Pajak Kripto 2025 Kepastian Hukum Ditebus dengan Tingginya PPh?
Ekonomi Syariah | 2025-10-13 22:52:17Pajak Kripto 2025 Kepastian Hukum Ditebus dengan Tingginya PPh?
Oleh: Egi Jhon Voristy
Lanskap investasi digital Indonesia semakin padat. Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, jumlah investor aset kripto di Tanah Air telah mencapai angka fantastis: 18,08 juta konsumen per Agustus 2025, dengan total transaksi kumulatif tahun ini menembus Rp 360,3 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah bukti nyata bahwa kripto telah bertransformasi dari sekadar tren spekulatif menjadi kekuatan ekonomi digital yang masif.
Menghadapi pertumbuhan yang eksplosif ini, Pemerintah merespons dengan regulasi perpajakan baru yang monumental: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, yang mulai berlaku efektif 1 Agustus 2025.
Peraturan ini dirancang untuk menjawab amanat Undang-Undang P2SK, sekaligus memberi kepastian hukum bagi jutaan investor. Namun, di balik semangat regulasi yang adaptif, muncul dilema baru: Apakah tarif pajak yang ditetapkan berpotensi menjadi disinsentif bagi industri yang sedang bertumbuh?
Angin Segar dan Perubahan Status Kripto
Langkah paling progresif dari PMK 50/2025 adalah penghapusan PPN atas pembelian aset kripto.
Keputusan ini sangat penting. Sebelumnya, kripto dikenakan PPN karena dianggap sebagai komoditas. Dengan penghapusan PPN, Pemerintah secara de facto telah memperlakukan kripto sebagai Aset Keuangan Digital (AKD)—sejalan dengan peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK. Ini adalah kemenangan bagi pelaku industri karena menghilangkan beban pajak ganda dan memberikan status hukum yang lebih jelas.
Penyederhanaan ini juga disambut baik oleh investor ritel. Total beban pajak yang tadinya terbagi antara PPh dan PPN kini disatukan menjadi PPh Final. Tujuannya: menyederhanakan administrasi pajak bagi 18 juta lebih pengguna.
Dilema Tarif PPh: Mahal untuk Pasar Lokal
Meskipun PPN dihapus, tarif PPh Final Pasal 22 justru dinaikkan menjadi 0,21% dari sebelumnya 0,1%. Menurut otoritas pajak, kenaikan ini hanya kompensasi untuk menyamakan total beban pajak sebelum dan sesudah PPN dihapus (0,1% PPh lama + 0,11% PPN lama 0,21% PPh baru).
Namun, dari perspektif investor, terutama yang bersaing dengan pasar global, tarif 0,21% ini menimbulkan pertanyaan serius tentang daya saing.
- Perbandingan dengan Saham: Tarif PPh transaksi kripto sebesar 0,21% terasa berat jika dibandingkan dengan tarif pajak transaksi saham di Indonesia yang jauh lebih rendah (0,1% dari nilai bruto transaksi jual). Di mata investor, risiko kripto yang tinggi idealnya dibarengi dengan pajak yang kompetitif, bukan yang lebih tinggi.
- Hukuman untuk Platform Asing: Regulasi ini juga memberlakukan tarif PPh yang sangat tinggi, yakni 1%, untuk transaksi yang dilakukan melalui platform asing yang tidak terdaftar di Indonesia. Kebijakan ini jelas merupakan upaya strategis untuk "memaksa" aliran dana kembali ke exchange lokal yang teregulasi. Namun, langkah protektif ini berisiko membatasi akses investor Indonesia ke likuiditas dan inovasi yang lebih besar di pasar global.
Menjaga Momentum Pertumbuhan
Peralihan pengawasan ke OJK sejak awal 2025 menempatkan kripto di jalur yang benar menuju kedewasaan finansial. Fokus OJK pada perlindungan konsumen, tata kelola bursa, dan potensi produk derivatif (seperti ETF Kripto) adalah harapan baru bagi industri.
Namun, potensi ini bisa terhambat jika tarif pajak 0,21% dirasakan terlalu membebani margin keuntungan, terutama bagi para trader aktif. Pemerintah harus berhati-hati agar tidak menciptakan disinsentif yang mendorong investor kembali ke 'jalan belakang' (transaksi peer-to-peer ilegal atau platform asing yang tidak terdeteksi) untuk menghindari pajak.
Indonesia telah berhasil menarik jutaan investor kripto. Kini, tugas Pemerintah adalah memastikan kerangka regulasi dan perpajakan bersifat inklusif dan kompetitif, bukan sekadar ekstraktif. Hanya dengan menyeimbangkan kepastian hukum dan insentif pasar, sektor aset kripto Indonesia dapat tumbuh berkelanjutan, memberikan kontribusi maksimal, dan benar-benar menjadi pilar baru ekonomi digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
