Ekonomi Kreatif dan Kekuasaan Baru: Ketika Budaya Jadi Instrumen Politik Global
Politik | 2025-10-15 18:35:50
Oleh : R.A Heliza Aprilyana Putri
Di era globalisasi digital, budaya udah nggak cuma soal tarian, musik, atau film—tapi juga alat diplomasi, alat ekonomi, bahkan alat kekuasaan. Ekonomi kreatif, yang awalnya dianggap sektor “lunak” dan penuh idealisme, kini berubah jadi senjata strategis dalam politik global. Negara-negara mulai sadar bahwa soft power lewat budaya bisa jauh lebih efektif daripada kekuatan militer atau tekanan ekonomi. Lihat aja gimana Korea Selatan memanfaatkan K-pop dan drama Korea buat membangun citra nasional mereka. Dari BTS sampai Squid Game, semuanya bukan cuma hiburan — itu proyek diplomasi budaya yang masif dan sangat terencana.
Fenomena ini bikin batas antara budaya dan politik makin kabur. Ketika konten budaya bisa viral lintas benua dalam hitungan jam, ia juga membawa narasi, nilai, dan ideologi negara asalnya. Maka dari itu, yang sedang dipertaruhkan bukan cuma pasar, tapi juga persepsi dan pengaruh.
Kreativitas Sebagai Alat Kekuasaan Baru
Ekonomi kreatif tumbuh cepat banget. Menurut laporan UNCTAD 2024, kontribusinya terhadap ekonomi global udah mencapai lebih dari 3% PDB dunia — angka yang terus naik tiap tahun. Tapi di balik pertumbuhan itu, ada pola dominasi baru. Negara-negara dengan akses teknologi, infrastruktur digital, dan platform besar (kayak AS, Tiongkok, atau Uni Eropa) otomatis jadi pusat produksi dan distribusi budaya global.
Netflix, Disney, dan TikTok bukan cuma perusahaan hiburan; mereka aktor geopolitik baru. Mereka bisa membentuk cara pandang jutaan orang terhadap isu global, dari gender, politik, sampai perang. Misalnya, algoritma media sosial secara nggak langsung bisa memperkuat narasi tertentu dan melemahkan yang lain. Negara dengan kontrol atas platform atau data berarti punya kekuatan menentukan arus informasi global — semacam kolonialisme kultural versi digital.
Negara berkembang seringkali cuma jadi pasar pasif. Budaya lokal mereka dikonsumsi secara global, tapi nilai ekonominya balik ke perusahaan raksasa di utara. Ironisnya, yang sering disebut “global culture” justru didominasi gaya hidup, estetika, dan nilai Barat. Jadi, meski ekonomi kreatif tampak inklusif dan terbuka, ketimpangan kekuasaan di dalamnya tetap nyata.
Rebut Narasi, Rebut Panggung Dunia
Meski begitu, peluang buat negara berkembang tetap ada — asal berani memanfaatkan budaya bukan cuma sebagai identitas, tapi juga strategi. Indonesia, misalnya, punya potensi besar lewat musik, fashion, kuliner, dan sinema. Tapi sayangnya, dukungan infrastruktur, pendanaan, dan kebijakan publik masih belum cukup kuat. Industri kreatif kita masih sering jalan sendiri-sendiri, belum jadi bagian dari strategi diplomasi nasional.
Padahal, creative diplomacy bisa jadi senjata halus untuk memperkuat posisi politik luar negeri. Bayangin kalau Indonesia punya proyek budaya global yang terarah — misalnya lewat kolaborasi internasional, film bertema budaya lokal, atau festival Nusantara yang masuk kalender dunia. Ini bukan cuma soal promosi budaya, tapi juga pembentukan persepsi global tentang siapa kita dan apa nilai yang kita bawa.
Di dunia yang makin terhubung tapi juga makin kompetitif, narasi adalah kekuasaan. Siapa yang mampu menciptakan dan mengontrol narasi global, dialah yang menang. Maka ekonomi kreatif bukan lagi urusan seni semata, tapi arena baru perebutan pengaruh politik dan ekonomi.
Kita sedang hidup di zaman di mana imajinasi bisa lebih tajam dari pedang, dan lagu bisa lebih kuat dari propaganda. Ekonomi kreatif memberi peluang bagi negara-negara untuk membangun citra, menantang dominasi, bahkan merebut pengaruh global — asalkan dikelola dengan visi yang jelas dan dukungan nyata.
Tantangannya sekarang: apakah negara-negara berkembang siap menjadikan budaya sebagai kekuatan strategis, bukan cuma simbol kebanggaan? Karena dalam politik global hari ini, who tells the story, rules the world.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
