Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aisyah Wandya Istighfarida

Social Fatigue: Lemas Setelah Bersosialisasi, Mengapa Interaksi Sosial Bisa Menguras Energi?

Info Terkini | 2025-10-12 14:00:19

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang pernah mengalami rasa lemas setelah melakukan interaksi sosial, meskipun aktivitas tersebut terlihat menyenangkan. Fenomena ini disebut social fatigue atau kelelahan sosial. Misalnya, setelah berbincang cukup lama dengan teman, seseorang mungkin merasa butuh istirahat sejenak, meski sebelumnya merasa senang.

Fenomena ini menarik untuk dibahas karena sering dianggap sepele, padahal ada proses biologis yang kompleks di baliknya. Dengan memahami mengapa interaksi sosial dapat menguras energi, seseorang dapat belajar tentang bagaimana mengatur energi sosial dan menjaga kesimbangan mental, sambil tetap mengoptimalkan kualitas interaksi sosial.

Selain itu, fenomena ini relevan dengan masyarakat modern saat ini, di mana banyak orang menghadapi tuntutan sosial yang tinggi, mulai dari lingkungan sekolah, kampus, pekerjaan, hingga interaksi di dunia maya. Banyak orang merasa bersalah atau salah paham terhadap diri sendiri, padahal rasa lelah setelah berinteraksi sosial merupakan respons alami tubuh. Oleh karena itu, pembahasan ini akan mengaitkan fenomena social fatigue dengan konsep biopsikologi, meliputi aktivitas otak, peran hormon, dan mekanisme pemulihan melalui sistem saraf otonom.

Untuk memahami hal tersebut lebih jauh, berikut penjelasan mengenai bagaimana ketiga aspek biologis ini berperan dalam munculnya rasa lemas setelah interaksi sosial.

1) Aktivitas Otak

Fenomena social fatigue atau rasa lemas setelah interaksi sosial dapat dijelaskan melalui aktivitas otak. Salah satu bagian otak yang paling penting adalah prefontal cortex (PFC). PFC merupakan bagian otak yang hanya dimiliki manusia, yang membuat manusia memiliki pola pikir dan mampu beretika. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Berdasarkan Journal of Experimental and Basic Medical Sciences, PFC bertanggung jawab atas fungsi sensorik dan fungsi motorik dengan memproses masukan yang terjadi setiap saat dan membandingkannya dengan pengalaman yang lain (Sari & Erbas, 2022). Dengan ini, PFC dapat membentuk kepribadian dan perilaku sosial, sehingga berperan penting dalam mengatur interaksi sosial.

Melalui PFC, selama interaksi sosial, manusia dapat memperhatikan ekspresi dan ucapan lawan bicara, mengendalikan tindakan agar tidak bereaksi sembarangan, menganalisis situasi, dan menyesuaikan respons. Aktivitas-aktivitas ini membutuhkan energi mental yang besar, sehingga setelah melakukan interaksi sosial yang panjang, PFC “lelah” menjalankan tugasnya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya fenoma social fatigue dengan rasa lemas yang dialami oleh manusia, meskipun interaksinya menyenangkan.

Selain itu, manusia juga memiliki memori bernama amigdala dan hippocampus. Kedua memori tersebut tersimpan pada sistem limbik di otak. Berdasarkan Jurnal Mimbar Akademika, amigdala akan menerima rangsangan dari visual dan audio sebagai faktor penggerak emosi (Ibrahim, 2025). Sehingga dapat disimpulkan bahwa amigdala akan memproses emosi selama interaksi sosial, termasuk ketidaknyamanan. Aktivitas amigdala harus seimbang dengan PFC, karena semakin intens interaksi sosial maka semakin besar pula energi mental yang dibutuhkan.

Kemudian, hippocampus berperan dalam menyimpan memori sosial, sehingga memungkinkan kita untuk mengingat pengalaman sebelumnya dan menyesuaikannya dengan perilaku pada situasi serupa. Seperti yang terdapat pada buku Cerebal Ischema, hippocampus terlibat dalam pemrosesan memori terkait pengalaman masa lalu yang berpengaruh pada emosi dan perilaku seseorang (Chauhan et al., 2021). Proses kerja sama antara hippocampus, amigdala, dan PFC menambah beban kerja otak selama interaksi sosial, sehingga tubuh akan merasa lemas sebagai hasil adaptasi ketiga unsur tersebut.

Secara keseluruhan, kombinasi aktivitas PFC, amigdala, dan hippocampus membuat otak bekerja keras dalam menganalisis, menafsirkan, dan merespons rangsangan sosial. Beban mental ini menjadi salah satu penyebab utama munculnya fenomena social fatigue, sebagai respons alami tubuh setelah bersosialisasi.

2) Peran Hormon

Fenomena social fatigue tidak hanya melibatkan aktivitas otak, tetapi juga dipengaruhi oleh peran hormon yang mengatur respons tubuh terhadap interaksi sosial, yakni hormon kortisol. Berdasarkan artikel Cleveland Clinic, kortisol adalah hormon steroid yang diproduksi dan dilepaskan oleh kelenjar adrenal. Kortisol berperan penting dalam mengelola respons stres tubuh, yaitu ketika seseorang mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon kortisol setelah hormon “fight or flight” seperti adrenalin. Pelepasan kortisol ini berfungsi agar tubuh tetap dalam kondisi siaga. Selain itu, kortisol juga memicu pelepasan glukosa dari hati untuk menyediakan energi cepat yang dibutuhkan saat menghadapi situasi stres (Cortisol: What It Is, Function, Symptoms & Levels , n.d.). Dengan ini, kortisol berfungsi membantu tubuh agar tetap fokus, waspada, dan siap menghadapi rangsangan sosial.

Namun, ketika kadar kortisol tinggi dalam waktu lama, seperti setelah interaksi sosial yang intens, tubuh akan mengalami penurunan konsentrasi dan energi. Inilah yang menyebabkan seseorang dapat merasa lelah secara fisik maupun mental setelah melakukan interaksi sosial.

3) Sistem Saraf Otonom (Mekanisme Pemulihan)

Setelah memahami peran hormon kortisol dalam memicu respons siaga selama interaksi sosial, tubuh tidak berhenti bekerja begitu saja. Sistem saraf otonom simpatik dan parasimpatik juga berperan penting dalam mengatur keseimbangan setelah interaksi sosial berakhir. Berdasarkan artikel BYJU’S, sistem saraf otonom simpatik adalah bagian dari sistem saraf otonom yang terletak di daerah toraks dan lumbar di sumsum tulang belakang. Sistem saraf ini berfungsi untuk merangsang respons tubuh “fight or flight” saat mneghadapi potensi bahaya (Difference Between Sympathetic And Parasympathetic Nervous System, n.d.). Dengan ini, ketika interaksi sosial terjadi, sistem saraf simpatik akan aktif dan memicu respons “fight or flight” sehingga membuat tubuh lebih waspada. Aktivitas ini akan meningkatkan detak jantung, pernapasan, dan kewaspadaan mental.

Setelah interaksi sosial selesai, sistem saraf otonom parasimpatik akan bekerja untuk menenangkan tubuh dan mengembalikannya pada keadaan normal. Dalam artikel BYJU’S dijelaskan bahwa sistem saraf otonom parasimpatik adalah bagian dari sistem saraf otonom yang terletak di antara sumsum tulang belakang dan medula. Sistem saraf ini akan merangsang respons tubuh “rest and digest” dan “feed and breed” (Difference Between Sympathetic And Parasympathetic Nervous System, n.d.). Untuk itu, proses ini akan memunculkan sensasi lemas yang merupakan tanda bahwa tubuh sedang memulihkan energi.

Kesimpulan

Fenomena social fatigue atau kelelahan sosial merupakan bentuk respons biologis tubuh terhadap aktivitas sosial yang intens. Proses ini melibatkan kerja berbagai mekanisme, seperti aktivitas otak, khususnya prefontal cortex, amigdala, dan hippocampus untuk menganalisis rangsangan sosial, kemudian hormon kortisol yang memicu kewaspadaan saat melakukan interaksi sosial, dan sistem saraf otonom berupa saraf otonom simpatik dan parasimpatik yang berperan dalam pemulihan energi setelah tubuh berada dalam kondisi siaga. Kombinasi dari ketiga mekanisme ini menjelaskan mengapa seseorang dapat merasa lelah, bahkan setelah melakukan aktivitas sosial yang menyenangkan sekalipun.

Dari pembahasan ini, dapat dipahami bahwa rasa lemas setelah melakukan interaksi sosial bukanlah tanda kelemahan, melainkan reaksi alami tubuh dalam menjaga keseimbangan mental dan biologis. Kesadaran akan hal ini dapat membantu seseorang untuk lebih menerima kondisi dirinya tanpa harus merasa bersalah atau bingung terhadap kebutuhan akan waktu sendiri.

Pemahaman terhadap mekanisme biologis di balik social fatigue juga memiliki beberapa implikasi praktis. Pertama, pentingnya mengenali batas energi sosial pribadi. Setiap individu memiliki tingkat toleransi energi yang berbeda, ada yang merasa bersemangat setelah melakukan interaksi sosial lama, namun juga ada yang cepat merasa lelah meski hanya berbincang sebentar. Dengan memahami batas ini, seseorang dapat menjaga keseimbangan emosionalnya. Kedua, memberikan jeda atau waktu istirahat setelah melakukan interaksi sosial yang panjang. Misalnya, seseorang yang cenderung introvert mungkin membutuhkan waktu sendiri untuk memulihkan energi setelah melakukan aktivitas sosial. Ketiga, menerapkan strategi manajemen energi, seperti membagi waktu interaksi sosial secara proporsional, memilih lingkungan yang tepat dan nyaman, serta melakukan aktivitas relaksasi seperti journaling, meditasi, mendengarkan musik, atau beristirahat. Dengan cara-cara ini, keseimbangan antara kebutuhan sosial dan biologis dapat tetap terjaga.

Referensi

Chauhan, P., Jethwa, K., Rathawa, A., Chauhan, G., & Mehra, S. (2021). The Anatomy of the Hippocampus. In Cerebral Ischemia (pp. 17–18). Exon Publications. https://doi.org/10.36255/exonpublications.cerebralischemia.2021.hippocampus

Cortisol: What It Is, Function, Symptoms & Levels . (n.d.). Cleveland Clinic. Retrieved October 11, 2025, from https://my.clevelandclinic.org/health/articles/22187-cortisol

Difference Between Sympathetic And Parasympathetic Nervous System. (n.d.). BYJU’S. Retrieved October 12, 2025, from https://byjus.com/biology/difference-between-sympathetic-and-parasympathetic/

Ibrahim, I. (2025). MENGENAL AMIGDALA SEBAGAI FENOMENA MEMORI EMOSI MANUSIA. Jurnal Mimbar Akademika, 10, 102.

Sari, E., & Erbas, O. (2022). Human Prefrontal Cortex: Regions and Functions. Journal of Experimental and Basic Medical Sciences, 134.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image