Satu Kata, Satu Makna, Tetapi Kok Beda Bahasa?
Sastra | 2025-10-09 02:37:44
Retizen.
"Bahasa menunjukkan bangsa." Memang, ungkapan tersebut sering didengar atau dibicarakan. Bahasa secara harfiah berarti alat atau instrumen yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, ataupun simbolisasi objek tertentu atas dasar kesepakatan bersama. Artinya, suatu bahasa bisa terbentuk jika sekumpulan manusia -yang diciptakan oleh Sang Pencipta untuk berakal, bernafsu, dan berlisan- menyepakati simbol-simbol ke dalam linguistik yang sistematis.
Sedangkan bangsa berarti sekelompok manusia yang memiliki kesamaan identitas yang menempati suatu wilayah. Bangsa tersebut perlu membangun suatu identitas yang bisa membedakannya dengan bangsa lain, baik dari segi budaya, gaya hidup, dan lainnya, termasuk bahasa.
Bila dikaji dalam perspektif filsafat, bahasa sejatinya memengaruhi cara kita berpikir dan berantaikan kata menjadi sesuatu yang dimengerti oleh pihak lain. Kemampuan dalam berbahasa seringkali dikaitkan dengan penutur yang berpengetahuan. Artinya, bahasa merangsang penuturnya untuk memahami semesta serta membangun pengetahuan. Dalam perspektif Islam, Allah Swt. sengaja menciptakan manusia terdiri atas beragam bahasa dan ras sebagaimana dalam Surat Ar-Rum [30] ayat 22:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.
Maka, bagaimana suatu bangsa bisa dikenali atau diketahui? Salah satu ciri fundamentalnya adalah bahasa. Tidak hanya bahasa verbal, manusia juga mengenali adanya bahasa isyarat, kode, dan lainnya. Adanya bahasa membuat manusia dapat membedakan identitas seseorang. Misal, bila seseorang memiliki logat Jawa, maka kita bisa mengasumsikan orang itu berasal dari Jawa. Begitupun bila seseorang menggunakan bahasa isyarat, kita juga memahami orang tersebut tergolong tunarungu, dan seterusnya. Semua itu bisa dipahami hanya jika manusia mengenali tanda semesta melalui ilmu.
Mengapa Bahasa itu Bisa Berbeda-Beda?
Pernahkah berpikir bagaimana bahasa di dunia bisa berbeda-beda? Mengapa tidak diciptakan satu bahasa universal saja?
Analogi sederhananya begini, bayangkan sebuah benda dengan sisi yang tidak bersudut seperti bundar, permukaannya licin, dan digunakan sebagai alat bermain yang bernama bola.
Mengapa benda tersebut bisa dinamakan bola? Kalau dalam bahasa Arab namanya "الكرة" (Al-Kurrah), dalam bahasa Inggris namanya "ball", dalam bahasa Mandarin namanya 球 (qiú), dalam bahasa Spanyol namanya "pelota", dalam bahasa Turkiye namanya "top", dalam bahasa Rusia namanya мяч (myach), dan sebagainya?
Ada beberapa sebab:
1. Kosakata pada setiap bahasa selalu berevolusi dari masa ke masa. Bila dikaji dalam ilmu linguistik, setiap bahasa merupakan rumpun dari bahasa lainnya sehingga bahasa-bahasa yang memiliki kesamaan rumpun bahasa akan memiliki karakteristik yang cenderung mirip. Sebagai contoh, kata "bola" merupakan kata serapan dari dari bahasa Portugis, memiliki kesamaan dengan "ball" (Inggris), "balle" (Prancis), dsb. Jadi, meskipun berbeda bahasa dan dialek, terdapat kemiripan pada kosakatanya.
2. Suatu bahasa diciptakan melalui kesepakatan sosial sejak era manusia purba. Mereka cenderung menamai suatu benda berdasarkan tiruan alam, bunyi, simbol, ataupun pengulangan fonem sehingga menghasilkan kosakata baru. Kosakata tersebut kemudian dikumpulkan dan ditirukan oleh manusia lainnya sehingga menjadikannya sebagai identitas khas bagi penutur bahasa tersebut. Tetapi secara praktis tidak ada alasan logis dan pasti yang bisa menjelaskan mengapa "bola" disebut bola sehingga memunculkan berbagai teori seperti Teori Tekanan Sosial (Social Pressure Theory), Teori Onomatopetik, Teori Kontrol Sosial, Teori Hockett-Ascher, dan lainnya. Contohnya, suatu benda disebut "gong" karena kemiripan bunyi pada saat dimainkan.
3. Bahasa akan selalu berkembang dan berevolusi tergantung pada penggunaannya di masyarakat. Bahkan kosakata bahasa Indonesia terus diperbaharui dengan menyerap dari bahasa asing maupun bahasa asing. Tidak hanya kosakata tetapi juga tata bahasa (grammar) yang menyesuaikan dengan gaya bicara dan dialek bangsa tertentu. Kosakata seperti "waktu", "radio", "wibu", "palum", "sosial", "negara", dsb merupakan contoh penyesuaian bahasa Indonesia terhadap kosakata asing.
Jadi bila ditanya apakah bisa hanya dengan satu bahasa saja? Tergantung dari penutur itu sendiri dan kesepakatan universal.
Bagaimana Manusia Bisa Paham Bahasa yang Berbeda?
Manusia pada awalnya hanya dibekali oleh dua bahasa utama sejak lahir (bilingual), yaitu bahasa ibu dan bahasa nasional. Kedua bahasa ini dipengaruhi oleh gaya komunikasi orang tua maupun kebiasaan di lingkungan masyarakat. Tetapi manusia bisa menguasai bahasa lain melalui pendidikan, terutama pada lingkungan akademik yang memang menuntut penggunaannya sebagai bahasa pengantar. Bahkan ada orang tertentu yang bisa menguasai lebih banyak bahasa, yaitu poliglot.
Ada beberapa profesi yang melibatkan penggunaan multibahasa ini seperti translator (penerjemah skrip), interpreter (penerjemah lisan), pemandu wisata, koresponden asing, dan sebagainya. Seorang yang ingin berprofesi tersebut harus mampu menguasai dan berkomunikasi dengan baik agar tidak terjadi misinformasi apalagi sampai muncul kesalahpahaman yang berbahaya.
Jadi Kesimpulannya?
Bahasa pada hakikatnya menunjukkan jati diri suatu bangsa karena memiliki ciri khas yang membedakan satu bahasa dengan bahasa yang lain. Suatu bahasa bisa berbeda karena merupakan hasil dari evolusi semantik, arbitraritas, dan perkembangan budaya yang menjadikannya sebagai identitas dari bangsa tersebut. Maka hal ini bisa memengaruhi gaya bahasa, termasuk juga perbedaan kosakata yang digunakan sehingga perlu adanya penguasaan multibahasa sesuai dengan profesi pada masanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
