Dampak Biopsikologi terhadap Otak dan Emosi Akibat Kecanduan Media Sosial
Edukasi | 2025-10-16 11:15:56
Di era digital saat ini, mengakses ponsel telah menjadi aktivitas sehari-hari yang hampir refleks-dilakukan tanpa sadar, bahkan kadang tidak ada tujuan tertentu. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X(Twitter) dirancang untuk menarik perhatian, yang membuat penggunanya meng akses tanpa henti: notifikasi → membuka aplikasi→ scrolling → merasa “kosong” → mengulangi lagi. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga secara perlahan mengubah cara otak dan regulasi emosi kita.
Mekanisme Neurobiologis Penggunaan Media Sosial
Banyak orang mengaku merasa cemas, lelah mental, bahkan kehilangan semangat setelah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, tetapi mereka tidak memahami sepenuhnya mengapa itu terjadi. Kebiasaan menggulir layar tanpa henti dapat berpengaruh pada otak dan emosi.
Sejak kita menyalakan layar ponsel, fungsi-fungsi tertentu dari otak kita dan desain canggih aplikasi ponsel kita bekerja secara harmonis. Menurut Profesor Ariane Ling dari departemen psikiatri di NYU Langone Health di AS, kebiasaan menggulir layar sebenarnya adalah perilaku alami manusia, tetapi ia diperburuk oleh sejumlah faktor lingkungan. Ia menjelaskan bahwa manusia diprogram untuk ingin tahu apa yang sedang terjadi. Ada pusat saraf tertentu yang merespons hal-hal menyenangkan, entah seks, obat-obatan, dan hal-hal ini diharapkan terjadi lagi dan lagi. Ini dikenal sebagai sistem pengimbalan otak, dan ini adalah mekanisme yang sama persis dengan yang membuat seseorang tergantung pada zat seperti alkohol. Namun, ada bagian otak lain yang melawan dorongan untuk mencari kesenangan dan imbalan langsung. (BBC NEWS Indonesia, 2025)
Dopamin dan Mekanisme Kecanduan
Kecanduan media sosial dapat memengaruhi otak dengan cara yang berbahaya. Pengidapannya akan menggunakan media sosial secara kompulsif dan berlebihan. Mereka asik menggulir postingan, gambar, dan video hingga mengganggu aktivitas lain dalam hidupnya. Penyebab utama dari kecanduan media sosial adalah peningkatan dopamin otak yaitu zat kimia neurotransmiter yang diproduksi di otak bekerja sebagai pembawa pesan antar sel saraf, yang memberikan efek kesenangan setelah menggunakan media sosial. Akhirnya, otak mengidentifikasi aktivitas ini sebagai aktivitas bermanfaat dan menyenangkan yang harus diulangi lagi. Kadar dopamin yang tidak seimbang dapat menyebabkan penyakit parkinsos hingga kecanduan. (Halodoc, 2023)
Aktivasi Amigdala dan Respon Stres
Amigdala, sebagai pusat pengolahan emosi, berperan penting dalam merespons stimulus negatif. Saat seseorang membaca atau melihan konten yang bersifat mengancam, amigdala akan mengaktifkan respons stres yang dapat memicu peningkatan detak jantung dan kecemasan. Ketika kita teraktivasi secara emosional, kita mungkin mencari lebih banyak informasi untuk melawan ancaman, yang membuat kita terus-menerus membaca berita buruk. Semakin sering kita menggulir layar, otak dan tubuh kita mungkin memasuki kondisi hiperarousal, yaitu kondisi kewaspadaan tinggi yang diatur oleh aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), tiga kelenjar yang mengendalikan respons stres tubuh. Ketika kita terus-menerus terpapar stimulus negatif, aksis HPA melepaskan hormon stres kortisol, yang mendorong kita ke dalam kondisi hiperarousal. Dalam kondisi ini, kita akan kesulitan untuk melepaskan diri dari berita negatif, karena amigdala terus-menerus mencari detail lebih lanjut untuk menyelesaikannya. (freedom, 2024)
Perubahan Struktur dan Fungsi Otak
Paparan media sosial secara berlebihan dapat menyebabkan penurunan volume materi abu-abu pada area tertentu otak, seperti korteks cingulate anterior (ACC) dan korteks prefontal (PFC). Korteks cingulate anterior (ACC) berperan dalam pengaturan emosi dan pengendalian impuls. Perubahan di area ini telah dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap kecanduan dan kesulitan mengelola emosi. Korteks prefontal (PFC) bertanggung jawab atas pengembalian keputusan, pengendalian impuls, dan pemusatan perhatian. PFC dapat menjadi kurang efektif jika terlalu banyak waktu di depan layar, yang mengakibatkan gangguan penilaian dan pengaturan diri. Penggunaan ponsel yang berlebihan berkaitan dengan kesulitan dalam regulasi kognitif-emosi, impulsivitas, dan gangguan fungsi kognitif (Amen Clinics, 2024).
Sistem Saraf dan Respons Fisiologis
Sealama aktivitas scrolling, sistem saraf somatik menggerakan tangannya, sedangakan sistem saraf otonom terutama sistem saraf simpatis dapat teraktivasi saat pengguna terpapar konten negatif. Meskipun tidak ada ancaman fisik yang nyata, respons fisologis yang muncul mirip respons fight or flight yang biasanya terjadi dalam situasi berbahayaa (Halodoc, 2025).
Dampak Psikologis dan Regulasi Emosi
Dengan kita memahami proses biologis dibalik scrolling media sosial tanpa henti, itu bukan sekedar kebiasaan ringan, melainkan aktivitas yang secara mendalam memengaruhi fungsi otak dan regulasi emosi manusia. Dirancang untuk memicu sistem imbalan otak melalui pelepasan dopamin, media sosial dapat menyebabkan kecanduan yang mirip dengan zat adiktif. Aktivitas ini tidak hanya melemahkan fungsi pengendalian diri di korteks prefrontal, tetapi juga memicu hiperaktivasi amigdala yang berperan dalam pengolahan emosi negatif dan respons stres.
Paparan konten negatif secara terus-menerus dapat memperburuk kondisi, membuat pengguna terjebak dalam siklus stres, kecemasan dan kesehatan mental. Penggunaan ponsel yang berlebihan juga berisiko menyebabkan perubahan struktur otak, seperti penurunan volume materi abu-abu di area yang penting untuk pengendalian impuls dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pentingnya untuk menyadari dampak biologis dari media sosial dan mulai mengatur pola penggunaanya secara lebih sehat dan sadar.
Strategi Pencegahan dan Pengelolaaan
Untuk mencegah dampak negatif tersebut, kita perlu menerapkan strategi pengendalian diri terhadap penggunaan media sosial, antara lain:
- Menyadari pola kebiasaan, dengan mengidentifikasi waktu dan alasan penggunaan media sosial.
- Membatasi durasi penggunaan, menyetel pengingat waktu untuk membatasi penggunaan media sosial, misalnya 30 menit per hari.
- Melakukan detoks digital, yaitu menghindari penggunaan media sosial minimal satu hari dalam seminggu.
- Mengalihkan kebiasaan ke aktivitas yang lebih produktif, seperti membaca buku, mendengarkan podcast, olahraga, atau mengobrol dengan orang terdekat.
- Melakukan refleksi diri secara rutin, dengan mengevaluasi dampak penggunaan media sosial terhadap suasana hati, produktivitas, dan kesehatan mental.
Kecanduan media sosial bukan sekedar kebiasaan ringan, melainkan fenomena biopsikologis yang memengaruhi fungsi otak dan regulasi emosi secara mendalam. Sistem pengimbalan otak, aktivasi amigdala, dan pelepasan dopamin berperan dalam membentuk perilaku adiktif ini. Paparan konten negatif terus-menerus dapat memperburuk stres, kecemasan serta kesehatan mental secara keseluruhan. Oleh karena itu, kesadaran terhadap dampak biologis media sosial dan penerapan strategi pengendalian penggunaan sangat penting untuk menjaga kesehatan otak dan keseimbangan emosi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
