Makan Bergizi Gratis: Gastronomi sebagai Jembatan antara Gizi dan Budaya
Kuliner | 2025-10-15 20:22:43
oleh Roma Kyo Kae Saniro
dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Pada tanggal 1 Oktober lalu, Indonesia tidak hanya memperingati hari Kesaktian Pancasila, tetapi juga adanya Aksi Koalisi Gerak Warga Tolak MBG di Depan Istana Negara (Transparency International Indonesia, 2025). Badan Gizi Nasional (BGN) merupakan lembaga non-kementerian yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 sebagai inisiatif strategis pemerintah Indonesia untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi seluruh lapisan masyarakat (Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Badan POM, 2025). Lembaga ini berkomitmen meningkatkan kualitas hidup bangsa melalui program-program yang terstruktur, terukur, dan berbasis data guna menekan angka malnutrisi dan stunting yang masih menjadi tantangan serius. Sebagai otoritas utama dalam pengelolaan kebijakan gizi nasional, BGN memimpin pelaksanaan berbagai inovasi, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Badan POM, 2025). Melalui program ini, pemerintah berupaya memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM) sebagaimana tercantum dalam Asta Cita ke-4, dengan memastikan pemenuhan gizi harian masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan seperti balita, anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui (Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Badan POM, 2025). Dengan visi membangun generasi emas Indonesia 2045, BGN menjadi garda terdepan dalam menghadirkan solusi terpercaya dan berkelanjutan untuk menciptakan masyarakat yang sehat, produktif, dan berdaya saing tinggi.
Namun, pada nyatanya, program tersebut menuai berbagai kendala, baik dari masyarakat maupun isu lainnya seperti keamanan pangan, kualitas gizi yang tidak sesuai dengan standar (rendah kalori, terlalu banyak pangan olahan tinggi gula, dugaan tata Kelola yang buruk (perencanaan yang tidak transparan, pemborosan anggaran, dugaan korupsi dan monopoli), serta dampak negatif pelaku usaha lokal yang tidak dilibatkan. Lebih jauh, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menjelaskan bahwa adanya delapan masalah terkait dengan penyelenggaraan MBG. Yeka Hendra Fatika, penyelenggaraan MBG masih menghadapi sejumlah permasalahan utama, antara lain: (1) kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian, (2) maraknya kasus keracunan massal di berbagai daerah, (3) permasalahan dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan serta rawan konflik kepentingan, (4) keterbatasan dan penataan sumber daya manusia, termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan, (5) ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar Acceptance Quality Limit (AQL) yang tegas, (6) penerapan standar pengolahan makanan yang belum konsisten, khususnya Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), (7) distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru di sekolah, serta (8) sistem pengawasan yang belum terintegrasi, masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya berbasis data (Kompas, 1 Oktober 2025).
Namun, hal menarik tidak hanya itu, menu yang dimasak dalam MBG pun menjadi kendala. Makanan yang diberikan tidak sesuai dengan kelokalitasan masyarakat masing-masing sehingga terjadi benturan tradisi dan konflik budaya kuliner. Keragaman menu, khususnya kebarat-baratan dapat dipahami sebagai menu yang tidak dapat diterima oleh sebagian pihak. Padahal, MBG sebaiknya dapat mempertimbangkan tidak hanya aspek kesehatan, tetapi juga aspek budaya masyarakatnya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh GM Foster dalam Medical Anthropology: An Introduction (1978) bahwa kesehatan masyarakat wajib mempertimbangkan konteks budaya agar komunitas sasaran dapat menerimanya (Foster dalam Rahman, 2025).
Kelokalitasan menu patut dipertimbangkan oleh para juru masak dan manajemen MBG seluruh Indonesia. Senada yang diungkapkan oleh Rahman, Program for Better Learning di Aceh yang terselenggara pada pascatsunami tahun 2004 berhasil dengan menggunakan bahan pangan lokal, seperti ikan segar, ubi, dan sayuran yang penting dalam pola makan masyarakat Aceh (Rahman, 2025). Begitu pula di wilayah lainnya, seperti sagu dan keladi yang akrab untuk masyarakat di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Berbeda dengan wilayah tersebut, misalnya di daerah Jakarta, tentunya, masyarakatnya tidak terlalu akrab dengan umbi-umbian atau sagu. Bahkan, adanya makanan yang kebarat-baratan yang bagi sebagian masyarakat tidak dikonsumsi.
Senada dengan yang diungkapkan Rahman, program MBG harus menggunakan pemetaan budaya lokal secara komprehensif agar pemerintah dapat membuat menu yang lebih cocok untuk masing-masing masyarakat (Rahman, 2025). Hal ini mengingat bahwa dalam teori gastronomi budaya, seperti yang dijelaskan oleh Jean-Pierre Poulain (2017) dalam The Sociology of Food, gastronomi adalah sistem pengetahuan yang mengatur hubungan manusia dengan makanan, meliputi bahan, teknik, nilai, dan makna sosialnya. Di Indonesia, setiap daerah memiliki gastronomic identity—misalnya Aceh dengan kuliner berbasis ikan dan rempah, Papua dengan sagu, atau Nusa Tenggara Timur dengan jagung dan umbi.
Keberhasilan program Feeding for Better Learning di Aceh pasca-tsunami tahun 2004 menjadi contoh konkret bagaimana gastronomi lokal dapat berperan penting dalam efektivitas kebijakan publik di bidang gizi. Program ini menggunakan bahan pangan yang dekat dengan kebiasaan makan masyarakat Aceh, seperti ikan segar, ubi, daun singkong, dan sayuran lokal yang menjadi bagian dari foodways masyarakat setempat. Dengan memanfaatkan bahan-bahan tersebut, menu yang disajikan bukan hanya memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga selaras dengan rasa, aroma, dan tekstur yang familiar secara budaya. Pendekatan ini sejalan dengan konsep “gastronomi kontekstual” sebagaimana dijelaskan oleh Jean-Pierre Poulain (2017), bahwa makanan harus dilihat dalam konteks sosial, kultural, dan emosional masyarakat agar diterima secara luas. Keakraban anak-anak terhadap makanan lokal menjadikan mereka antusias menyantap hidangan sekolah, sehingga tingkat partisipasi meningkat dan program berjalan efektif.
Sebaliknya, kegagalan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menegaskan pentingnya konteks budaya dalam desain program gizi. Di wilayah tersebut, menu yang disediakan—yang umumnya berbasis nasi dan lauk olahan gaya barat atau Jawa—tidak sesuai dengan pola makan tradisional setempat. Masyarakat Papua, misalnya, lebih akrab dengan sagu, keladi, dan ubi-ubian, sementara di NTT anak-anak terbiasa dengan jagung bose dan umbi lokal yang memiliki rasa dan tekstur berbeda dari menu PMT-AS. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan penolakan sosial, rendahnya minat konsumsi, serta penurunan efektivitas program. Kondisi ini mencerminkan teori George M. Foster (1978) dalam Medical Anthropology: An Introduction, yang menegaskan bahwa keberhasilan program kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh cultural acceptability—atau sejauh mana program tersebut diterima oleh norma dan nilai lokal.
Dengan demikian, perbandingan antara Aceh dan Papua–NTT menunjukkan bahwa integrasi gastronomi lokal ke dalam kebijakan publik bukan sekadar aspek tambahan, tetapi menjadi kunci keberhasilan implementasi program gizi nasional. Gastronomi, dalam hal ini, bukan hanya soal cita rasa, melainkan cerminan identitas, kebiasaan, dan sistem pengetahuan kuliner masyarakat. Oleh karena itu, program seperti MBG perlu dirancang dengan memperhatikan preferensi gastronomi daerah, melibatkan komunitas lokal dan ahli budaya, serta menggunakan bahan pangan yang akrab bagi masyarakat agar tujuan pemenuhan gizi dapat tercapai tanpa mengabaikan nilai-nilai kultural yang melekat pada makanan.
Dengan demikian, MBG perlu menggunakan prinsip gastronomi kontekstual, konsep dalam kajian gastronomi yang menekankan bahwa makanan tidak bisa dipahami hanya dari sisi bahan, rasa, atau nilai gizinya, tetapi harus dilihat dalam konteks sosial, budaya, geografis, dan historis masyarakat yang menghasilkannya. Tidak hanya itu Gastronomi kontekstual berarti bahwa kebijakan atau inovasi yang berkaitan dengan makanan—seperti program gizi, pariwisata kuliner, atau pendidikan pangan—harus disesuaikan dengan konteks budaya dan lingkungan masyarakat sasaran. Misalnya, suatu menu yang bergizi tinggi belum tentu diterima di daerah tertentu jika tidak sesuai dengan rasa, tekstur, atau kepercayaan makanan masyarakat setempat. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan “foodways” dari Sidney Mintz dan Christine Du Bois (2002) dalam gagasannya yang berjudul “Anthropology of Food and Eating” yang menekankan bahwa setiap masyarakat memiliki jalur budaya sendiri dalam memilih, mengolah, dan mengonsumsi makanan.
Perancangan menu harus mempertimbangkan preferensi kuliner daerah, ketersediaan bahan lokal, dan makna simbolik makanan bagi masyarakat. MBG diharapkan mencapai keseimbangan antara pemenuhan gizi dan penghormatan terhadap budaya lokal, sehingga program makanan atau kebijakan gizi menjadi berkelanjutan, inklusif, dan diterima masyarakat. MBG diharapkan tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga menghormati dan melestarikan kebudayaan kuliner bangsa. Dengan demikian, gastronomi dapat menjadi jembatan yang menghubungkan pemenuhan gizi dengan penghargaan terhadap identitas budaya, sekaligus memperkuat visi besar menuju Indonesia Emas 2045—sebuah bangsa yang sehat, berdaya saing, dan berakar kuat pada kearifan kulinernya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
