Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karunia Kalifah Wijaya

Demokrasi Tiarap, Rezim Tegak Hormat

Politik | 2025-03-25 11:59:52
Foto oleh Markus Spiske: https://www.pexels.com/id-id/foto/iklim-tanda-penanda-isyarat-2990644/

“Hukum yang tidak berlandaskan keadilan hanya menjadi alat kekuasaan.” Pernyataan ini semakin relevan dalam konteks politik Indonesia saat ini. Seharusnya hukum menjadi fondasi keadilan yang menjaga keseimbangan antara rakyat dan pemerintah. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya, hukum semakin sering digunakan sebagai instrumen politik yang menguntungkan segelintir elite.

Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 menjadi cerminan nyata dari dinamika ini. Selain dari substansinya yang menuai kritik, cara kebijakan ini disusun pun menimbulkan tanda tanya besar. Proses legislasi yang minim transparansi dan partisipasi publik menunjukkan bagaimana ruang demokrasi kian menyempit. Ketika kebijakan strategis diputuskan tanpa keterlibatan luas, di mana posisi rakyat dalam sistem demokrasi yang seharusnya mengutamakan partisipasi?

Jika demokrasi adalah sistem yang menjunjung tinggi suara rakyat, maka keterlibatan publik seharusnya menjadi bagian integral dari pengambilan keputusan negara. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat tidak diberi ruang untuk turut menentukan arah kebijakan, bahkan aspirasi mereka sering kali diabaikan.

Hukum yang Kehilangan Independensinya

Dalam teori politik, Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa hukum harus mencerminkan kehendak umum (general will). Namun, jika proses legislasi dilakukan tanpa transparansi dan akuntabilitas, apakah masih bisa dikatakan bahwa hukum tersebut mewakili kepentingan rakyat? Revisi UU TNI memperlihatkan bagaimana hukum dapat digunakan bukan untuk keadilan, melainkan sebagai instrumen politik yang melanggengkan kekuasaan tertentu.

John Locke, dalam Two Treatises of Government, menegaskan bahwa hukum harus menjadi alat untuk menjaga kebebasan individu, bukan untuk memperkuat dominasi negara. Namun, jika hukum digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan sipil, maka negara telah gagal menjalankan fungsi utamanya. Di sinilah letak permasalahan mendasar dalam demokrasi Indonesia saat ini: hukum yang semestinya menjamin kesejahteraan rakyat malah menjadi alat kontrol bagi pemerintah.

Sementara itu, Montesquieu dalam The Spirit of the Laws menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Namun, jika hukum terus dikendalikan oleh eksekutif dan legislatif tanpa mekanisme check and balance yang kuat, maka demokrasi akan bergeser menuju otoritarianisme terselubung.

Represi dalam Demokrasi

Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya, termasuk melalui demonstrasi dan kritik terhadap kebijakan publik. Namun, respons negara terhadap gelombang protes mahasiswa dan aktivis yang menolak revisi UU TNI menunjukkan kecenderungan lain, kekerasan digunakan sebagai jawaban atas perbedaan pendapat.

Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth menjelaskan bagaimana kekuasaan sering kali menggunakan kekerasan untuk mempertahankan dominasinya, terutama dalam menghadapi perlawanan dari rakyat. Tindakan represif terhadap demonstran bukan sekadar upaya penegakan hukum, melainkan strategi untuk mempertahankan kontrol atas masyarakat dengan menciptakan ketakutan.

Di sisi lain, Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent mengungkapkan bahwa negara dan media sering kali bekerja sama untuk mengontrol opini publik, sehingga tindakan represif terhadap demonstran dapat dibenarkan melalui narasi yang dibangun. Dengan kata lain, media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi malah menjadi alat propaganda yang membentuk opini bahwa ketidakpuasan masyarakat adalah ancaman terhadap stabilitas negara.

Antonio Negri dan Michael Hardt dalam Empire juga mengingatkan bahwa di era modern, negara tidak lagi mengandalkan represi fisik semata, tetapi juga kontrol melalui regulasi yang semakin membatasi kebebasan individu. Jika tindakan represif ini terus dibiarkan, maka demokrasi tidak akan lagi menjadi ruang bagi kebebasan, melainkan alat bagi pemerintah untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya.

Masa Depan Demokrasi Indonesia, Masih Adakah Harapan?

Robert Dahl dalam Polyarchy: Participation and Opposition menekankan bahwa demokrasi yang sehat ditandai dengan tingginya tingkat partisipasi politik dan adanya mekanisme oposisi yang kuat. Namun, jika masyarakat semakin sulit menyuarakan pendapatnya dan kebijakan yang diambil tidak merepresentasikan kepentingan rakyat, maka demokrasi telah mengalami kemunduran serius.

Sementara itu, Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America mengingatkan bahwa demokrasi dapat mengalami distorsi jika institusi politik tidak memiliki sistem checks and balances yang memadai. Jika negara semakin membatasi partisipasi politik dan hukum digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo, maka demokrasi akan semakin menjauh dari prinsip dasarnya.

Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia akan menghadapi masa depan yang semakin jauh dari prinsip demokrasi yang sehat. Regulasi yang semakin menekan kebebasan berpendapat, penguatan peran negara dalam kehidupan publik, serta lemahnya mekanisme check and balance akan membuat demokrasi hanya menjadi sekadar formalitas tanpa substansi.

Demokrasi Harus Terus Diperjuangkan

Demokrasi tidak akan bertahan dengan sendirinya. Diperlukan kesadaran dan keterlibatan aktif dari masyarakat untuk memastikan bahwa hukum tetap menjadi instrumen keadilan, bukan alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan.

Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks menegaskan bahwa perubahan sosial tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi membutuhkan perlawanan aktif dari kelompok-kelompok yang tertindas. Jika hukum terus dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan, maka masyarakat harus mengambil peran aktif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan negara.

Kini, pertanyaan yang tersisa bukan lagi apakah demokrasi sedang dalam ancaman, tetapi apakah kita siap untuk mempertahankannya. Demokrasi bukan hanya sistem politik, demokrasi adalah hak yang harus kita jaga dan perjuangkan bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image