Ketika Lidah Tak Lupa Pulang: Gastronomi sebagai Simbol Diaspora di Film Indonesia
Kuliner | 2025-10-04 16:17:55oleh Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Bepergian dalam waktu lama ke wilayah baru, tidak hanya dalam satu negara, tetapi juga wilayah dengan negara yang berbeda dan budaya yang berbeda memberikan sebuah pengalaman yang baru bagi seseorang. Pengalaman tersebut tidak hanya menjadi hal baik, tetapi juga adanya hal yang tidak diinginkan. Menjadi manusia yang menginginkan berbagai hal dalam hidupnya dan menunjukkan eksistensinya sebagai manusia pastilah tidak akan menjadi manusia yang hanya di dalam tempurung saja. Ia akan berusaha mencari berbagai peluang yang memungkinkan untuk pergi menjelajah wilayah atau negara lainnya.
Diaspora, istilah awal dari fenomena penyebaran kaum Yahudi, Yunanin, dan Armenia dan menyebar ke berbagai aspek, salah satunya adalah permasalahan mengenai sejarah perbudakan (Clifford, 1994; Martha, 2020). Lebih jauh, Clifford mengungkapkan bahwa dengan perbudakan tersebut menjadikan individu menyebar dan melintasi batas negara, adanya tenaga ahli untuk bekerja pada bidang tertentu di negara lain, atau urbanisasi yang mendorong individu untuk mencari pengalaman di kota-kota besar dai luar negeri (Clifford, 1994). Hal ini mengakibatkan seseorang harus meninggalkan negaranya dan memulai hidup di negara lain. Senada dengan Clifford, Hall pun mengungkapkan bahwa diaspora harus hidup dengan dua identitas atau lebih dan menggunakan minimal dua bahasa dari budaya masing-masing (Hall, 1990).
Menjadi diaspora, tidak serta merta memindahkan segala hal seseorang, tetapi kenangan masa lalu dan tempat asal tidak akan terlupa. Lebih jauh, hal ini memberikan kesadaran kolektif bagi ikatan kelompok sesama diaspora untuk mengingat tempat asal. Hal ini tergambarkan melalui berbagai karya Indonesia. Berbagai karya, seperti novel, cerpen, film menjadi sebuah media untuk menunjukkan representasi diaspora yang harus berjuang di luar negeri dengan perasaan yang rindu dan selalu teringat tempat asal.
Beberapa film Indonesia mengangkat tema diaspora — kisah perantauan, pencarian jati diri di negeri asing, hingga kerinduan terhadap tanah air. Film-film ini tidak hanya menampilkan dinamika individu yang hidup jauh dari Indonesia, tetapi juga menyoroti kompleksitas identitas, adaptasi budaya, dan hubungan emosional dengan kampung halaman. Salah satu film yang menonjol adalah Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang (2023), yang mengisahkan perjalanan Aurora menempuh studi di London, Inggris. Film ini menggambarkan perjuangan akademik, pekerjaan sambilan, serta rasa rindu yang mendalam terhadap rumah dan keluarga (IDN Times Jogja). Tema serupa juga hadir dalam Ali & Ratu Ratu Queens (2021), di mana Ali mencari ibunya di New York dan bertemu dengan komunitas perempuan Indonesia diaspora yang kemudian menjadi keluarga barunya di negeri orang (IDN Times Jogja).
Sementara itu, Rudy Habibie (2016) menyoroti masa muda B.J. Habibie di Jerman — menggambarkan kehidupan pelajar Indonesia yang berhadapan dengan perbedaan budaya, keterasingan, dan semangat perjuangan di tanah asing (IDN Times Jogja). Dalam konteks sejarah dan politik, film dokumenter Eksil (2022) menampilkan kisah nyata para eksil Indonesia yang hidup di luar negeri dan tak dapat kembali pasca peristiwa politik 1965 (Narasi TV).
Film Women from Rote Island (2023) membawa perspektif pekerja migran: kisah Martha, seorang buruh ilegal yang pulang ke Rote untuk menghadiri pemakaman ayahnya, sambil menanggung trauma dari pengalamannya di luar negeri (Wikipedia). Tak kalah menarik, Negeri Van Oranje menampilkan lima mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda, dengan latar indah berbagai kota Eropa yang menjadi saksi kisah persahabatan dan perjuangan mereka. Keseluruhan film ini menghadirkan potret beragam wajah diaspora Indonesia — dari pelajar, pekerja migran, hingga eksil politik — yang sama-sama mengisahkan perjuangan untuk tetap “Indonesia,” bahkan ketika jauh dari tanah air.
Hal menarik yang terdapat dalam film-film tersebut adalah adanya gastronomi, seni memasak masakan Indonesia) sebagai bentuk kerinduan negara asal, seperti film Ali & Ratu Ratu Queens (2021). Gastronomi digambarkan melalui tokoh-tokoh yang membuat masakan Indonesia, rendang. Lebih jauh, para tokoh mengikuti lomba memasak masakan Indonesia yang dilaksanakan oleh kedutaan besar Indonesia yang ada di Inggris. Penyelenggaraan lomba ini menjadi sebuah representasi bahwa sebagai instansi, pemerintah pun mendukung masyarakatnya untuk mengingat adanya pengingatan kepada negara asalnya.
Tidak hanya dalam scene lomba memasak, tetapi juga adanya impian tokoh untuk membuat restoran masakan Indonesia di Inggris. Hal ini dapat mengingatkan kita pula pada salah satu karya sastra berbentuk novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori, Pulang. Narasi dalam novel tersebut menggambarkan tokoh yang memiliki restoran Indonesia di luar negeri. Restoran ini dibangun atas kerinduannya terhadap Indonesia akibat tidak dapat pulang ke Indonesia karena situasi politik yang dihadapinya. Masakan Indonesia menjadi sebuah representasi kerinduan yang mendalam dan sebagai identitas yang sangat menonjol yang ditunjukkan oleh Leila dalam narasi novel tersebut.
Masakan tidak hanya membicarakan persoalan rasa yang diterima oleh lidah dan perut, tetapi juga berperan sebagai ruang representasi emosi, identitas, dan sejarah kolektif. Dalam konteks diaspora, masakan menjadi bahasa yang mampu menyuarakan kerinduan, nostalgia, bahkan trauma yang tidak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata. Setiap aroma, cita rasa, dan cara penyajian makanan membawa lapisan makna yang kompleks — menghubungkan individu dengan pengalaman masa lalu, tempat asal, serta komunitas budaya yang membentuknya.
Lebih jauh, masakan menjadi arsip budaya yang hidup, menyimpan pengetahuan tentang bahan, teknik, dan nilai-nilai sosial yang diwariskan lintas generasi. Dalam kehidupan diaspora, praktik memasak makanan tradisional seperti rendang, sambal, atau soto bukan sekadar kegiatan domestik, tetapi juga bentuk perlawanan simbolik terhadap asimilasi total budaya asing. Melalui makanan, para perantau mempertahankan identitas, menegosiasikan posisi mereka di lingkungan baru, serta menciptakan ruang sosial di mana “rumah” bisa dihadirkan kembali melalui rasa dan aroma.
Masakan dalam gastronomi dan diaspora di dalam film bukan hanya sebagai pelengkap dalam aspek sinematografi, tetapi juga mampu menjadi sebuah simbol identitas, nostalgia, dan medium penyambung individu perantau dengan tanah air. Gastronomi mampu sebagai elemen pelengkap cerita dan penanda kultural yang memvisualisasikan ingatan, kerinduan, dan negosiasi identitas di tanah asing. Lebih jauh, gastronomi dapat berfungsi menjadi sebuah jembatan antara diaspora dan memori kolektif. Para perantau Indonesia dapat menjaga kontinuitas identitas budaya mereka sekaligus menegosiasikan eksistensi di tataran yang lebih jauh, ranah internasional. Berbagai refleksi atas perjalanan spiritual dan emosional diaspora Indonesia dapat tergambarkan melalui film Indonesia yang memuat gastronomi Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
