Islam Politik Masa Orde Baru
Sejarah | 2024-07-06 05:50:57Perjalanan politik Indonesia dari masa ke masa tidak pernah bisa dilepaskan dari peran politik umat Islam, dalam sejarahnya umat Islam Indonesia telah banyak memberikan kontribusi bagi arah pembangunan politik dan demokrasi. Pada artikel ini penulis akan mengulas mengenai relasi kelompok Islam politik ketika masa Orde Baru, sebuah periode sejarah sangat menarik untuk diketahui dan dipahami oleh generasi muda saat ini.
Menurut Robinson (2012) yang sangat menonjol di masa Orde Baru adalah pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan represif untuk mendukung tercapainya stabilitas politik, kebijakan-kebijakan itu diantaranya peminggiran terhadap beberapa kekuatan politik, termasuk di dalamnya Islam politik.
Relasi pemerintah Orde Baru dengan rakyatnya, khususnya umat Islam mengalami pasang surut. Di dalam studi Kamil (2013) memilah periodeisasi relasi Islam politik dengan Orde Baru ke dalam dua periode, yaitu (1) masa dikotomis dan (2) masa akomodatif.
Masa Dikotomis
Masa dikotomis atau pertentangan ditandai oleh kebijakan koersif serta kooptasi negara terhadap umat Islam, pemerintah Orde Baru memandang penuh curiga pada kelompok Islam politik, bukti paling nyata, diantaranya pemerintah menolak rehabilitasi Partai Islam Masyumi yang dibubarkan ketika masa Orde Lama. Mengobati rasa kekecewaan itu kelompok Islam politik kemudian mendirikan partai Islam baru untuk menghadapi Pemilu 1971.
Partai Islam itu bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), diharapkan oleh para penggagasnya menjadi saluran politik umat Islam ketika pemilu, terutama dari kalangan Islam modernis sebagai pengganti Partai Islam Masyumi, tetapi gerak politik Parmusi dihambat pemerintah, hal ini berawal dari terpilihnya Mohammad Roem, tokoh Masyumi, sebagai ketua umum Parmusi, pemerintah melakukan penolakan dan menginstruksikan pelarangan para mantan tokoh Masyumi menjadi pengurus partai politik (Al-Hamdi, 2024).
Pemerintah Orde Baru khawatir kehadiran Mohammad Roem, bisa menghancurkan rencana mereka dalam mengkonsolidasikan kekuatan politiknya, mengingat popularitas Masyumi masih kuat mengakar, hal ini dianggap akan mengancam suara partai politik yang didukung oleh pemerintah.
Pasca Pemilu 1971 pemerintah Orde Baru semakin represif, mendesak partai-partai Islam berfusi menjadi satu partai, ketika itu terdapat beberapa partai Islam peninggalan Orde Lama seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), serta partai Islam baru Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), keempat partai Islam itu didesak pemerintah Orde Baru berfusi menjadi satu partai (Romli, 2008).
Di dalam hitungan matematis fusi partai ini mungkin menguntungkan, kekuatan Islam politik akan lebih solid, padu, dan besar, tetapi justru kalau kita menggunakan logika politik hal itu merugikan. Penggabungan yang dipaksakan rentan konflik internal dikemudian hari, karena partai-partai sebelum fusi sudah memiliki pemikiran, tradisi, dan budaya politik berbeda. Dan, penguasa akan lebih mudah melakukan intervensi dan kontrol kalau hanya ada satu partai Islam. Tetapi kehendak pemerintah Orde Baru ini tidak dapat ditolak, akhirnya partai-partai Islam melakukan fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kemudian bersama Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi perserta Pemilu 1977.
Tidak hanya kebijakan fusi partai, pemerintah Orde Baru menerapkan asas tunggal Pancasila bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan, bentuk depolitisasi Islam politik supaya tidak memungkinkan kekuatan ini memiliki massa konstituen yang kuat mengakar di masyarakat.
Pancasila sendiri sebenarnya tidak menjadi masalah bagi umat Islam, hal itu sudah diterima sebagai dasar negara dan kesepakatan luhur para pendiri bangsa, menjadi permasalahan adalah pemerintah Orde Baru menafsirkan Pancasila secara tertutup berdasarkan kepentingan politiknya, berdampak pada kehadiran tafsir lain diluar tafsir pemerintah dianggap subversif dan terlarang.
Selain itu terdapat beberapa kebijakan Orde Baru sangat merugikan umat Islam, diantaranya pelarangan pemakaian jilbab siswi SMA di Jabotabek, kasus Tanjung Priok, dan Komando Jihad untuk memojokan kalangan Islam politik.
Masa Akomodatif.
Memasuki akhir 1980-an dan awal 1990-an pemerintah Orde Baru merubah kebijakan politiknya pada umat Islam lebih akomodatif dan merangkul, perubahan sikap politik ini bisa kita lihat dari beberapa kebijakan diantaranya.
Pertama, pendirian Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang membangun ratusan masjid dan mensponsori pengiriman dai ke berbagai daerah-daerah terpencil. Kedua, pendirian Bank Muamalat sebagai bank yang menggunakan sistem perbangkan syariah pertama di Indonesia. Ketiga, pemerintah membolehkan para siswi di SMA negeri untuk mengenakan jilbab. Keempat, merestui pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan pendirian Harian Umum Republika (Furkon, 2004).
Perubahan sikap pemerintah Orde Baru ini dipengaruhi dua faktor. Pertama, langkah strategi penguasa dalam menjalin koalisi baru, setelah keretakan hubungannya dengan kalangan militer, muncul kelompok kritis ditubuh militer, mengkritik terhadap jalannya roda pemerintahan. Sikap akomodatif negara terhadap umat Islam dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sejalan dengan kepentingan kalangan Islam. Banyak bukti yang menunjukan semakin tumbuhnya sikap akomodatif Orde Baru terhadap Islam ini, diantarnya akomodatif bersifat struktural, dengan banyaknya pemikir dan aktifis Islam masuk ke dalam struktur lembaga politik baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Thaha, 2005).
Menariknya hal ini ini berbanding terbalik kalau kita melihat kemunculan ICMI, pada awalnya dicurigai sebagai entitas tidak independen yang dibentuk negara, di dalam kenyataannya individu terlibat di dalamnya justru tetap kritis pada kebijakan pemerintah. Bahkan, salah satu tokoh ICMI Amien Rais ketika itu terkenal sebagai vokalis kerap mengkritik kebijakan politik Presiden Soeharto. Meski kemudian Amien terpental dari ICMI, setidaknya membuktikan entitas Islam politik tidak bisa di kooptasi. Individu-individu di dalam ICMI tetap sebagai manusia otonom-mandiri. Ketika mereka bertugas sebagai seorang intelektual memiliki nurani dan moralitas, selamanya ia akan menjadi navigasi utama menuju pintu pembebasan, disaat kekuasaan tiran berdiri di depan mata.
Kedua, munculnya gerakan intelektualisme para aktifis Islam, dengan mengembangkan format politik baru lebih mengedepankan subtansi dari pada simbolis. Kelompok intelektual Islam melakukan pembaharuan dan penyegaran atas pemikiran keagamaan yang saat itu di nilai terlalu ideologis dan dogmatis, mereka mengemukakan subtasi Islam yang memiliki nilai sosial politik tetapi bukan bersifat ideologis.
Salah satu pemikir pembaharu itu Nurcholish Madjid (Cak Nur) melakukan kritik terhadap kelompok Islam politik yang terjebak pada simbol-simbol ideologis, Cak Nur mengajurkan subtansi Islam lebih dikedepankan dalam praksis berpolitik, dan menjauhi isu-isu Ideologis seperti Piagam Jakarta atau negara Islam. Pembaharuan Islam ini kemudian menggelinding menjadi gerakan masif dalam merespon kebijakan pembangunan Orde Baru, mengakibatkan berubahnya sikap negara terhadap umat Islam untuk lebih terbuka dan memberikan akses bagi generasi muda Islam berkarir dalam bidang politik, birokrasi, ekonomi bahkan militer.
Melalui proyek pembaharuan Islamnya, Cak Nur menginginkan wajah Islam menjadi lebih dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dunia yang modern, sehingga apresiasi yang diberikan umat Islam ialah apresiasi ilmiah, bukan ideologis formalis. Karena menurut Cak Nur, apresiasi ideologis sangat berbahaya, bersifat tertutup, berbeda dengan apresiasi budaya yang terbuka. Dampak dari hadirnya ekspresi baru keberagamaan ditubuh umat Islam lebih terbuka terhadap kebijakan modernisme Orde Baru, akhirnya penguasa saat itu banyak mengakomodir umat Islam ke dalam pemerintahan (Azra, 2000).
Penutup
Demikian relasi Islam politik dengan pemerintah Orde Baru dipanggung politik nasional, sebuah hubungan tidak selamanya harmonis, tetapi terjadi pasang-surut dan naik-turun, sesuatu hal biasa di dalam dinamika politik, karena politik merupakan ruang terjadinya pertarungan berbagai kepentingan saling berbenturan. Terpenting generasi muda saat ini bisa mengambil pelajaran dalam mengambil langkah-langkah untuk mengakomodasi perbedaan, serta membuang jauh narasi peminggiran kelompok di masyarakat.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Karawang.
Referensi Artikel
1. Azra, Azyumardi. 2000. Islam Politik Pada Masa Pasca Soeharto kata pengantar dalam AM. Fatwa, Satu Islam Multi Partai : Membangun Integritas Di Tengah Pluralitas. (Bandung : Mizan)
2. Al-Hamdi, Ridho. 2024. Parmusi Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971 (Yaogyakarta, Suara Muhammadiyah).
3. Furkon, Aay Muhamad. 2004. Partai Keadilan Sejahtera : Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Kontemporer. (Jakarta, Terajau).
4. Thaha, Indris. 2005. Demokrasi Religius : Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais (Bandung, Penerbit Teraju)
5. Kamil, Sukron. 2013. Islam Politik Di Indonesia Terkini : Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Anti Korupsi, Demokrasi, dan Perda Syariah. (Jakarta, PSIA UIN Jakarta)
6. Robinson, Richard. 2012. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. (Jakarta, Komunitas Bambu).
7. Romli, Lili. 2008. Islam Yes Partai Islam Yes : Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.