan Erbakan sendiri dilarang berpolitik selama lima tahun.

Peristiwa dua kudeta militer Aljazair dan Turki, memberikan dampak sangat besar bagi kelompok Islam politik di dunia Islam, melahirkan pendekatan baru, Post Islamisme, menolak pendekatan Islam politik terlalu ideologis dan kaku, dengan merefleksikan ulang strategi dan cita-cita Islam politik lebih terbuka dan moderat.

Post Islamisme menampilkan wajah Islam politik yang memadukan nilai Islam dan modernitas, membangun kompromi dan kebijakan realistis, membuka partisipasi perempuan dan hak asasi manusia, serta pragmatis, inklusif, dan moral-spiritual. Post Islamisme tidak memiliki tujuan mengganti dasar negara, lebih penting bagi Post Islamisme negara itu mampu menyejahterakan rakyatnya.

Post Islamisme di Tunisia

Menurut Bayat (2011), Post Islamisme berbeda dengan Islamisme yang memperjuangkan negara Islam, Post Islamisme menolak sekulerisme atau paham memusuhi agama, namun juga menolak negara teokrasi. Post Islamisme tidak sekuler, bahkan sangat menjunjung tinggi agama, namun juga menghargai kebebasan warga negaranya. Post Islamisme merupakan sebuah aspirasi politik masyarakat religius dalam sebuah negara demokratis.

Post Islamisme merupakan tred baru di dalam gerakan Islam politik global, kemunculannya selaras dengan tuntutan memenuhi sistem demokrasi, strategi baru dari kelompok Islam politik ini, bertujuan untuk melangsungkan eksistensinya, dengan menempuh perubahan strategi dari formalisasi-ideologis kepada ide politik yang lebih pragmatis-realistik.

Post Islamisme menekankan pembangunan kepada masyarakat muslim yang berbasis pada tiga aspek, yaitu Pertama, menekankan hak kemanusiaan. Kedua, pro terhadap pluralitas dari pada otoriter, dan Ketiga, lebih melihat masa depan dari pada masa lalu. Gagasan utama Post Islamisme sendiri menekankan sinergitas Islam dengan modernitas (Jati, 2017).

Islam politik di dunia Islam yang menggunakan pendekatan Post Islamisme salah satunya, Partai An-Nahdhah (Tunisia), didirikan Rachid Ghannouchi, partai ini memiliki komitmen terhadap demokrasi, sikap ini tercermin pada manifesto partai, menekankan pentingnya demokrasi dan pemilihan umum yang bebas.

Partai An-Nahdhah mempromosikan kesetaraan gender dan melindungi hak-hak perempuan, termasuk pengesahan undang-undang penting untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Partai An-Nahdhah sejak awal mengadopsi prinsip-prinsip pluralistik dan demokratis pada awal tahun 1980-an, jauh sebelum partai tersebut memasuki proses politik (Blanc, 2020)

Partai An-Nahdhah mengikuti pemilihan umum pada Oktober 2011, dengan mengkampanyekan diri sebagai partai Islam moderat yang menghargai kebebasan beragama serta hak-hak kaum minoritas. Perolehan suara Partai An-Nahdhah memperoleh suara 41,47%, ketika dikonversikan dengan kursi, meraih 90 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan, hal ini mengungguli kelompok kiri Partai Kongres untuk Republik mendapatkan 13,8% setara 30 kursi, kemudian Partai Al-Takatul setara 9,68% atau 21 kursi; serta sekutunya Ben Ali, Al-Aridlah al-Sya’biyah hanya memperoleh 19 kursi (M. G. Romli, 2002).

Ketika pemerintahan baru terbentuk pasca pemilu 2011, Partai An-Nahdhah mengambil sikap tidak menyetujui dimasukkannya aturan syariah dalam konstitusi, tidak melarang adanya bunga bank, serta memberikan jaminan bagi keberadaan kelompok sekuler, investor barat, dan turis. Meskipun moderat dalam berpolitik, Partai An-Nahdhah menolak normalisasi hubungan dengan Israel, serta menyampaikan Tunisia selamanya menentang zionisme Israel (Kartini, 2016). Partai An-Nahdhah memperkuat citra politik sebagai partai moderat, dilakukan dengan cara menjalin koalisi dengan partai-partai sekuler, pasca memenangkan pemilu ditahun 2011, An-Nahdhah melakukan koalisi dengan dua partai sekuler, yaitu The Congress for the Republic (CPR) dan Partai Ettakatol (Machmudi, 2021).

Partai An-Nahdhah percaya bahwa perlindungan dan perjagaan terhadap kebebasan dan keadilan harus menjadi daftar prioritas teratas, serta menyakini partai tidak mengemban tanggungjawab itu sendirian. Partai An-Nahdhah merupakan partai menggunakan pendekatan gradual dan akomodatif. Partai An-Nahdhah percaya bahwa Tunisia untuk semua rakyat, tidak hanya bagi muslim atau orang tertentu saja. Pemikiran partai ini menjadi moderat dilatarbelakangi, bahwa masyarakat Tunisia memiliki kebebasan untuk berkeyakinan apa pun (Maulana, 2020).

Pemimpin Partai An-Nahdhah, Rachid Ghannouchi, pendukung jalan tengah antara demokrasi dan Islam, dia bertujuan untuk mendamaikan prinsip-prinsip Islam dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keragaman, dengan tetap mempertahankan referensi Islam sebagai rujukan berpolitik (Tamimi, 2018).

Partai An-Nahdhah bukan lagi dikategorikan sebagai gerakan Islamisme, melainkan sebagai partai Post Islamisme (Muslim-Demokrat), partai ini ingin menciptakan solusi untuk masalah sehari-hari yang Tunisia hadapi, sebab semua rakyat Tunisia memperoleh hak yang sama. Partai An-Nahdhah ingin menghindari konflik dengan kelompok sekuler, meskipun kelompok ini secara kuantitas kecil, tetapi pengaruh mereka sangat besar, terutama melakukan mobilisasi dukungan dari dunia barat.

Partai An-Nahdhah menjaga agar kelompok Islam politik di Tunisia bisa terus berkiprah dan memberikan banyak kontribusi bagi rakyatnya, tanpa direpotkan konflik berlarut-larut dengan kelompok sekuler.

Referensi Artikel

1. Bayat, Asef. 2011. Pos Islamisme. (Yogyakarta : LkiS).

2. Blanc, Théo. 2020. Ennahdha face à l’après-Ghannouchi. Doctorant en science politique Institut Universitaire Européen (EUI),

3. Hasan, Noorhaidi. 2012. Islam Politik Di Dunia Kontemporer : Konsep, Genenalogi Dan Teori (Yogyakarta : Suka Press).

4. Hamid, Muhammad Abdul. 2001. 100 Pelajaran Dari Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin (Robbani Press : Jakarta).

5. Kartini, Indriana. 2016. Agama dan Demokrasi Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia Mesir, dan Libya. (Bandung : Pustaka Jaya).

6. Hidayat, Syahrul. 2015. Mengislamkan Negara Sekuler : Partai Reffah, Militer dan Politik Elektoral di Turki (Jakarta, Kencana Prenada Media Group).

7. Machmudi, Yon. 2021. Timur Tengah Dalam Sorotan Dinamika Timur Tengah Dalam Perspektif Indonesia (Jakarta : Bumi Aksara).

8. Maulana, Yusuf. 2020. Rached Ghannouchi Siasat Muslim Demokrat Di Arah Baru. (Jakarta : Yayasan Faham Mandiri Indonesia Mandiri)

9. Machmudi, Yon. 2021. Timur Tengah Dalam Sorotan Dinamika Timur Tengah Dalam Perspektif Indonesia. (Jakarta : Bumi Aksara).

10. Romli, M. G. (2002, September 9). Islam Politik di Tunisia. Harian Kompas, 7.

11. Romli, Asep Syamsul M. 2000. Demonologi Islam : Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta : Gema Insani Press).

12. Jati, Wasisto Raharjo. 2017. Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (Jakarta : LP3ES).

13. Tamimi, Azzam. 2018. Rachid Ghannouchi Seorang Demokrat Dalam Wacana Islamisme (Kuala Lumpur : Islamic Renaissance Front)

14. Tibi, Bassam. 2016. Islam dan Islamisme. (Bandung : Mizan).

15. Wiktorowicz, Quintan. 2012. Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan dan Studi Kasus. (Jakarta : Penerbit Gading Publishing dan Paramadina).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image