Cultural Fusion atau Cultural Confusion? Kajian Kewarganegaraan dalam Mutasi Rasa
Kuliner | 2025-12-03 15:11:15ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara kewarganegaraan dan adaptasi resep kuliner asing ke konteks lokal Indonesia. Latar belakang penelitian didasari oleh tren fusion food yang menimbulkan perdebatan antara inovasi kuliner dan batas etis cultural appropriation. Metode yang digunakan ialah narrative literature review dengan menelaah jurnal terkait gastronomi, identitas budaya, dan adaptasi menu lintas negara. Hasil kajian menunjukkan bahwa adaptasi kuliner global ke rasa lokal merupakan bentuk negosiasi identitas budaya dan kewarganegaraan. Adaptasi yang menghargai budaya asal mencerminkan kewarganegaraan global yang inklusif, sedangkan yang bersifat komersial tanpa konteks budaya berpotensi menimbulkan cultural confusion. Secara keseluruhan, kuliner berperan sebagai ruang dialog antara budaya, identitas, dan etika dalam masyarakat multikultural.
Kata Kunci: kewarganegaraan, adaptasi kuliner, fusion food, identitas budaya, cultural appropriation, gastronomi, inovasi kuliner.
ABSTRACT
This study aims to analyze the relationship between citizenship and the adaptation of foreign culinary recipes into the local Indonesian context. The background of this research is based on the rising trend of fusion food, which has sparked debates between culinary innovation and the ethical boundaries of cultural appropriation. The method used is a narrative literature review by examining journals related to gastronomy, cultural identity, and cross-national menu adaptation. The results show that the adaptation of global cuisine to local tastes represents a negotiation of cultural identity and citizenship. Adaptations that respect the origin culture reflect an inclusive form of global citizenship, while those driven purely by commercial motives without cultural understanding may cause cultural confusion. Overall, the culinary world serves as a dialogic space connecting culture, identity, and ethics within a multicultural society.
Keywords: citizenship, culinary adaptation, fusion food, cultural identity, cultural appropriation, gastronomy, culinary innovation.
PENDAHULUAN
Kuliner merupakan salah satu wujud nyata interaksi budaya dan identitas kewarganegaraan. Dalam era globalisasi, sektor food and beverage (F&B) mengalami perkembangan pesat melalui tren fusion food, perpaduan elemen kuliner dari berbagai negara yang melahirkan cita rasa baru. Fenomena ini tidak hanya memperluas ruang inovasi bagi pelaku kuliner, tetapi juga menimbulkan perdebatan tentang batas etis antara inovasi kuliner dan cultural appropriation. Penelitian oleh Ramadhani. Ramadhani, D. A., Mahala, F. A., dkk (2024) menegaskan bahwa fusion food memiliki potensi besar sebagai media gastrodiplomasi, yang memperkenalkan budaya Indonesia ke ranah global melalui cita rasa lintas budaya. Namun demikian, tantangan utama terletak pada bagaimana menjaga keseimbangan antara kreativitas dan autentisitas agar tidak mengaburkan identitas budaya asal. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji lebih dalam bagaimana adaptasi resep asing terhadap selera lokal dapat mencerminkan nilai-nilai kewarganegaraan, sekaligus menjadi sarana dialog budaya yang inklusif dalam konteks kuliner Indonesia.
Selain menjadi kebutuhan dasar manusia, kuliner juga berfungsi sebagai media ekspresi budaya dan pembentuk identitas kewarganegaraan. Dalam konteks globalisasi, sektor food and beverage (F&B) berkembang pesat melalui tren fusion food yang menggabungkan elemen kuliner lintas budaya. Fenomena ini memperkaya cita rasa dan inovasi, namun sekaligus memunculkan perdebatan antara kreativitas kuliner dan pelestarian budaya lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Fauzi (2023) menunjukkan bahwa kreasi Spaghetti Samtis Jepara sebagai bentuk fusion food Nusantara mencerminkan adaptasi kuliner global yang disesuaikan dengan cita rasa lokal tanpa meninggalkan nilai tradisi daerah. Sejalan dengan itu, Wibawati dan Prabhawati (2021) menegaskan bahwa kuliner berperan penting dalam memperkuat identitas budaya sekaligus sebagai instrumen diplomasi bangsa melalui promosi wisata gastronomi di kancah internasional. Kedua penelitian tersebut menekankan bahwa kuliner tidak hanya sekadar produk konsumsi, tetapi juga sarana komunikasi budaya dan refleksi kewarganegaraan global yang menghargai keberagaman.
Dalam konteks kesetaraan budaya, Roziqoh dan Suparno (2020) menjelaskan bahwa meskipun partisipasi perempuan dalam pendidikan dan ekonomi kreatif di Indonesia terus meningkat, masih terdapat bias peran di daerah dengan budaya patriarki yang membatasi peran perempuan, termasuk dalam sektor kuliner tradisional yang sering dianggap sebagai domain domestik. Sementara itu, Valentina (2023) menemukan bahwa perempuan di daerah pedesaan masih menghadapi hambatan kultural dan ekonomi ketika ingin mengembangkan keterampilan kuliner modern atau melanjutkan pendidikan vokasi di bidang tata boga. Hal ini menunjukkan bahwa isu kesetaraan gender juga relevan dalam konteks dunia kuliner, terutama dalam upaya memperkuat peran perempuan sebagai pelaku inovasi gastronomi.
Dari sisi sosial-ekonomi, Sinambela, Siregar, dan Simanjuntak (2024) mengungkapkan bahwa pelaku usaha kecil di sektor kuliner menghadapi keterbatasan akses terhadap teknologi dan modal usaha, yang berdampak pada rendahnya kemampuan adaptasi terhadap tren fusion food dan pemasaran digital. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pelaku kuliner urban yang memiliki fasilitas modern dan pelaku di daerah yang masih mengandalkan metode tradisional.
Selanjutnya, Putri, Afiyanti, dan Rahayu (2023) menyoroti perlunya pendekatan inklusif dalam pengembangan industri kuliner, termasuk keterlibatan kelompok difabel dan komunitas minoritas dalam pelatihan serta inovasi produk. Menurut Andini (2022), keberhasilan inklusivitas di bidang kuliner memerlukan kolaborasi antara lembaga pendidikan vokasi, pemerintah daerah, dan masyarakat agar semua lapisan warga negara dapat berpartisipasi dalam transformasi gastronomi nasional.
Dalam era digital, Weli, Mukhlasin, dan Sjarief (2023) mengidentifikasi kesenjangan digital (digital divide) yang juga memengaruhi pelaku industri kuliner. Mereka menemukan bahwa pelaku usaha di perkotaan lebih adaptif terhadap teknologi promosi dan penjualan daring dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah terpencil. Kesenjangan ini tidak hanya berpengaruh terhadap distribusi produk kuliner lokal, tetapi juga terhadap keberlanjutan identitas budaya kuliner di era globalisasi.
Secara keseluruhan, berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa dunia kuliner Indonesia berada pada persimpangan antara inovasi global dan pelestarian nilai budaya. Adaptasi resep asing terhadap cita rasa lokal dapat dipahami sebagai bentuk negosiasi antara identitas, etika, dan kewarganegaraan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah bagaimana adaptasi kuliner lintas budaya dapat mencerminkan nilai-nilai kewarganegaraan yang inklusif, memperkuat kesetaraan sosial, serta menjaga keberlanjutan budaya kuliner Indonesia di tengah arus globalisasi.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode narrative literature review, yang bertujuan untuk menelaah dan mensintesis berbagai hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan tema kewarganegaraan, adaptasi kuliner lintas budaya, serta isu cultural appropriateness dalam dunia tata boga dan industri food and beverage (F&B). Metode ini dipilih karena sesuai untuk menggambarkan fenomena sosial-budaya secara mendalam melalui kajian teoretis dan interpretatif berdasarkan sumber ilmiah yang telah terpublikasi.
Menurut Mahesa, D. R., Djen Amar, S. C., dan Rukmana, E. N. (2025), metode ini digunakan untuk menelaah tren penelitian dengan menganalisis berbagai sumber akademik secara sistematis guna menemukan pola, kesenjangan, serta arah penelitian di masa depan.. Sementara itu, Baumeister,, Roy dan Leary, Mark (1997) menjelaskan bahwa narrative literature review memungkinkan peneliti untuk membangun pemahaman konseptual dengan menyusun narasi komprehensif berdasarkan hasil penelitian terdahulu, tanpa melakukan pengujian empiris secara langsung. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada penelusuran, analisis, dan interpretasi literatur yang mendukung kerangka konseptual mengenai hubungan antara adaptasi kuliner dan nilai-nilai kewarganegaraan.
Tahapan penelitian dilakukan melalui beberapa langkah sistematis. Pertama, pengumpulan literatur dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber ilmiah melalui portal Google Scholar, SINTA, dan Garuda. Kata kunci yang digunakan meliputi “fusion food”, “adaptasi kuliner”, “kewarganegaraan dan budaya”, serta “cultural appropriation dalam gastronomi”. Literatur yang dipilih dibatasi pada periode publikasi antara tahun 2019–2025 untuk menjamin kebaruan dan relevansi data.
Kedua, seleksi dan evaluasi literatur dilakukan untuk menentukan kesesuaian antara hasil penelitian dan fokus kajian. Artikel yang dianalisis meliputi karya Dewi dan Fauzi (2023), Wibawati dan Prabhawati (2021), Roziqoh dan Suparno (2020), Valentina (2023), Sinambela, Siregar, dan Simanjuntak (2024), Putri, Afiyanti, dan Rahayu (2023), Andini (2022), serta Weli, Mukhlasin, dan Sjarief (2023). Seluruh artikel tersebut dinilai berdasarkan relevansi teoretis, metodologis, dan kontribusinya terhadap pemahaman hubungan antara kuliner, budaya, dan kewarganegaraan.
Ketiga, analisis data dilakukan dengan teknik analisis isi (content analysis) yang melibatkan tiga tahap utama: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pada tahap reduksi, peneliti menyeleksi informasi yang relevan dengan tema adaptasi kuliner dan nilai-nilai kewarganegaraan. Tahap penyajian dilakukan dalam bentuk uraian naratif yang menggambarkan keterkaitan antar konsep, sedangkan tahap penarikan kesimpulan dilakukan melalui proses interpretasi mendalam terhadap pola, kesamaan, dan perbedaan yang ditemukan dalam literatur.
Keempat, dilakukan sintesis tematik untuk mengidentifikasi benang merah antara berbagai penelitian yang dianalisis. Sintesis ini digunakan untuk membangun kerangka konseptual mengenai bagaimana adaptasi resep lintas budaya dapat menjadi wujud kewarganegaraan global yang inklusif serta sarana pelestarian identitas kuliner nasional.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil sintesis terhadap berbagai sumber menunjukkan bahwa adaptasi kuliner lintas budaya bukan hanya proses modifikasi cita rasa, tetapi juga bagian dari konstruksi identitas kewarganegaraan dan kebudayaan. Dewi dan Fauzi (2023) menjelaskan bahwa kreasi Spaghetti Samtis Jepara sebagai bentuk fusion food Nusantara merupakan manifestasi dari kemampuan masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan pengaruh global tanpa kehilangan jati diri lokal. Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia memandang kuliner tidak sekadar sebagai kebutuhan konsumsi, melainkan sebagai bentuk ekspresi budaya dan kebanggaan nasional. Pandangan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wibawati dan Prabhawati (2021) yang menegaskan bahwa kuliner memiliki fungsi strategis sebagai media diplomasi budaya yang dapat memperkuat citra bangsa di kancah internasional. Dalam konteks ini, adaptasi makanan asing mencerminkan praktik kewarganegaraan kultural, yakni keterlibatan warga negara dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai budaya di tengah arus globalisasi.
Lebih jauh, Hutama (2021) menjelaskan bahwa pengembangan gastronomi yang menggabungkan tradisi dan inovasi berperan penting dalam memperkuat posisi Indonesia di ranah diplomasi budaya global. Melalui inovasi kuliner yang tetap berpijak pada kearifan lokal, masyarakat dapat mempromosikan keberagaman budaya Indonesia sekaligus membangun citra kewarganegaraan yang inklusif dan terbuka terhadap perubahan. Dengan demikian, adaptasi kuliner menjadi ruang dialog antara tradisi dan modernitas yang tidak hanya memperkaya kreativitas, tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap identitas nasional.
Dari sisi sosial, peran perempuan dalam dunia kuliner juga berhubungan erat dengan konsep kewarganegaraan yang berkeadilan. Roziqoh dan Suparno (2020) menegaskan bahwa di daerah dengan budaya patriarki yang kuat, perempuan masih sering diposisikan sebagai pelaku domestik, bukan sebagai inovator kuliner. Namun, penelitian Valentina (2023) menunjukkan adanya pergeseran paradigma, di mana perempuan di wilayah pedesaan mulai menjadikan keterampilan kuliner sebagai sarana pemberdayaan ekonomi dan ekspresi kreatif. Partisipasi aktif perempuan dalam industri food and beverage menunjukkan bahwa kuliner tidak hanya menyangkut identitas budaya, tetapi juga menjadi instrumen sosial yang mendorong kesetaraan gender dan kemandirian ekonomi. Dengan demikian, kewarganegaraan dalam dunia kuliner dapat dimaknai sebagai praktik partisipatif yang melibatkan semua kelompok masyarakat tanpa memandang gender maupun latar sosial.
Dari aspek ekonomi, kesenjangan antara pelaku kuliner di perkotaan dan pedesaan masih menjadi hambatan utama dalam pengembangan inovasi kuliner. Sinambela, Siregar, dan Simanjuntak (2024) menemukan bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi dan modal menyebabkan pelaku usaha di daerah tertinggal sulit beradaptasi dengan tren fusion food dan pemasaran digital. Hasil penelitian Weli, Mukhlasin, dan Sjarief (2023) juga menegaskan adanya kesenjangan digital yang signifikan, di mana pelaku usaha di kota besar lebih mampu mengoptimalkan platform daring untuk promosi dan pengembangan produk. Kondisi ini menunjukkan bahwa inovasi kuliner yang berkelanjutan membutuhkan dukungan kebijakan yang memperhatikan keadilan ekonomi dan pemerataan akses terhadap teknologi, pendidikan vokasi, dan sumber daya produksi.
Selain itu, aspek etika dalam adaptasi kuliner menjadi perhatian penting. Rian (2023) menekankan bahwa adaptasi terhadap selera lokal harus dilakukan dengan tetap menghormati budaya asal agar tidak menimbulkan kesan cultural appropriation. Penggunaan bahan, simbol, dan nama masakan harus mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang melekat pada masyarakat asalnya. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Mahesa, Djen Amar, dan Rukmana (2025) yang menegaskan bahwa praktik adaptasi budaya, termasuk kuliner, harus berlandaskan pada prinsip tanggung jawab etis dan kesadaran global. Dengan demikian, inovasi kuliner yang baik bukan sekadar menghasilkan produk baru, melainkan juga menumbuhkan sikap saling menghormati antarbudaya sebagai bagian dari pembelajaran kewarganegaraan global.
Secara keseluruhan, hasil kajian dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa adaptasi kuliner lintas budaya telah menjadi simbol dialog antara lokalitas dan globalitas. Kuliner tidak lagi sekadar ruang eksplorasi cita rasa, tetapi juga arena partisipasi kewarganegaraan yang mencerminkan nilai etika, kreativitas, dan kebersamaan. Proses ini memperkuat gagasan bahwa melalui kuliner, warga negara dapat mengekspresikan identitasnya secara kreatif, mengedepankan toleransi budaya, dan berkontribusi terhadap diplomasi bangsa di kancah internasional.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai literatur yang dianalisis, dapat disimpulkan bahwa adaptasi kuliner lintas budaya memainkan peran penting dalam memperkuat kesadaran kewarganegaraan dan menjaga keberlanjutan budaya nasional. Inovasi seperti fusion food tidak hanya mencerminkan kreativitas gastronomi, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat identitas bangsa dan memperluas diplomasi budaya. Dewi dan Fauzi (2023) menegaskan bahwa integrasi rasa lokal ke dalam hidangan global merupakan bentuk ekspresi budaya yang menghormati tradisi, sedangkan Wibawati dan Prabhawati (2021) menyoroti pentingnya kuliner sebagai instrumen diplomasi budaya yang memperkenalkan karakter bangsa melalui cita rasa.
Selain aspek budaya, dimensi sosial dan ekonomi juga turut membentuk makna kewarganegaraan dalam dunia kuliner. Roziqoh dan Suparno (2020) serta Valentina (2023) menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan dalam industri kuliner merupakan langkah penting menuju kesetaraan gender dan partisipasi ekonomi yang lebih luas. Sementara itu, Sinambela, Siregar, dan Simanjuntak (2024) serta Weli, Mukhlasin, dan Sjarief (2023) menyoroti perlunya pemerataan akses terhadap teknologi dan modal agar pelaku kuliner di berbagai daerah dapat berinovasi secara berkelanjutan.
Dari sisi etika, Rian (2023) dan Mahesa, Djen Amar, dan Rukmana (2025) menekankan bahwa adaptasi kuliner harus dilakukan dengan memperhatikan cultural appropriateness, yakni penghormatan terhadap budaya asal yang diadaptasi. Hal ini penting agar inovasi kuliner tidak hanya menghasilkan produk baru, tetapi juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial dan penghargaan terhadap keberagaman budaya.
Secara keseluruhan, adaptasi kuliner di Indonesia dapat dipandang sebagai refleksi kewarganegaraan kultural yang menggabungkan nilai-nilai lokal, inovasi global, serta tanggung jawab etis. Dengan memperkuat prinsip inklusivitas, kesetaraan, dan penghormatan terhadap perbedaan budaya, dunia kuliner Indonesia berpotensi menjadi sarana pembentukan karakter warga negara yang kreatif, toleran, dan berdaya saing dalam konteks global.
DAFTAR PUSTAKA
Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1997). Writing narrative literature reviews. Review of General Psychology, 1(3), 311–320. https://doi.org/10.1037//1089-2680.1.3.311
Dewi, K., & Fauzi, S. A. (2023). Kreasi spaghetti SAMTIS Jepara Sebagai Fusion Food Dalam Peluang usaha home industry. Service Management Triangle: Jurnal Manajemen Jasa, 5(1), 39–47. https://doi.org/10.51977/jsj.v5i1.1250
Mahesa, D. R., Amar, S. C. D., & Rukmana, E. N. (2025). Informatio: Journal of Library and Information Science. Penelitian Pengembangan Koleksi Perpustakaan Pada Database Google Scholar: Narrative Literature Review, 5(1), 67–80. https://doi.org/10.24198/inf
Ramadhan, K. (2021). Gastrodiplomasi Sebagai sebuah strategi Indonesia Dalam Memperkenalkan Budaya Kuliner Di Perancis. Global and Policy Journal of International Relations, 9(1). https://doi.org/10.33005/jgp.v9i1.2345
Ramadhani, D. A., Mahala, F. A., Putri, I. S., Haqqi, R. D., & S. (2024). Pengaruh Fusion Food terhadap Kuliner Nusantara sebagai Media Gastrodiplomasi Global. Jurnal Pendidikan Tambusai , 8(3), 45052–45058. https://doi.org/10.31004/jptam
Wibawati, D., & Prabhawati, A. (2021). Upaya Indonesia untuk mempromosikan wisata Kuliner Sebagai Warisan Budaya Dunia. Journal of Tourism and Creativity, 5(1), 36. https://doi.org/10.19184/jtc.v5i1.21108
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
