Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asad Fauzuddin Khunaifi

Krisis Negarawan di Tengah Bisingnya Politisi

Politik | 2025-10-13 15:33:33
As'ad Fauzuddin Khunaifi

Pemilu baru saja usai, tapi panggung politik tak pernah benar-benar sepi. Baliho baru sudah terpasang di tikungan jalan, percakapan di media sosial pun beralih dari merayakan kemenangan menjadi menyusun strategi untuk kontestasi berikutnya. Siklusnya berputar cepat dan riuh, sampai kita lupa bertanya: di antara semua nama yang bertarung itu, adakah seorang negarawan?

Saya teringat pada sebuah adegan dalam film “2014: Siapa di Atas Presiden.” Dalam film itu, Krishna Dorojatun yang diperankan dengan tenang namun tajam oleh Donny Damara mendapat pertanyaan dari seorang audiens:

“Bagaimana cara membedakan politisi yang baik dan yang buruk?”

Jawabannya sederhana tapi menghantam:

“Semua politisi itu buruk.”

Menurut Krishna, seorang politisi secara naluriah hanya memikirkan satu hal, yaitu pemilu berikutnya. Setiap kebijakan, pernyataan, dan jabat tangan selalu diukur dengan satu pertanyaan: apakah ini akan menambah suara saya nanti? Mereka menimbang dengan kalkulator elektoral, bukan dengan kompas moral.

Inilah penyakit kronis politik kita. Kebijakan sering bersifat jangka pendek dan populis. Bantuan sosial menjelang pemilu terasa manis sesaat, tapi tidak menyentuh akar kemiskinan. Proyek infrastruktur besar dibanggakan di media sosial, namun belum tentu menjawab kebutuhan rakyat. Pertanyaan sulit tentang kemiskinan, lingkungan, dan pemerataan ekonomi sering dihindari karena jawabannya tidak populer dan tidak menguntungkan secara elektoral. Politisi hidup untuk hari ini. Tujuannya adalah mempertahankan kekuasaan.

Namun tentu masih ada sebagian yang benar-benar memiliki semangat kenegarawanan, yang bekerja dalam diam dan menaruh kepentingan rakyat di atas kepentingan partai. Jika politisi memikirkan pemilu berikutnya, maka negarawan memikirkan generasi berikutnya. Ia berorientasi pada warisan, bukan popularitas. Ia berani mengambil keputusan pahit demi masa depan bangsa dengan merubah sistem meski semua itu bisa menggerus elektabilitasnya. Negarawan menanam pohon yang buahnya mungkin tidak akan pernah ia nikmati sendiri. Sayangnya, jumlah mereka tidak banyak dan sering kalah oleh gemuruh mereka yang lebih pandai membangun pencitraan.

Negarawan membangun fondasi, sedangkan politisi mengecat fasad. Negarawan berbicara tentang pengorbanan bersama, sedangkan politisi menjual mimpi instan. Negarawan menyatukan, sedangkan politisi sering memecah belah demi suara.

Pertanyaannya, di mana para negarawan hari ini? Kita dikepung oleh kebisingan politisi yang sibuk membangun citra, saling serang di media, dan menghitung peluang menuju 2029, sementara persoalan mendasar bangsa terus menumpuk.

Krisis iklim semakin nyata, tapi kebijakan hijau masih berhenti di tataran slogan. Transisi energi sering hanya jadi proyek besar yang lebih menguntungkan investor daripada rakyat yang hidup di sekitar tambang dan PLTU. Di sisi lain, kualitas pendidikan jalan di tempat, masih terjebak pada angka dan kurikulum, bukan pada kemampuan berpikir dan keadilan akses.

Sektor kesehatan pun belum pulih sepenuhnya dari pandemi. Banyak tenaga kesehatan bekerja dengan beban berat dan penghargaan yang belum sepadan. Kesejahteraan sosial kerap muncul dalam bentuk bantuan instan, bukan sistem perlindungan yang berkelanjutan.

Di ranah agraria, konflik tanah terus berulang. Masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya, petani dan nelayan tetap terjebak di rantai bawah ekonomi, dan buruh menghadapi ketidakpastian kerja yang makin panjang. Guru dan dosen berjuang menjaga idealisme di tengah birokrasi yang kaku dan penghargaan yang minim.

Memang ada sebagian pemimpin dan politisi yang benar-benar berupaya menuntaskan dan membenahi hal-hal itu dengan solusi nyata, bukan hanya menyuarakannya untuk kepentingan elektoral. Mereka bekerja senyap, memikirkan kebijakan yang berkelanjutan dan berpihak pada rakyat kecil. Namun jumlah mereka masih sedikit dan sering tenggelam oleh riuhnya mereka yang lebih sibuk mencari sorotan.

Namun barangkali politisi tidak sepenuhnya salah. Mereka adalah produk dari sistem, sekaligus cermin dari kita sebagai masyarakat. Selama kita mudah tergoda janji manis jangka pendek, selama kita memilih karena citra bukan rekam jejak, dan masih membenarkan politik uang, maka panggung politik akan terus dikuasai oleh mereka yang lebih lihai memainkan retorika daripada bekerja dalam senyap.

Krisis yang kita hadapi bukan hanya krisis calon pemimpin, melainkan krisis kenegarawanan. Dan di persimpangan sejarah ini, pertanyaan yang perlu kita ajukan sederhana namun menentukan: Apakah kita mencari politisi untuk pemilu depan, atau negarawan untuk generasi depan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image