Double Standard Dunia Barat pada Islam Politik
Politik | 2025-09-26 14:00:18
Demokrasi adalah sistem politik yang memberikan ruang untuk terjadinya suksesi kekuasaan dan kepemimpinan secara konstitusional dan berkala, melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu). Sistem politik ini menjamin proses pergantian kekuasaam politik, terjadi secara damai dari satu rezim ke rezim yang lain.
Dunia barat merupakan salah satu pihak yang rajin atau antusias menyebarkan paham demokrasi ke berbagai negara, karena dianggap sistem pemerintahan ini paling sah yang menekankan HAM, kebebasan, dan kedaulatan rakyat. Tetapi sayangnya sikap dunia barat sering kali bersifat hipokrit atau double standard.
Dunia barat memakai double standard, mendukung demokrasi bila hasilnya sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi ragu bahkan menolak bila kekuatan Islam politik yang di nilai kritis dan vokal pada barat, justru yang menang di dalam kontestasi elektoral, alih-alih mendukung proses demokrasi di negara itu, tidak sedikit negara-negara barat menolak mengakui kemenangan kelompok Islam, mereka terdiam atau mendukung pihak militer melakukan aksi kudeta.
Seperti terjadi di Al-Jazair (FIS), Turki (Refah), Palestina (Hamas), dan FJP (Mesir), negara-negara barat memakai double standard.
FIS di Al-Jazair
Pada tahun 1991, FIS (Front Islamic du Salut) atau bahasa Indonesianya Front Keselamatan Islam, salah satu kekuatan Islam politik di negara Al-Jazair, mendapatkan suara nasional sebesar 54%, atau setara dengan188 kursi di parlemen pusat, sebelumnya FIS memenangkan pemilu tingkat lokal pada tahun 1990, mampu menguasai hampir semua daerah di negara bekas jajahan Prancis itu.
Terdapat dua faktor kemenangan FIS di Pemilu Nasional 1991, diantaranya kultur gerakannya besifat longgar, artinya mengakomodasi berbagai paham keagamaan yang ada di dalam Islam, pendekatan FIS sangat ramah atas berbagai mazhab, tidak fanatik pada mazhab tertentu, kemudian FIS memiliki pandangan Islam politik sangat moderat, terbukti menerima sistem demokrasi sebagai cara memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan (Wiktorowicz, 2012).
Sebelum menjadi partai politik, kelompok Islam politik ini bergerak di bidang dakwah, ekonomi, dan pendidikan, mendirikan berbagai lembaga amal serta sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat atas, mereka merupakan gerakan sosial memiliki karakter memberdayakan dan mengadvokasi umat Islam.
FIS menerapkan sistem Islam di beberapa daerah tempat kemenangannya, pasca meraih dukungan besar pada pemilu tingkat lokal tahun 1990, misalnya melarang orang pergi ke bar dan pemisahan sekolah laki-laki serta perempuan. Kemudian pada Desember 1991, FIS menggelar pameran berslogan “Islam adalah penyelamat”, di dalam pameran tersebut, partai Islam ini membuktikan berbagai keberhasilan mereka di dalam memimpin daerah-daerah yang mereka kuasai, dengan menerapkan aturan-aturan Islam di dalam sistem kenegaraan (Romli, 2000).
Melihat FIS membawa narasi “Islam adalah penyelamat”, pada tanggal 12 Januari 1992 pihak militer (sekuler) melakukan aksi kudeta, dengan mengelurkan keputusan membatalkan kemenangan FIS di pemilu nasional, selain tidak mengakui kemenangan kelompok Islam politik itu, pihak militer melakukan tindakan kekerasan kepada para pendukung FIS, misalnya membuka lima pusat penahanan militer di gurun Sahara (6000-30.000 aktivis FIS di tahan, termasuk 500 kepala daerah dan anggota parlemen), menutup semua organisasi amal dan kebudayaan milik FIS, dan pembuhan serta kekerasan kepada para aktivis FIS (Wiktorowicz, 2012).
Repson dunia barat atas kudeta di Al- Jazair di Alih-alih mendukung proses demokrasi, banyak negara Barat “diam” ketika militer yang membatalkan pemilu.
Partai Refah di Turki
Tokoh Islam politik berpengaruh, Necmettin Erbakan, mendirikan partai politik berhaluan Islam, yaitu Partai Kesejahteraan (Refah Partisi), menggunakan logo bulan sabit dengan latar warna merah, partai ini menempuh pendekatan sangat ideologis atau Islamis, artinya simbol-simbol Islam lebih dominan ditunjukkan ke publik.
Erbakan di kenal sebagai bapak Islam politik Turki, dia adalah pendiri dari Gerakan Pandangan Nasional (Milli Gorus Hareketi) pada tahun 1960-an. Kelompok ini memiliki banyak karakteristik yang sama dengan gerakan Islamis lain di dunia Islam, memandang Islam sebagai ideologi serta basis untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Pendukung kelompok Milli Gorus umumnya berasal dari mahasiswa, para pedagang dan kelas menengah saleh yang tidak terwakili oleh partai-partai sekuler (Bubali, Fealy, dan Mason, 2012).
Partai Refah memiliki program politik sangat ideologis, antitesis dari sekulerisme. Pertama, menawarkan sistem perbankan tanpa bunga. Kedua, ketidakminatan Turki bergabung ke dalam Uni Eropa. Ketiga, pembentukan PBB khusus negara-negara Islam, serta mengarahkan Turki berkiblat ke Timur Tengah. Keempat, memberantas kemaksiatan serta mengakhiri sekulerisme Turki, untuk diganti dengan islamisasi. Kelima, berusaha mewujudkan pemerintahan bersih dari korupsi (Hidayat, 2015)
Pada tahun 1995 Partai Refah menjadi pemenang pemilu nasional, sehingga mengantarkan Erbakan menjadi Perdana Menteri (PM), saat menjadi perdana menteri Turki, Erbakan berusaha mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara Arab, selain itu Turki melaksanakan pendekatan politik multi dimensional dengan negara-negara tentangga.
Pandangan politik luar negerinya memiliki dua pilar, hubungan kerja sama yang erat dan persatuan di antara negara-negara Islam. Langkah persatuan di antara negara-negara Islam diwujudkan dengan mendirikan Developing Eight atau D-8 yang bertujuan membentuk persatuan ekonomi dan politik yang kuat, dengan anggota Turki, Iran, Malaysia, Indonesia, Mesir, Bangladesh, Pakistan dan Nigeria (Soekanto, 2016).
Melihat arah pemerintahan Turki di bawah Erbakan lebih condong ke Islam, pihak militer sekuler akhirnya melakukan “kudeta pasif” pada tanggal 28 Februari 1997. Pihak militer dan Mahkamah Konstitusi menekan Erbakan untuk turun dari jabatan kursi perdana mentri. Kemudian Partai Refah melalui pengadilan berhasil dibekukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan Erbakan sendiri dilarang berpolitik selama lima tahun.
Respon dunia barat pada kudeta di Turki, diam-diam banyak negara-negara itu mendukung militer sekuler Turki, disebabkan negara pewaris imperium ottoman ini, menjadi sekutu strategis penting bagi barat, mengingat Turki menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO (North Atlantic Treaty Organization), mereka menginginkan Turki tetap sekuler, agar terjadi stabilitas kawasan, serta menjaga hubungan dengan Israel.
Hamas di Palestina
Hamas merupakan salah satu faksi perlawanan terbesar di Palestina, tepatnya di Jalur Gaza, Hamas atau Harakat al-Muqawama al-Islamiyya, artinya Gerakan Perlawanan Islam, di dalam komunikenya menyatakan bagian dari pergerakan Ikhwanul Muslimin (Mesir).
Pergerakan Hamas berwatak non-kooperatif atau tidak bekerjasama dengan Israel, tidak membuka pintu perundingan, serta tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara, Hamas memiliki cita-cita menghapuskan Israel dari peta dunia. Langkah politik Hamas berbeda dengan PLO (Palestinian Liberation Organization), menempuh langkah lebih lunak membuka perundingan dengan Israel atau menggunakan politik diplomasi.
Hasil dari perundingan antara PLO dengan Israel pada tahun 1993 menghasilkan Kesepakatan Oslo, beberapa poin dari kesepakatan itu. Pertama, PLO akan menghentikan aksi kekerasan, begitu juga dengan Israel. Kedua, Israel menarik mundur pasukan dari Jalur Gaza dan Tepi Barat. Ketiga, di bentuk Pemerintahan Otoritas Palestina atau Palestinian National Authority (PNA), sebagai pemerintahan transisi, PNA memiliki duta besarnya, termasuk di Indonesia (Kumoro, 2009).
Untuk membentuk PNA dilaksanakan pemilu di Palestina, pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1996, terdapat dua faksi perlawanan Palestina memutuskan tidak berpartisipasi, yaitu Hamas dan Jihad Islam.
Tetapi di Pemilu Legislatif 2006, Hamas memutuskan melibatkan diri dalam mekanisme demokrasi di Palestina, keputusan Hamas terlibat dalam Pemilu 2006 adalah rasa tanggungjawab Hamas sebagai bagian dari bangsa Palestina, ingin memberikan kontribusi agar dapat meringankan penderitaan rakyat, melindungi pemerintahan dari praktek korupsi dan kolusi, serta harapan terciptanya persatuan nasional diantara faksi-faksi perlawanan (Kumoro, 2009).
Hasil Pemilu 2006, Hamas mendapatkan 74 kursi dari 132 kursi yang diperebutan, sementara rival politiknya Fatah (PLO) memperoleh 45 kursi, kemenangan Hamas ini ditunjang keberhasilan mereka bergerak di akar rumput, melalui lembaga amal, dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006 membuat Israel dan sekutunya khawatir, kepentingan mereka akan mendapat ganguan besar, mereka melakukan berbagai tindakan untuk melemahkan pemerintahan Hamas.
Pertama, Israel dan Amerika Serikat memotong jalur ekspor serta aliran dana terhadap pemerintahan baru terbentuk, tidak cukup sampai disana mereka membuat propaganda kepada berbagai negara di dunia untuk menstop bantuan kepada Palestina. Kedua, Amerika Serikat menarik bantuan 60 juta dollar AS, sebelumnya memang ditunjukan membantu operasional pemerintah Palestina. Ketiga, Israel tiba-tiba membekukan transfer bulanan sebesar 50 juta dollar AS, dari pajak barang impor melalui wilayah Israel ke Palestina, dana tersebut biasa digunakan untuk membayar gaji pegawai pemeritahan otoritas Palestina setiap bulannya (Kumoro, 2009).
FJP di Mesir.
Pasca Arab Spring yang berhasil menumbangkan Husni Mubarok di Mesir, kelompok Ikhwanul Muslimin mendirikan partai politik, Freedom and Justice Party (FJP), atau Partai Kebebasan dan Keadilan.
FJP merupakan partai Islam berhaluan moderat (Islam wasathiyyah), memiliki platform politik, memperjuangkan prinsip keadilan sosial dengan distribusi ekonomi merata ke seluruh lapisan masyarakat, menjanjikan kepastian hukum dan pemberantasan korupsi, dengan melakukan reformasi di berbagai lembaga kenegaraan, menjamin kebebasan sipil serta membuka ruang publik yang terbuka, dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai prinsip bernegara.
Disebutkan dalam AD/ART FJP, partai ini sangat menghargai komunitas non muslim untuk menjalankan keyakinan, beragama, dan kebebasan menggunakan simbol-simbol agama.
Bahkan FJP menerima pluralitas di tengah-tengah masyarakat Mesir, hal ini bisa kita lihat dari penempatan sosok Dr. Rafiq Habib, berasal dari kelompok Kristen Koptik, menjadi wakil ketua umum partai. Kristen Koptik sendiri memiliki populasi sebesar 9% dari total seluruh penduduk Mesir (Ghozzah, 2012).
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), pada pemilu 2011/2012 memenangkan sekitar 47% kursi parlemen, menjadikannya sebagai partai politik yang memiliki kekuatan terbesar di lembaga legislatif itu. Kemudian pada pemilu presiden, kandidat diusung FJP, Mohamed Morsi, meraih kemenangan atas Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak.
Tetapi kemenangan kelompok Islam politik tidak bertahan lama, terjadi konflik di dalam tubuh pemerintahan, antara kelompok Islamis dengan kelompok sekuler, terdapat tuduhan kepada FJP, bahwa partai ini melakukan proyek “Ikhwanisasi negara”, sehingga terjadi konflik politik berlarut-larut, yang berujung aksi kudeta militer di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Sisi.
Sikap dunia barat melihat proses transisi demokrasi di Mesir sangat ambigu, awalnya menerima kemenangan FJP, negara barat tidak membela Morsi saat kudeta, karena lebih mementingkan stabilitas regional dan hubungan Mesir–Israel.
Penutup
Demokrasi bagi dunia barat sepertinya alat hegemonik untuk mengontrol politik dan ekonomi dunia Islam, sebagai bagian dari dunia Islam tentu kita sangat menyayangkan sikap itu, kita boleh kecewa, tetapi harus di ingat, kritik harus diarahkan pada intervensi politik barat, bukan pada demokrasi itu sendiri, sebab bagi penulis demokrasi tetap bisa digunakan sebagai jalan untuk mengakhiri otoritarianisme, dan menciptakan pemerintahan yang bisa melayani masyarakat.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA)
Referensi Artikel
1. Bubalo, Anthony, Greg Fealy, Whit Mason. 2012. PKS dan Kembarannya : Bergiat jadi Demokrat di Indonesia, Mesir dan Turki. (Jakarta : Komunitas Bambu).
2. Ghozzah, Abdul. 2012. Musim Semi Revolusi Dunia Arab Partai Kebebasan dan Keadilan Sayap Politik Ikhwanul Muslimin (Jakarta, Penerbit Maktaba Gaza).
3. Hidayat, Syahrul. 2015. Mengislamkan Negara Sekuler : Partai Reffah, Militer dan Politik Elektoral di Turki (Jakarta, Kencana Prenada Media Group).
4. Kumoro, Bawono. 2009. Hamas Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionisme Israel. (Mizan, Bandung).
5. Romli, Asep Syamsul M. 2000. Demonologi Islam : Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta, Gema Insani Press).
6. Soekanto, Sitaresmi S. 2016. Strategi Pemenangan Pemilu AKP di Turki dan PKS di Indonesia Studi Perbandingan (Depok : Universitas Indonesia Press).
7. Wiktorowicz, Quintan. 2012. Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan dan Studi Kasus. (Penerbit Gading Publishing dan Paramadina, Jakarta).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
