Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ihsan Tahir

Buku sebagai Bukti, Demokrasi sebagai Tersangka: Sebuah Ironi Semangat Mencerdaskan Bangsa, Tapi Membelenggu Pikiran

Kolom | 2025-10-12 14:27:44
Dokumentasi Pribadi: Muhammad Ihsan Tahir.

Di setiap sudut negeri ini, sebuah janji agung, sebuah sumpah luhur, terus digaungkan. Dalam pidato kenegaraan, di mimbar-mimbar pendidikan, hingga ukiran konstitusi, kata-kata itu menggema penuh otoritas, "mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ia bukanlah sekadar frasa manis, melainkan sebuah amanat mendasar, kompas moral yang seharusnya memandu setiap kebijakan dan tindakan negara.

Cita-cita luhur ini menuntut pemerintah, sebagai pengemban amanah, untuk membuka seluas-luasnya gerbang pengetahuan, mendorong dialektika, dan melindungi kebebasan berpikir. Namun, di tengah gema janji itu, ironi yang menyayat hati justru terjadii, tangan-tangan yang seharusnya mengayomi dan melindungi gerbang ilmu pengetahuan justru sibuk merampas dan menyita buku.

Buku, dalam sejarah peradaban manusia, adalah lebih dari sekadar tumpukan kertas. Ia adalah jantung peradaban, gudang ingatan kolektif, jembatan waktu yang menghubungkan kita dengan pikiran-pikiran besar dari masa lampau, dan jendela menuju cakrawala pengetahuan yang tak terbatas. Di dalamnya terkandung benih-benih gagasan yang mengguncang dogma, narasi-narasi yang menginspirasi perubahan sosial, dan pengetahuan mendalam yang membuka cakrawala intelektual.

Peradaban besar tak pernah lahir dari kevakuman ide, melainkan dari lautan kata dan pemikiran yang terabadikan dalam buku. Sayangnya, di negeri ini, buku-buku tersebut sering kali diperlakukan selayaknya musuh negara. Mereka dicap berbahaya, subversif, atau dianggap berpotensi merusak moralitas.

Dalam realitas yang absurd ini, yang sesungguhnya dirusak bukanlah moralitas masyarakat, melainkan fondasi vital dari sebuah masyarakat yang bebas dan merdeka yaitu rasa takut. Ketakutan akan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu kekuasaan, ketakutan akan kritik yang meruntuhkan otoritas usang, dan yang paling fundamental, ketakutan akan kebangkitan kesadaran kritis di kalangan rakyat.

Ketika buku dibungkam, yang diincar adalah akal sehat dan nalar kritis. Penguasa ingin memastikan hanya satu versi kebenaran yang boleh beredar, hanya satu narasi yang boleh diyakini tanpa bantahan. Tindakan penyitaan dan pelarangan ini adalah upaya menciptakan penjara mental yang melanggengkan kepasrahan dan menolak kemajemukan ide.

Saksikanlah adegan-adegan memilukan tersebut, tumpukan buku yang dibakar, dilarang, atau disita dan dipertontonkan seolah-olah lembaran-lembaran kertas itu adalah amunisi yang siap meledakkan stabilitas nasional. Ironi ini mencapai titik kulminasi ketika tindakan regresif ini justru dilakukan oleh aparat penegak hukum yang diamanatkan konstitusi untuk melindungi kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpikir dan berekspresi.

Mereka berlindung di balik dalih menjaga keamanan dan ketertiban, namun esensinya mereka sedang mengebiri potensi bangsa untuk maju. Sebuah bangsa yang dulunya lantang berteriak tentang kebebasan, kini menjadi gagap, bahkan panik, dalam menghadapi perbedaan pendapat yang tertuang dalam tinta. Kita berteori tentang cita-cita demokrasi yang matang, tetapi takut pada dialog terbuka dan aksi pencerahan. Bagaimana mungkin sebuah bangsa dapat melangkah maju jika akarnya, yaitu ilmu dan kearifan, dicabut paksa? Peradaban tak akan pernah berkembang jika pintu-pintu pengetahuannya digembok rapat.

Sejarah Kelam Pelarangan dan Mutasi Represi

Ketika sebuah buku dilarang, yang sebenarnya dilarang adalah pikiran. Ketika sebuah gagasan dicekal, yang dicekal adalah imajinasi dan daya cipta kolektif. Generasi penerus tidak akan menjadi cerdas dan berdaya jika mereka hanya diasupi informasi yang telah disaring, dimodifikasi, dan dicocokkan dengan selera rezim atau kelompok dominan. Mereka akan tumbuh menjadi 'domba' yang pasrah terhadap narasi tunggal, bukan manusia yang berani mempertanyakan status quo.

Sejarah pelarangan buku di Indonesia adalah narasi panjang yang merekam pasang surutnya kebebasan berpikir. Praktik ini berakar jauh sebelum Orde Baru, namun mencapai puncaknya pada rezim tersebut. Awalnya dapat dilacak pada masa Orde Lama, khususnya melalui kebijakan seperti Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963.

UU ini memberikan landasan hukum bagi Kejaksaan Agung untuk menyensor dan melarang barang cetakan yang dianggap mengganggu ketertiban umum, yang kemudian menjadi senjata ampuh untuk menyingkirkan buku-buku yang dianggap berafiliasi dengan ideologi kiri atau komunisme.

Penerapan paling masif dan terstruktur terjadi pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Rezim ini secara ketat melarang segala bentuk gagasan yang dinilai bertentangan dengan Pancasila atau berpotensi mengancam stabilitas politik yang mereka konstruksi. Buku-buku karya tokoh berideologi kiri, penulis kritis, dan aktivis pro-demokrasi menjadi sasaran utama.

Karya-karya monumental seperti tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh paling ikonik dari pengebirian intelektual ini. Pelarangan ini tak hanya menekan kebebasan berpendapat, tetapi secara sistematis menanamkan iklim ketakutan yang mencekik para penulis, penerbit, dan terutama, pembaca.

Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan bergulirnya Reformasi menjanjikan lembaran baru kebebasan berekspresi. Secara formal, sensor terpusat ditiadakan. Namun, praktik represif ini tidak lenyap, melainkan bermutasi. Setelah Reformasi, pelarangan buku seringkali dipicu oleh alasan yang lebih beragam, bukan hanya politik. Banyak buku dilarang karena dianggap menyinggung isu sensitif seperti agama, suku, atau ras. Bahkan, buku-buku sejarah pun tak luput dari pencekalan karena dianggap "memutarbalikkan fakta" atau "merusak citra pahlawan".

Meskipun wewenang pelarangan masih di tangan Kejaksaan Agung, keputusan sering kali didorong oleh laporan atau tekanan dari kelompok-kelompok masyarakat yang merasa memiliki hak tunggal atas tafsir kebenaran. Ironi ini menunjukkan bahwa meskipun payung kebebasan sipil telah membaik, tantangan untuk melindungi pluralitas ide masih sangat besar.

Perubahan Hukum dan Kenyataannya di Lapangan

Titik balik hukum yang krusial terjadi pada tahun 2010. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010, MK memutuskan bahwa UU No. 4/PNPS/1963, yang selama puluhan tahun menjadi landasan pelarangan buku, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini merupakan tonggak sejarah yang secara tegas menyatakan bahwa pelarangan dan penyitaan buku tanpa melalui proses peradilan yang sah adalah tindakan inkonstitusional. MK dengan gamblang menyatakan bahwa tindakan pelarangan oleh Jaksa Agung adalah bentuk "eksekusi ekstra-yudisial" yang melanggar prinsip negara hukum. Keputusan ini mengembalikan hak untuk menentukan "salah" atau "benar"-nya sebuah buku ke ranah yudikatif, bukan di tangan eksekutif yang politis.

Dengan dicabutnya UU represif tersebut, prosedur penyitaan benda, termasuk buku, harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan harus didasarkan pada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Artinya, aparat tidak boleh melakukan razia dan menyita buku tanpa perintah pengadilan. Jika sebuah buku dianggap memiliki konten melanggar hukum, seperti menyebarkan ajaran terlarang, maka harus melalui proses hukum yang jelas, yang melibatkan pelaporan, penyelidikan, penyidikan (dengan izin penyitaan), hingga proses peradilan di mana hakim yang akan memutuskan apakah buku tersebut layak dilarang atau tidak.

Meskipun MK telah memutus mata rantai praktik represif di masa lalu, insiden penyitaan buku oleh aparat, terutama dengan dalih ideologi, masih saja terjadi. Peristiwa seperti penyitaan buku-buku dari para aktivis pasca aksi demonstrasi, menjadikannya 'barang bukti' untuk menjerat mereka, adalah bukti nyata bahwa implementasi di lapangan masih mengabaikan supremasi hukum yang telah ditegakkan oleh MK. Ini menunjukkan bahwa pelarangan buku, yang dulunya instrumen rezim otoriter, kini bertransformasi menjadi alat kontrol sosial yang lebih halus, seringkali didorong oleh ketakutan yang dilegalkan terhadap pluralitas ide.

Revolusi Kesadaran sebagai Solusi

Untuk mengakhiri ironi ini, dibutuhkan perubahan paradigma mendasar yang bersifat total. Pertama, harus ada revolusi mental pada aparat keamanan dan penegak hukum. Mereka harus kembali pada fungsi dasarnya sebagai penjaga kebebasan berpikir, memahami bahwa buku bukanlah senjata dan perbedaan ide adalah fondasi demokrasi, bukan ancaman terhadap negara.

Kedua, masyarakat harus didorong untuk membangun budaya literasi dan dialog yang sehat, di mana setiap suara dihargai dan kritik disambut sebagai proses pendewasaan. Ketiga, sistem pendidikan wajib bergeser dari sekadar mengajarkan "apa yang harus dipikirkan" menjadi "cara berpikir," guna melahirkan generasi yang berani bersuara, logis, dan mandiri secara intelektual.

Pada akhirnya, buku tidak dapat dibunuh. Anda mungkin bisa membakar kertasnya, tetapi tidak akan pernah bisa memusnahkan ide di dalamnya. Ide memiliki daya hidup yang abadi; ia akan terus hidup, berpindah dari satu pikiran ke pikiran lain, menunggu waktu yang tepat untuk meledak menjadi revolusi kesadaran kolektif. Merawat demokrasi dengan kesadaran penuh bahwa buku dan ilmu pengetahuan adalah investasi paling berharga bagi masa depan bangsa, adalah satu-satunya solusi berkelanjutan untuk memenuhi janji luhur "mencerdaskan kehidupan bangsa."

Tabik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image