Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faiza Salsabila

Koalisi, Kontestasi, dan Partai Politik Sejati

Politik | 2024-11-08 11:03:07
Sumber: https://www.thoughtco.com/what-is-a-coalition-government-6832794

Euforia pemilu setelah pemilihan presiden masih berlanjut, salah satunya dengan perhelatan pemilihan kepala daerah. Kini berbagai partai politik berebut kemenangan dan jabatan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar dalam waktu dekat, yakni pada tanggal 27 November 2024. Ada 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota yang menyelenggarakan Pilkada serentak. Sejumlah parpol semula saling berseberangan dalam Pilpres 2024, namun mereka kemudian berkoalisi dalam Pilkada (1).

Bagi-Bagi Kue Oligarki dalam Demokrasi

KIM Plus adalah nama koalisi yang dibentuk dalam kontestasi Pilkada 2024. Koalisi tersebut merupakan perluasan dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang sebelumnya mendukung Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, di Pilpres 2024. Tujuan koalisi ini untuk menggabungkan partai-partai politik yang sebelumnya saling bertarung di Pilpres 2024. KIM Plus terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, Prima, PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem.

Hafidz Muftisany dalam buku Hukum Koalisi dan Oposisi Menurut Islam (2021) mendefinisikan koalisi sebagai gabungan partai politik yang mempunyai tujuan sama dengan pemerintah. Pembentukan koalisi umumnya didasarkan pada pertimbangan yang cermat dengan mempertimbangkan kekuatan politis tiap anggota dan kepentingan bersama.

Tugas anggota koalisi adalah mendukung kerja pemerintahan dan kebijakan-kebijakannya dari dalam parlemen. Kinerja pemerintahan dianggap akan lebih efektif karena mendapatkan dukungan dengan adanya koalisi. Selain mengumpulkan basis dukungan, koalisi politik juga bertujuan untuk menghimpun kekuatan parpol, membentuk pemerintahan yang cenderung stabil, menggabungkan kepentingan dan sebagai upaya memenangkan pemilihan dengan mudah (2).

Mahar Mahal Bohirkrasi

Bagi elit politik, pemilu menjadi wadah utama dalam kontes politik. Berbagai cara dilakukan, mulai dari pembagian sembako, pembagian baju dan atribut-atribut partai, konser musik, baliho-baliho yang berisi qoute kandidat, pemasangan posko saat bencana dan yang lainnya. Bahkan ada yang menggunakan jalan pintas seperti money politics. Sehingga yang terjadi adalah kondisi yang disebut politic is money. Sehubungan dengan itu, partai politik dalam mengusung calon di pilkada lebih mementingkan finansial dari calon bersangkutan. Maka tidak heran anggaran besar pun dikeluarkan.

Tragisnya, tidak sedikit kepala daerah yang juga kader parpol terjerat skandal korupsi akibat biaya demokrasi yang sangat mahal. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum pada tahun 2021 hingga 2023. Juga ada 586 anggota DPR dan DPRD sepanjang 2010 sampai 2019 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Semuanya adalah kader-kader partai politik (3).

Masih membekas juga dalam ingatan, terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh salah satu calon wali kota dan wakil wali kota Malang, Abah Anton yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 21 Maret 2018, terkait pengembangan kasus dugaan suap pembahasan APBD Perubahan Pemerintah Kota Malang tahun 2015. Tak hanya Abah Anton, Ganisa Pratiwi Rumpoko sebagai calon wakil walikota yang berpasangan dengan Heri Cahyono, merupakan anak dari Eddy Rumpoko (mantan wali kota Batu yang pernah terjerat kasus korupsi hingga puluhan miliar selama dua periode menjabat sebagai kepala daerah).

KPK pernah menyebutkan untuk Pilkada tingkat gubernur bisa menelan ongkos Rp 60-100 miliar. Akibatnya, banyak parpol menerima sumbangan resmi maupun tidak resmi dari kaum kapitalis agar tetap bisa maju ke Pilkada. Prof. Mahfud MD pernah mengatakan 84 persen calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada dibiayai para cukong.

Pada akhirnya, setelah terpilih, mereka terikat kontrak politik dengan para bohir politik tersebut. Menurut ICW, umumnya istilah bohir digunakan secara negatif. Bohir adalah rentenir politik yang “meminjamkan” uang ke calon-calon yang akan berlaga kontestasi politik seperti Pilkada. Banyak orang yang percaya bohir adalah penentu keberhasilan seorang kandidat dalam pilkada karena perannya yang sangat vital.

Fenomena bohir ini melahirkan istilah lain, yakni “bohirkrasi”, sebagai antitesis demokrasi. Pemegang saham terbesar dalam suatu pilihan raya bukanlah rakyat (demos), tapi bohir yang berada di balik setiap kontestan. Rakyat hanya pelengkap atau “dipungut suara” dari pesta yang mengatasnamakan demokrasi itu (4).

Kekuasaan pun menjadi milik oligarki, tidak lagi jadi milik rakyat. Parpol, eksekutif dan legislatif hanya menjadi perpanjangan tangan para kapitalis. Wajar jika kemudian muncul berbagai aturan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi malah berpihak kepada para oligarki asing maupun aseng.

Parpol hari ini justru hanya memperjuangkan kepentingan dua pihak: kepentingan kelompoknya dan kepentingan para kapitalis-oligarki. Misalnya, DPR mengesahkan UU yang merugikan kepentingan buruh, petani, nelayan dan masyarakat (UU Cipta Kerja). DPR juga mengesahkan UU Minerba yang hanya menguntungkan pengusaha tambang batubara raksasa. Pemerintah bersama DPR pun menyetujui pembangunan IKN yang bukan menjadi kebutuhan vital untuk rakyat. Sebaliknya, sejumlah rancangan undang-undang yang penting untuk rakyat, semisal RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk menindak para pelaku korupsi, malah tak kunjung disahkan (1).

Tidak hanya di Indonesia, praktik serupa juga lazim dilakukan di jantung peradaban kapitalisme, Amerika. Terdapat keterkaitan erat antara pemberi dana kampanye (donor) dengan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam suatu pilihan raya. Di Amerika, praktik ini dilakukan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Perusahaan-perusahaan besar memberikan dukungan (pledge) pada calon tertentu untuk mendapatkan kemudahan (atau proyek) jika sang kandidat memenangkan pilihan (4).

Lingkaran Setan Pragmatisme Partai Politik di Alam Demokrasi

Jejak pragmatis dalam politik di Indonesia sangat masif. Hal tersebut dapat dilihat pada empat aspek penting. Yaitu perilaku politik yang hanya gencar saat menjelang pemilu, pembentukan koalisi di jajaran eksekutif, perilaku politikus saat mendapat jabatan, ditambah dengan masalah dinasti politik.

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma berarti perbuatan atau tindakan. Dalam bahasa Inggris, disebut dengan pragmatic yang berkenaan dengan hasil praktik. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran dari segala sesuatu, baik ucapan, dalil, ataupun teori, diukur berdasarkan pada manfaat yang diberikannya. Pragmatisme merupakan pemikiran cabang kapitalisme. Landasan pemikirannya pun sama, yakni pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) dengan mengedepankan manfaat atau maslahat daripada aturan agama.

Pragmatisme politik tidak mengenal fanatisme ideologi dan kesetiaan terhadap satu partai politik. Berdasarkan uraian diatas pragmatisme politik membuka ruang bagi setiap individu atau kelompok untuk menentukan tujuan politiknya berdasarkan kepentingan semata. Kepentingan yang akan diraih adalah kemenangan (glory), manfaat (utility), dan kekuasaan (power). Politik aliran atau bahkan ideologi partai tidak menjadi dasar bagi partai politik saat membentuk koalisi. Masing-masing partai politik dapat menentukan dengan partai mana dia akan bergabung dan membentuk koalisi, yang hanya didasari oleh hal-hal pragmatis. Hal pragmatis tersebut didasarkan pada kemungkinan untuk menjadi pemenang dalam suatu kontestasi serta keuntungan apa yang akan diperoleh setelah memberi dukungan dalam pencalonan pilkada.

Pragmatisme politik merupakan suatu keniscayaan di Indonesia, sudah ada dan terus berkembang. Jika sebelumnya partai politik memaksimalkan suara basisnya untuk meraih kemenangan, yang tentunya membutuhkan upaya yang sangat besar. Namun dengan membentuk koalisi yang sifatnya pragmatis dapat membantu proses meraih kemenangan, tetapi tidak membutuhkan upaya yang terlalu besar. Pragmatisme politik terbentuk karena peserta pemilu memiliki motif, kepentingan, dan ambisi untuk memperoleh kemenangan dalam suatu kontestasi. Pragmatisme banyak dilakukan partai politik dalam hal kerjasama untuk membangun koalisi. Koalisi ini dibangun dengan sangat cair dan acak, tanpa memperhatikan ideologi partai yang berseberangan satu sama lain karena hal ini dianggap sebagai strategi yang lebih efektif. Selain itu koalisi partai politik cenderung mengusung pasangan calon yang populer dengan elektabilitas yang mumpuni. Tujuan dari koalisi yang mendominasi dan mengusung calon yang mumpuni, lebih dikarenakan dua hal ini dapat menjadi salah satu faktor memenangkan pilkada.

Secara mikro munculnya sikap pragmatis disebabkan kecenderungan pada materialis dan hedonis. Dari kedua sifat ini, lalu muncul sikap utilitarianisme, perilaku bebas tanpa ada rambu-rambu agama (kemudian memisahkan antara perilaku dan nilai ke-Tuhanan), dan beranggapan pandangan baik dan buruk tidak tetap (tergantung siapa yang memandang), serta diringi rasa untuk mendapatkan hasil yang cepat (dengan orientasi jangka pendek).

Kita menyaksikan banyak parpol bermutasi menjadi korporasi dengan transaksi politik di dalam sistem demokrasi kapitalisme. Pendapat Olle Tornguist sebagaimana yang dikutip R. William Liddle menyatakan, demokrasi formal memang sudah terbentuk, tetapi secara substansial yang terjadi sesungguhnya adalah demokrasi kaum penjahat

Saat ini partai politik kian sulit untuk dibedakan. Publik hampir tidak bisa lagi mengkategorikan mana partai Islam, non-Islam, ataupun nasionalis, semuanya memiliki wajah yang sama. Boleh dikatakan hampir seluruh partai merupakan partai pragmatis. Mereka rela mengesampingkan ideologi guna memperoleh keuntungan. Awalnya oposisi, kini berkoalisi dengan pihak lain. Begitu juga sebaliknya. Spirit Islam tidak lebih sebagai daya tarik simpatisan untuk merebut suara umat Islam (5). Lucunya, narasi pelarangan politik identitas terus menggaung. Terlihat jelas betapa Islam bukanlah landasan sebenarnya dalam berpolitik. Islam sekadar simbol politik.

Ironisnya, pragmatisme ini akhirnya bisa menimbulkan citra buruk pada Islam dan pada parpol Islam hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan makin skeptis terhadap parpol dan politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, dan manipulatif. Hal ini bisa membahayakan upaya penegakan kembali sistem Islam di muka bumi (6).

Pandangan Islam terhadap Pragmatisme

Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, bukan kemanfaatan. Oleh karena itu, pragmatisme sangat bertentangan dengan Islam. Standar manfaat pun memiliki tolok ukur berbeda antara satu orang dan orang lain, satu umat dan umat lain, bahkan satu bangsa dan bangsa lain. Boleh jadi suatu hal bermanfaat bagi satu pihak, tetapi mudarat bagi yang lainnya.

Allah Swt. telah berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (QS Al-A’raf [7]: 3).

Ayat ini melarang kita mengikuti apa saja yang tidak Allah turunkan, termasuk manfaat atau kegunaan yang kita dapatkan dari hasil perbuatan. Islam berpandangan bahwa kemanfaatan harus distandarkan terlebih dulu pada syariat, bukan pada kemanfaatan mutlak atau sembarang manfaat (6).

Umat Butuh Partai Politik Islam Sejati

Umat pantas kecewa dengan realitas politik hari ini. Saling sikut demi kepentingan segelintir pihak sama sekali tidak mencirikan karakter politik dalam Islam. Alih-alih mewarnai sistem politik, parpol-parpol Islam justru pragmatis dalam bersikap.

Padahal, politik dalam Islam sejatinya bermakna pengurusan urusan umat. Politik Islam tegak atas dasar akidah Islam. Dengan kata lain, politik Islam hakikatnya adalah pengurusan urusan rakyat berdasarkan prinsip syariat. Sirah Rasulullah saw. menghimpun berbagai kisah yang luar biasa terkait sikap dan aktivitas politik Rasulullah saw.. Hal tersebut tampak saat beliau berinteraksi dengan kaum kuffar, mengungkap rencana buruk mereka, dan mengadopsi berbagai kemaslahatan umat. Inilah konsep politik yang sesungguhnya, yakni mengurusi seluruh urusan umat. Islam mengajarkan manusia cara berpolitik, berekonomi, bergaul di tengah masyarakat, menyelesaikan berbagai konflik di tengah umat, menjaga pertahanan dan keamanan, dan seterusnya.

Semua aturan ini berasal dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Bisa dipastikan penerapannya akan membawa kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh umat manusia, bukan menguntungkan segelintir orang saja. Bekal keimanan dan pemikiran inilah yang menjadi energi besar dan kuat di tengah umat sehingga pergerakan mereka bukan karena maslahat sesaat, atau karena ada figur yang dianggap performanya kuat (7).

Partai Ideologis Itu Pasti Ada

Rasulullah saw. memastikan bahwa kelompok atau parpol yang konsisten memegang ideologi Islam selalu ada pada tiap masa. Ciri mereka adalah berpegang teguh kepada Islam, baik fikrah (pemikiran) maupun thariqah (metode perjuangan), menjadikan Islam sebagai satu-satunya tali pengikat para pejuangnya dan ikhlas serta lugas memperjuangkannya di tengah umat.

Beliau saw. bersabda, “Selalu ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran (perintah Allah). Tidak merugikan mereka orang yang menghinanya hingga datang hari kiamat, dan mereka tetap dalam kondisi demikian.” (HR Muslim).

Kelompok ini berjuang secara politik dengan makna politik yang sebenarnya, yakni berupaya menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Caranya adalah dengan konsisten mendidik umat secara keseluruhan karena sejatinya umatlah pemilik hakiki atau sumber kekuasaan. Juga konsisten mendakwahi para pemilik kekuatan karena merekalah yang akan tampil sebagai penguasa yang siap dibaiat oleh umat untuk menerapkan Islam sebagai kunci bangkitnya kembali peradaban Islam cemerlang.

Aktivitas politik dalam Islam terwujud dalam segala aktivitas yang terkait dengan jaminan terwujudnya kemaslahatan umat, tidak berhenti pada spirit dan simbol semata. Partai politik Islam yang hakiki tak henti melakukan berbagai aktivitas yang mengarah pada terbentuknya kepemimpinan umat dan penerapan syariat, tanpa kekerasan, baik melalui aktivitas tatsqif murakazah dan jama’iy (pembinaan intensif dan umum), shiraa’ al-fikr (menyerang pemikiran-pemikiran kufur), melakukan kasyf al-khuthath (menyingkap makar musuh dan topeng para penguasa komprador); maupun al-kifah as-siyasi (melakukan perjuangan politik untuk melawan penjajahan dalam ekonomi, politik, militer maupun budaya; serta mengungkap strategi-strateginya, membongkar persekongkolannya untuk membebaskan umat dari genggamannya). Mereka juga aktif melakukan tabanniy mashalih al-ummah (mengadopsi berbagai kemaslahatan umat), yakni hadir di tengah umat dengan Islam sebagai satu-satunya acuan dalam penyelesaian masalah mereka dengan pemecahan yang mendasar.

Semua aktivitas ini mereka lakukan dengan meneladani langkah yang pernah ditempuh oleh baginda Rasulullah saw., yang dengan langkah ini beliau berhasil mengubah pemikiran dan loyalitas bangsa Arab dari sistem jahiliah menjadi sistem Islam. Sejak itulah bangsa Arab bangkit dari bangsa yang dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa lainnya, berubah menjadi cahaya bagi semesta.

Umat Islam pada saat itu, berhasil tampil sebagai pemimpin peradaban hingga masa yang sangat panjang. Sekira 13 abad, mereka tampil sebagai sebaik-baik umat (khairu ummah) dan peradabannya menjadi mercusuar peradaban dunia. Oleh karena itu, berharap perubahan dengan mempertahankan sistem yang sama dengan yang tegak sekarang, hanya akan menghabiskan segala sumber daya yang sangat terbatas.

Sudah saatnya umat dan tokohnya berjalan bersama partai politik ideologi Islam yang menyerukan persatuan hakiki umat Islam di dunia dan konsisten memperjuangkan penerapan Islam secara kafah dalam kehidupan, di bawah naungan sistem politik Khilafah yang Rasulullah saw. wariskan (8).

Wallahu a’lam bis shawab

Sumber Referensi:

(1) Edisi 359 – Umat Butuh Parpol Islam Sejati. Buletin Dakwah Kaffah. https://buletinkaffah1.wordpress.com/2024/09/06/edisi-359-umat-butuh-parpol-islam-sejati/ (accessed 2024-10-05).

(2) Apa Itu KIM Plus yang Berkaitan dengan Pilkada? Ini Penjelasannya | kumparan.com. https://kumparan.com/berita-hari-ini/apa-itu-kim-plus-yang-berkaitan-dengan-pilkada-ini-penjelasannya-23McAXED9D8 (accessed 2024-10-06).

(3) Ekowati, E. Y. Pragmatisme Politik: Antara Koalisi, Pencalonan, dan Calon Tunggal Dalam Pilkada. 2019, 5.

(4) Dewan, K. Pengertian Bohir di Dunia Politik Praktis » Kabar Dewan. Kabar Dewan. https://kabardewan.com/pengertian-bohir-di-dunia-politik-praktis/ (accessed 2024-10-05).

(5) Hadinatha, M. F. Jejak Pragmatisme dalam Politik di Indonesia (Era 2009 – 2017). KALIMAH 2018, 16 (2). https://doi.org/10.21111/klm.v16i2.2872.

(6) Ide Koalisi Partai, Politik Pragmatisme ala Demokrasi. Muslimah News. https://muslimahnews.net/2024/05/13/29472/ (accessed 2024-10-06).

(7) News, M. Pragmatisme pada Politisi dan Parpol Islam, Sampai Kapan?. Muslimah News. https://muslimahnews.net/2023/10/30/24388/ (accessed 2024-10-06).

(8) News, M. [Editorial] Perubahan Hakiki Butuh Parpol Islam Ideologis. Muslimah News. https://muslimahnews.net/2024/09/04/31773/ (accessed 2024-10-06).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image