Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Chaterine Devinda

Demokrasi dalam Krisis: Ketika Disinformasi Jadi Ancaman Nyata bagi Politik Dunia

Politik | 2025-10-15 18:27:08

Oleh Eggy Ade Pratama


Kita hidup di zaman ketika kebenaran bukan lagi soal data, tapi soal siapa yang paling cepat viral. Demokrasi, yang seharusnya berdiri di atas fondasi informasi yang akurat, kini terguncang oleh gelombang disinformasi yang menyebar secepat scroll di layar ponsel. Dari Washington sampai Jakarta, dari pemilu ke pemilu, politik dunia sedang menghadapi krisis baru — bukan karena kurangnya partisipasi publik, tapi karena kebanjiran informasi palsu.

Fenomena post-truth ini bikin batas antara fakta dan opini makin kabur. Ketika algoritma media sosial lebih mengutamakan engagement ketimbang akurasi, kebenaran akhirnya jadi komoditas. Disinformasi bukan cuma dibuat oleh individu iseng, tapi juga jadi strategi politik global. Dari kampanye pemilu, perang propaganda, sampai operasi intelijen digital — semua berlomba mengontrol narasi publik. Dan di titik ini, demokrasi mulai kehilangan daya tahan alaminya: kepercayaan.

Disinformasi Sebagai Senjata Politik Global

Disinformasi udah bukan sekadar ancaman domestik; ini udah jadi instrumen geopolitik. Lihat aja bagaimana Rusia dituduh ikut campur dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2016 lewat manipulasi media sosial dan troll farm. Atau gimana Tiongkok membangun narasi tandingan di platform digital tentang isu Taiwan dan Laut Cina Selatan. Dunia sedang menyaksikan lahirnya bentuk baru “perang dingin digital”, di mana bukan misil yang diluncurkan, tapi meme, bot, dan deepfake.

Negara-negara demokratis pun nggak sepenuhnya bersih. Banyak pemerintahan yang diam-diam memanfaatkan buzzer, micro-targeting, dan kampanye digital untuk mempertahankan kekuasaan. Bahkan, Cambridge Analytica scandal jadi bukti nyata gimana data pribadi jutaan pengguna Facebook bisa disulap jadi senjata politik. Inilah wajah baru kolonialisme informasi: publik dijadikan ladang eksperimen psikologis demi kepentingan elektoral.

Disinformasi bekerja halus, tapi dampaknya brutal. Ia memecah masyarakat, memperkuat polarisasi, dan menciptakan “gelembung opini” yang bikin orang cuma percaya pada apa yang mau mereka dengar. Hasilnya? Demokrasi berubah jadi ajang perang keyakinan, bukan ruang dialog.

Demokrasi di Persimpangan Digital

Sekarang, demokrasi dihadapkan pada paradoks: keterbukaan informasi yang seharusnya jadi kekuatannya malah jadi sumber kelemahannya. Internet yang dulu dipuji sebagai simbol kebebasan kini jadi labirin kebohongan massal. Dan ironisnya, algoritma yang mengatur arus informasi dibuat bukan untuk mendidik warga negara, tapi untuk mempertahankan atensi mereka selama mungkin — karena atensi adalah mata uang ekonomi digital.

Tapi nggak semuanya suram. Banyak gerakan akar rumput dan organisasi media independen yang mulai melawan balik lewat fact-checking, jurnalisme kolaboratif, dan literasi digital. Contohnya, proyek International Fact-Checking Network (IFCN) yang memverifikasi berita lintas negara, atau inisiatif CekFakta di Indonesia yang bekerja sama dengan platform media besar. Upaya semacam ini penting, karena demokrasi tidak akan bisa hidup tanpa publik yang melek informasi.

Masalahnya, inisiatif semacam ini masih kalah cepat dari arus disinformasi yang masif. Di dunia di mana setiap orang bisa jadi “media”, pertarungan antara kebenaran dan kebohongan bukan lagi soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling konsisten membentuk persepsi. Dan selama sistem digital masih dikendalikan oleh logika profit, bukan etika, demokrasi akan terus berada di bawah bayangan algoritma.

Penutup: Menyelamatkan Demokrasi dari Kebohongan yang Nyaman

Krisis demokrasi hari ini bukan cuma soal kepercayaan publik terhadap pemerintah, tapi juga soal kemampuan kita membedakan realitas dari ilusi digital. Disinformasi telah mengubah opini menjadi senjata, dan warga negara menjadi target. Namun, seperti halnya pandemi, penyebaran kebohongan juga bisa dilawan — bukan dengan sensor, tapi dengan kesadaran kolektif.

Kita butuh demokrasi yang bukan cuma terbuka, tapi juga cerdas. Demokrasi yang tidak tunduk pada algoritma, tapi menuntut akuntabilitas darinya. Di era ketika kebohongan bisa tampak lebih meyakinkan daripada kebenaran, tugas kita bukan hanya mencari fakta, tapi memperjuangkannya. Karena tanpa kebenaran, demokrasi hanyalah panggung kosong — tempat suara rakyat bergema, tapi tak lagi berarti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image