Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Serambi Zaman: Hikayat Adat dan Cahaya Aceh

Sastra | 2025-10-08 15:31:36
Foto karya "Romantika Pedang dan Bulan Sabit, digunakan dengan izin langsung dari pelukis, Mahdi Abdullah, pada 13 Agustus 2025.

Maka tersebutlah suatu negeri di ujung barat dunia Melayu, yang diselimuti kabut rempah dan doa para wali. Namanya Aceh Darussalam — negeri yang dahulu disapa angin Tiongkok sebagai "Huan-tche", dan oleh para pedagang Arab disebut Lambri, pelabuhan tempat emas dan iman bertemu. Di sanalah laut menyanjung daratan, dan adat bersujud kepada hukum.

Pada masa itu bersemayamlah seorang raja besar, Iskandar Muda Meukuta Alam, yang budi dan keberaniannya termasyhur hingga ke Istanbul. Ia memerintah bukan hanya dengan pedang dan panji, tetapi dengan kata yang menjadi hukum dan hukum yang menjadi adat. Maka tersusunlah "Adat Meukuta Alam", kitab kebesaran yang mengatur segala: dari tata istana hingga harga beras di pasar.

Namun di balik singgasana emas, berdirilah empat tiang penyangga negeri — sebagaimana termaktub dalam hadih maja yang tua: Adat bak Po Teumeureuhôm; Hukôm bak Syiah Kuala; Meudjeulih kanun bak Putroe Phang; Resam bak Bentara.

Po Teumeureuhôm — itulah gelar bagi Sultan, penguasa yang menata adat. Pada suatu malam, baginda duduk di balairung dengan wajah redup diterangi lampu minyak. “Adat ini,” sabdanya, “bukan milikku seorang. Ia darah dan napas rakyatku.” Maka diserulah para ulama, bangsawan, dan cendekia istana. Di antara mereka duduk seorang tua berjubah putih, wajahnya bersih bagaikan bulan purnama. Dialah Teungku Syiah Kuala, ulama besar yang menuntun negeri dengan ilmu dan zikir.

“Tuanku,” ujar Syiah Kuala dengan suara lembut, “adat tanpa hukom ibarat kapal tanpa kompas. Ia akan berlayar, tapi takkan tahu ke mana menuju.”

Baginda mengangguk. “Dan hukom tanpa adat?” tanya raja. “Itulah bayangan tanpa tubuh,” jawab sang ulama. “Hukum Allah memerlukan wadah manusia agar dapat menurunkan rahmat.”

Maka malam itu, antara sultan dan ulama lahirlah satu pengertian: bahwa adat dan agama bukan dua jalan, melainkan dua sungai yang bersatu di muara kebenaran. Dari musyawarah itu kemudian disusunlah qanun yang mengatur nikah, waris, perniagaan, dan zakat — dengan tinta yang dicelupkan ke dalam cahaya keadilan.

Namun kerajaan tak hanya berdiri di atas lelaki. Di taman istana, Putroe Phang, permaisuri dari tanah seberang, berjalan dengan langkah lembut tapi mantap. Ia perempuan bijak, putri dari negeri Pahang, yang memahami bahasa politik seperti ia memahami anyaman sutra.

Dalam istana, ia menulis kanun dengan tangannya sendiri — tentang etika pergaulan, tata pernikahan, dan kehormatan perempuan. Ia berkata kepada dayang-dayang: “Negeri yang kuat bukan hanya karena laki-lakinya berani, tapi karena perempuannya tahu martabat.”

Kisahnya pun menjadi legenda. Pelaminan Aceh, dengan hiasan kuning emas dan kain songket, dikatakan berasal dari rekaannya — simbol pernikahan antara adat dan hukum, antara dunia dan akhirat.

Dan di sela hiruk pikuk istana, berdirilah seorang Bentara — juru bicara kerajaan, penjaga resam dan tutur. Suaranya lantang, tapi berhati lembut. Bila baginda berangkat ke medan perang, dialah yang membaca doa pembuka. Bila rakyat berselisih, dialah penengah yang berkata: “Setiap titah raja mesti diterjemahkan ke dalam bahasa rakyat.”

Bentara tahu, bahwa kekuasaan tanpa resam akan kehilangan bentuk, sebagaimana air kehilangan bejana. Maka ia mengajarkan tata cara kenduri, adat perkawinan, dan upacara laut. Bagi Bentara, setiap upacara bukan hanya pesta, melainkan doa yang menyatukan masa lalu dengan masa depan.

Tahun berganti. Angin Portugis berhembus dari Malaka, membawa kapal dan meriam. Lalu datang pula bangsa Belanda dengan dalih perdagangan, namun mata mereka tertuju pada emas dan lada. Negeri pun berguncang. Di tengah ancaman itu, Sultan Iskandar Muda menatap ufuk barat — mengirim utusan ke negeri Ottoman, memohon saudara seiman untuk menegakkan marwah Islam di ujung dunia.

Utusan itu kembali membawa surat dan meriam, tapi lebih dari itu: membawa kesadaran bahwa Aceh adalah bagian dari dunia yang lebih luas, dan bahwa kekuasaan sejati bukanlah menaklukkan bumi, melainkan menegakkan keadilan.

Sesudah zaman Sultan berlalu, silih berganti pemerintahan datang dan pergi. Belanda menanamkan hukum mereka, menyebut adat sebagai "adatrecht" — seolah pisah dari syariat. Mereka tidak tahu, bahwa bagi orang Aceh, adat dan hukum ibarat zat dan sifat: tiada yang dapat dipisahkan.

Zaman berganti lagi. Negeri merdeka, tapi luka perang belum kering. Lalu datang ombak besar — tsunami yang menggulung laut dan daratan. Ketika negara lumpuh dan pejabat terdiam, orang-orang kampung menghidupkan kembali hadih maja. Mereka berkumpul di meunasah, membagi beras, memutuskan perkara, mengangkat kepala adat. Seolah suara leluhur kembali berkata: “Jika raja tiada, maka adatlah yang menjaga.”

Dari puing-puing itulah Aceh bangkit. Perjanjian damai ditandatangani di Helsinki, dan otonomi diberikan — seakan sejarah memberi kesempatan kedua. Mahkamah adat dibangun kembali, qanun disusun ulang, ulama duduk sejajar dengan pejabat negara. Di banyak desa, Bentara baru lahir: bukan lagi juru bicara istana, tapi penjaga harmoni masyarakat.

Kini di tengah dunia modern, ketika menara kaca berdiri di atas tanah bekas meunasah, suara hadih maja masih bergaung: Adat bak Po Teumeureuhôm; Hukôm bak Syiah Kuala; Meudjeulih kanun bak Putroe Phang; Resam bak Bentara.

Di antara rimba hukum negara dan ombak globalisasi, pepatah itu menjadi kompas yang menunjuk ke arah kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa keadilan bukan milik satu tangan, melainkan hasil musyawarah empat hati: raja yang bijak, ulama yang arif, perempuan yang luhur, dan rakyat yang beradab.

Maka demikianlah, adat Aceh bukan batu tua di museum, melainkan cahaya yang menuntun langkah zaman. Sebab seperti kata ulama tua itu, “Adat ngon agama lagèë zat ngon sifeut — tiada berpisah, sebagaimana cahaya tak dapat dipisahkan dari matahari.”

Dan dari ufuk barat itu, Aceh terus berdoa — agar dunia yang gelisah ini kembali menemukan adatnya, hukumnya, dan resam kemanusiaannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image