Ketimpangan Gender di Dunia Pekerjaan hingga Pendidikan: Apakah Masih Normal?
Humaniora | 2025-10-09 23:49:43Muhammad Naufal Sandiansyah Bahasa dan Sastra Jepang FIB UNAIR
Dalam berkehidupan masyarakat, kesetaraan gender dan hak seringkali menjadi suatu hal yang masih dianggap lumrah oleh kebanyakan masyarakat. Gender sendiri merupakan konstruksi sosial yang mengatur peran, tanggung jawab, dan kesempatan anatara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketimpangan gender merupakan fenomena sosial yang menunjukkan perbedaan peluang, hak, dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang, salah satunya di sini mengenai aspek pendidikan dan pekerjaan.
Dalam hal ini, gender bukan hanya berkaitan dengan jenis kelamin biologis, tetapi juga konstruksi sosial budaya yang mengatur peran dan ekspektasi terhadap laki-laki dan perempuan. Menurut Naila Kabeer (2005), pembangunan yang adil harus dilihat dari bagaimana perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama dari proses pembangunan sosial ekonomi. Namun, memang akar dari masalah ketimpangan terletak pada budaya patriarki yang memang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Sistem patriarki menempatkan perempuan dalam berbagai situasi baik di rumah, sekolah, maupun di dunia kerja.
Dalam dunia pendidikan, perempuan telah banyak memperoleh akses sekolah, tetapi pilihan jurusan dan karier mereka masih dipengaruhi oleh pandangan sosial bahwa perempuan lebih cocok di bidang yang lebih mencerminkan sifat atau karakter seorang perempuan. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang tidak terlibat Teknik, sains, atau kepemimpinan dalam pemerintahan.
Pada dasarnya bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia masih jauh di bawah laki-laki, utamanya jika dilihat dari wilayah perkotaan sendiri. Hal semacam ini tidak hanya disebabkan oleh faktor pendidikan semata tetapi juga oleh tekanan sosial yang mana menganggap bahwa perempuan itu seharusnya fokus akhitnya hanya untuk mengurus rumah tangga saja tidak lebih dari itu.
Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia masih bersifat formal diatur dalam kebijakan-kebijakan namun belum sepenuhnya bisa berjalan dengan praktik itu sendiri. Padahal ketimpangan gender justru berdampak negatif dalam pertumbuhan ekonomi karena potensi produktif perempuan menjadi tidak terpakai secara optimal. Dengan penjelasan lain apabila perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan maupun pekerjaan, bukan hanya mereka atau perempuan saja yang dirugikan namun masyarakat akan juga merasakannya secara tidak langsung.
Ketimpangan gender, tentu bukan hanya menjadi masalah di dalam negeri saja, namun juga terjadi di negara-negara dunia, misalnya saja Jepang. Sudah tidak menjadi rahasia umum bahwa masalah seperti ini juga dapat melanda negara maju ini, negara yang dikenal dengan kemajuan ekonomi yang tinggi namun tidak dibarengi dengan kesetaraan gender untuk pemenuhan pemerataan hak yang harusnya dapat dimiliki oleh perempuan hingga budaya kerja yang masih kaku dan pandangan tradisional masih membayangi dan membatasi perempuan untuk berkarier.
Banyak perempuan Jepang yang berhenti bekerja setelah menikah atau memiliki anak karena sistem kerja di sana yang menuntut jam Panjang dan melelahkan dan sebuah komitmen total yang terikat. Dalam situasi ini, pemerintah Jepang sudah berusaha untuk mengubah kondisi seperti ini melalui kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan. Namun, hasilnya masih kurang maksimal karena adanya norma sosial yang masih menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab utama rumah tangga.
Kondisi ini mirip dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia, dimana kebanyakan perempuan masih dilema antara karier dan keluarga. Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa di daerah pedesaan seperti Jawa Tengah, masih banyak keluarga yang menganggap pendidikan tinggi untuk perempuan tidak terlalu penting, karena peran mereka dianggap berakhir di rumah.
Padahal di negara seperti Swedia dan Norwegia, pemerintah berhasil menekan ketimpangan gender dengan menciptakan sistem yang mendukung keseimbangan peran keluarga dan kerja, seperti jam kerja fleksibel dan subsidi penitipan anak. Artinya untuk mencapai kesetaraan gender tidak cukup dengan hanya kebijakan-kebijakan di atas kertas hitam dan putih saja, tetapi perlu juga bagaimana perubahan pola pikir masyarakat.
Maka dari itu, seperti halnya pertanyaan apakah ketimpangan gender itu masih normal? Jawabannya tentu tidak. Ketimpangan aspek gender ini masih sering kali terjadi, tapi bukan berarti hal tersebut wajar dan diwajarkan. Masyarakat sendiri harus mempunyai pola pikir dan menganggap kesetaraan gender sebagai hal penting, bukan lagi menjadi standarisasi atau tempat akhir perempuan sebatas rumah dan rumah tangga, dan juga mengubah cara pandang bahwa ini bukan hanya sekedar trend.
Perempuan dan laki-laki seharusnya sudah selayaknya memiliki hak dan kesetaraan kesempatan yang sama untuk dapat belajar, bekerja, hingga berkontribusi bagi bangsa dalam segala aspek bahkan duduk di kursi pemerintahan. Jika kesadaran ini terus dapat tumbuh dan disebarluaskan, maka suatu saat nanti kita bisa melihat dunia yang lebih adil dan merata, di mana kesetaraan gender dapat dilakukan dan bukan hanya sekedar slogan dan tulisan, tetapi sebuah kenyataan yang nyata.
Ketimpangan gender dalam segala aspek kehidupan masyarakat terus menjadi salah satu tantangan yang begitu nyata yang dihadapi oleh banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Di sisi lain, walaupun telah banyak usaha dari berbagai kebijakan telah dirancang dan diterapkan untuk menjamin kesetaraan tersebut, masih adanya fakta yang berbanding terbalik pada pelaksaannya di kehidupan nyata. Budaya patriarki membuat perempuan selalu mendapati pilihan sulit, antara mengembangkan karier ataupun memilih untuk memenuhi peran lain, sementara laki-laki masih terus saja dibebani ekspetasi-ekspetasi tinggi sebagai peran utama pencari nafkah utama dalam keluarga.
Padahal seharusnya pembagian hak dan kesetaraan dapat berjalan sesuai keadaan yang semestinya, apalagi jaman sekarang sudah memasuki jaman masyarakat modern yang mana semakin kompleks aturan dan realitas kehidupannya. Dalam masalah yang demikian, mungkin sudah waktunya untuk pemerintah dan lembaga yang terkait bisa memastikan bahwa peran dan hak perempuan di aspek kesetaraan perlu diperhatikan secara lebih, yang mana perempuan juga memiliki hak dan akses yang sama untuk ilmu pengetahuan, hak untuk kesempatan kerja, hingga bergerak dan menempati posisi di pemerintahan.
Tidak sampai di situ, mungkin kedepannya kesetaraan gender tidak hanya menguntungkan perempuan saja, tetapi juga bisa meningkatkan keadilan sosial secara keseluruhan. Masyarakat pun secara tidak langsung juga harus dapat menyalurkan pikiran dengan ‘melek’ keadaan, dimana mereka harus paham di masa yang sudah serba modern saat ini diperlukannya kesetaraan untuk perempuan dan laki-laki guna mendorong pemenuhan hak yang seimbang dan tidak tumpang tindih atau hanya diberatkan kepada laki-laki saja sehingga nantinya ketimpangan gender di segala aspek utamanya pada dunia pendidikan dan pekerjaan, dapat berjalan beriringan dan sudah dapat dikatakan normal.
Daftar Pustaka
Fardani, M., Putri, A., Ignasha, N., Farliana, N., & Chairunisa, N.A. (2023).
Pengaruh Gender terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Provinsi di Indonesia Tahun 2023. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan.
Naila Kabeer. (2005). Gender Equality and Women’s Empowermant: Acritical Analysis of the
Third Millenium Development Goal. Gender & Development Jurnal.
Roziqin, A. (2020). Pendidikan Berbasis Kesetaraan Gender di Provinsi Jawa Tengah. Socia:
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
