Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghaza Alfatih

Parpol Kita Kehilangan Ideologi? Menyoroti Pragmatisme Pasca-Reformasi

Politik | 2025-10-07 20:02:44

Reformasi 1998 menandai lahirnya era baru demokrasi Indonesia. Rezim otoriter tumbang, partai politik bermunculan, dan rakyat kembali punya suara. Dua puluh tahun lebih berlalu, demokrasi memang hidup, tetapi partai politik kehilangan arah ideologisnya.

Harapan awal agar partai menjadi saluran perjuangan gagasan berubah menjadi realitas yang lebih pragmatis. Partai kini lebih sibuk memburu kekuasaan ketimbang memperjuangkan nilai. Fenomena ini dikenal sebagai deideologisasi politik—kehilangan orientasi ideologi dan berubah menjadi kendaraan elektoral semata.

Dari Ideologi ke Pragmatisme

Setelah Orde Baru runtuh, hampir semua partai menanggalkan identitas ideologinya. Partai nasionalis, religius, hingga populis kini sama-sama memakai slogan kesejahteraan rakyat dan pemerataan ekonomi. Tidak ada perbedaan tajam antara satu partai dan lainnya. Semua ingin merangkul semua kalangan.

Strategi ini disebut catch-all party: partai yang berupaya menampung semua segmen pemilih tanpa batas ideologi. Hasilnya, program partai menjadi seragam dan dangkal. Pemilih sulit membedakan partai nasionalis dari partai berbasis agama.

Dalam Pemilu 2019 dan 2024, hampir semua partai memakai jargon mirip: “Pro-rakyat”, “Adil dan Makmur”, “Indonesia Maju”. Tidak satu pun menunjukkan posisi ideologis yang jelas, seperti sosial demokrat, konservatif, atau religius moderat. Politik ide berubah menjadi politik citra.

Ambang batas parlemen 4 persen juga mempercepat proses ini. Banyak partai kecil menyesuaikan diri dengan selera pemilih umum agar bisa bertahan. Mereka menanggalkan ideologi untuk bertahan di pasar politik yang kompetitif. Akibatnya, diferensiasi politik hilang, dan demokrasi kehilangan warna.

Kartel Politik dan Oligarki Elit

Pragmatisme partai terlihat jelas dalam pola koalisi. Setelah Pemilu 2014 dan 2019, sebagian besar partai bergabung ke pemerintahan. Bahkan partai yang awalnya oposisi akhirnya ikut duduk di kabinet. Koalisi gemuk ini melahirkan fenomena political cartel, ketika partai-partai bekerja sama bukan karena kesamaan nilai, melainkan karena kepentingan kekuasaan.

Di parlemen, oposisi nyaris tak berdaya. Hampir semua fraksi mendukung agenda pemerintah. Kritik terhadap kebijakan publik melemah. Demokrasi kehilangan fungsi kontrolnya.

Di internal partai, kekuasaan juga tersentralisasi. Ketua umum dan segelintir elite menguasai arah politik. AD/ART partai memberi kewenangan besar kepada pimpinan pusat untuk menentukan calon legislatif, kepala daerah, dan arah koalisi. Demokrasi internal praktis mati.

Pendanaan politik memperkuat pola ini. Menurut data Kementerian Keuangan, dana bantuan negara hanya menutupi sebagian kecil biaya operasional partai. Sisanya berasal dari sumbangan pengusaha dan donatur pribadi. Ketika keuangan partai bergantung pada segelintir orang, kebijakan publik pun rawan disetir oleh kepentingan mereka.

Akibatnya, partai tidak lagi menjadi jembatan antara rakyat dan negara, tetapi menjadi alat tawar elit ekonomi dan politik.

Kaderisasi yang Tersendat

Fungsi kaderisasi yang seharusnya menjadi jantung partai kini mandek. Rekrutmen calon legislatif lebih mempertimbangkan popularitas dan kekuatan finansial daripada kemampuan berpikir dan integritas. Artis, pengusaha, dan selebritas ramai di daftar caleg.

KPK mencatat, sejak 2004 lebih dari 400 anggota legislatif dan kepala daerah dari berbagai partai terjerat kasus korupsi. Angka ini menunjukkan lemahnya seleksi dan pembinaan kader. Partai gagal menjadi sekolah politik.

Sebagian besar kader hanya muncul menjelang Pemilu, lalu hilang setelahnya. Tidak ada sistem pendidikan politik yang konsisten. Akibatnya, loyalitas kader rapuh, dan partai tidak memiliki barisan pemimpin yang tumbuh dari bawah. Politik berubah menjadi ruang transaksi, bukan perjuangan ide.

Turunnya Kepercayaan Publik

Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2024 menunjukkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hanya 16 persen. Ini angka terendah dibanding lembaga negara lain seperti TNI, Polri, atau KPK.

Bagi generasi muda, partai tidak lagi menarik. Mereka lebih percaya pada gerakan sosial, komunitas, atau figur independen. Padahal dalam sistem demokrasi perwakilan, partai politik tetap menjadi pilar utama pengambilan keputusan publik.

Jika partai terus kehilangan legitimasi, demokrasi bisa kehilangan fondasinya. Pemilu tetap berlangsung, tetapi maknanya kosong. Rakyat memilih tanpa tahu apa yang diperjuangkan.

Menata Ulang Arah Politik

Perubahan harus dimulai dari dalam. Partai perlu membangun kembali struktur dan nilai yang sehat. Ada empat langkah mendesak.

Pertama, buka proses internal. Pemilihan ketua umum, penentuan calon legislatif, hingga arah koalisi harus transparan. Anggota di tingkat bawah perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Kedua, reformasi pendanaan politik. Negara perlu menambah dana bantuan bagi partai dengan syarat transparansi laporan keuangan. Ketergantungan pada donatur besar hanya memperkuat oligarki.

Ketiga, hidupkan kembali pendidikan kader. Partai harus melatih anggota muda memahami ideologi, etika publik, dan kebijakan publik. Politik perlu kembali menjadi ruang pembelajaran, bukan hanya kampanye.

Keempat, pemilih juga punya peran. Kamu perlu kritis. Jangan memilih karena citra atau figur semata. Pelajari program, rekam jejak, dan sikap partai terhadap isu penting seperti lingkungan, pendidikan, dan kesejahteraan.

Demokrasi yang matang tidak diukur dari banyaknya partai, melainkan dari seberapa jelas arah ideologinya. Ketika partai kehilangan ide, politik berubah menjadi pertarungan tanpa makna. Indonesia butuh partai yang tidak sekadar mengejar kekuasaan, tetapi juga memperjuangkan gagasan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image