Pembatasan Kalimat dalam Paragraf Adalah Pembunuh Ide Kritis yang Sebenarnya
Guru Menulis | 2025-11-22 16:23:30
Jika sekarang kita duduk di bangku kuliah, artinya sudah belasan tahun kita belajar Bahasa Indonesia di bangku sekolah. Dimulai dari jenjang Sekolah Dasar, kita semua diperkenalkan dengan konsep menulis yang baik dan sesuai dengan aturan. Susunan kalimat yang efisien, tanda baca yang sesuai kebutuhan, hingga doktrin ajaran bahwa sebuah paragraf dinilai baik apabila tersusun dari lima hingga tujuh kalimat. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa aturan tersebut justru membatasi konsep di dalam pikiran yang hendak kita tuangkan dalam tulisan? Sebuah paragraf dipaksa selesai jika telah mencapai jumlah kalimat tertentu. Tidak peduli apakah pesan yang ingin disampaikan seorang penulis sudah tertuang sepenuhnya atau belum.
Kurikulum di sekolah mengajarkan bahwa paragraf yang baik hanya boleh terdiri dari satu kalimat utama dan empat kalimat pendukung. Padahal jika ditinjau dari pengertiannya, paragraf adalah satu unit berpikir. Sehingga, paragraf dapat berakhir ketika satu ide utama telah dikembangkan sepenuhnya dan penulis siap untuk berpindah ke topik lain. Pembatasan jumlah kalimat dalam satu paragraf secara tidak langsung turut membatasi pengembangan ide yang ada dalam pikiran penulis menjadi dangkal. Ide yang berkembang luas dalam pikiran seharusnya memiliki hak yang sama untuk dituangkan ke dalam tulisan. Namun, adanya aturan tersebut menyebabkan seorang penulis bak terpenjara dalam bayangan “harus lima kalimat jika ingin menjadi paragraf yang baik.” Mau tak mau seorang penulis terpaksa memadatkan bahkan membuang sebuah kalimat agar sesuai dengan kaidah penulisan.
Sebuah ide yang kompleks harus dipangkas menjadi ide sederhana agar mampu mencapai batas maksimum paragraf. Hal ini berpotensi menyebabkan sebuah tulisan terkesan monoton dan mudah ditebak oleh pembaca. Adanya peraturan ini juga memaksa penulis membuat beberapa paragraf terasa seperti pengulangan sebab mengulang pembahasan yang sama hanya agar mencapai jumlah minimum kalimat dalam satu paragraf. Padahal setiap paragraf memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda-beda. Misalnya, paragraf pertama mambahas tentang data yang butuh dianalisis dan dibuktikan, sedangkan paragraf terakhir berisi pengulangan teori. Keduanya jelas memiliki pengembangan ide yang berbeda sehingga akan kacau apabila harus dipukul rata hanya lima kalimat dalam satu paragraf.
Apabila pelanggaran aturan justru bisa meningkatkan kualitas tulisan agar tetap utuh dan tersampaikan seluruh maknanya, maka paragraf yang dinilai tidak sesuai kaidah adalah yang lebih baik dalam segi kualitas isi. Memangkas sebuah paragraf akan merusak struktur kompleks yang ingin disampaikan oleh penulis. Elemen yang seharusnya menjadi fokus terpenting dalam penulisan paragraf adalah kohesi dan koherensi, bukan seberapa panjang kalimatnya. Kohesi akan menciptakan alur yang lancar, sementara koherensi menciptakan naskah yang masuk akal dan mudah untuk dipahami.
Mari kita berhenti menjadikan jumlah kalimat dalam satu paragraf sebagai tolok ukur penilaian. Obsesi terhadap jumlah kalimat adalah peninggalan usang yang harus diakhiri. Paragraf yang baik seharusnya bergantung pada isi tulisan. Berhenti membatasi sebuah ide pemikiran dan biarkan sebuah paragraf mengalir sepanjang yang penulis inginkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
