Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Najamuddin Khairur Rijal

Dua Tahun Perang Gaza

Politik | 2025-10-03 13:07:14

Dua tahun sudah, sejak 7 Oktober 2023, dunia menyaksikan perang di Gaza. Perang yang bermula dari serangan Hamas ke Israel, kemudian berlanjut menjadi invasi brutal Israel yang tidak terkendali dengan korban sipil yang terus bertambah.

Tanggal 7 Oktober harus dicatat dalam sejarah sebagai penanda betapa peradaban manusia modern dengan segala jargon hak asasi manusia dan kemajuan teknologi, ternyata gagal menangani dan menyelesaikan tragedi kemanusiaan paling nyata di depan mata. Bahkan solidaritas warga dunia, warganet (netizen) dan ratusan negara tidak juga membuat Israel berhenti.

Dalam dua tahun ini, Gaza telah menjadi simbol luka peradaban. Ratusan ribu rumah hancur, puluhan ribu nyawa tak berdosa melayang, dan lebih dari dua juta warga hidup dalam kondisi pengungsian tanpa kepastian masa depan. Sementara itu, dunia internasional menanggapi dengan nada yang sama, yaitu seruan gencatan senjata, resolusi di Dewan Keamanan PBB, disusul veto Amerika Serikat, dan akhirnya kembali pada sunyi, lalu Gaza tetap membara.

Pengakuan banyak negara, terutama negara-negara Eropa, pada Sidang Umum PBB ke-80 akhir September lalu memberi harapan. Tapi, selama Amerika Serikat masih terus memiliki kuasa untuk menggunakan hak vetonya, harapan akan kemerdekaan Palestina tetap akan kandas.

Filsuf politik ternama Hannah Arendt dalam gagasan banality of evil menyebut bahwa kejahatan besar seringkali berlangsung bukan karena monster yang mengerikan. Tetapi karena rutinitas birokrasi yang dingin. Perang Gaza adalah bukti paling nyata betapa pembunuhan massal berjalan rapi, tercatat sebagai statistik, terlaporkan dan disiarkan lewat banyak media, dan itu tetap menjadi angka sebab dunia tetap melanjutkan hidup seolah itu adalah hal biasa.

Sejarah Tanpa Sintesis

Filsuf Jerman Friedrich Hegel pernah menekankan bahwa sejarah bergerak melalui dialektika: dari tesis, melahirkan antitesis, lalu menghasilkan sintesis. Namun, tragedi kemamusiaan di Gaza menunjukkan siklus sejarah yang mandek. Tesis kekerasan selalu bertemu antitesis kekerasan, tanpa pernah melahirkan sintesis perdamaian. Siklus kekerasan terus berulang hingga melahirkan lingkaran setan (vicious cycle).

Setiap kali ada celah perundingan, segera ditutup dengan rudal dan serangan senjata Israel. Setiap kali ada janji rekonstruksi, segera diruntuhkan oleh bombardir berikutnya. Setiap kali ada resolusi, segera diveto oleh kekuatan negara besar pendukung Israel. Pada akhirnya, Gaza adalah sejarah yang berjalan tanpa arah, lingkaran kekerasan tanpa putus.

Karl Marx, filsuf Jerman paling berpengaruh, mengingatkan bahwa ideologi adalah alat untuk membenarkan dominasi. Israel membungkus aksinya dengan ideologi keamanan nasional, demi melindungi rakyatnya, demi membela diri dari apa yang mereka sebut sebagai teroris, bahkan dengan argumen teologis tentang Tanah yang Dijanjikan. Di sisi lain, penderitaan warga Palestina, yang bahkan telah berlangsung puluhan tahun, direduksi sekadar sebagai efek samping perang. Di sinilah dominasi ideologi bekerja, bahwa yang kuat mendefinisikan narasi, sementara yang lemah kehilangan hak untuk menyebut penderitaannya sebagai tragedi kemanusiaan.

Filsuf Prancis Michel Foucault melangkah lebih jauh dengan gagasan biopolitik. Menurutnya, kekuasaan modern tidak hanya menguasai wilayah, tetapi juga tubuh manusia. Israel bukan hanya mengatur hidup dan mati warga Gaza dengan senjata, tetapi juga dengan apa yang dimakan. Perbatasan dikontrol, aliran listrik dan air diatur, suplai pangan lewat bantuan warga dunia bahkan disaring. Terbaru kapal Greta Thunberg yang membawa misi kemanusiaan dicegat Israel. Potret ini menunjukkan bagaimana kekuasaan modern menciptakan “mesin pengendali kehidupan,” yang oleh Foucault disebut sebagai biopower, menjadikan Gaza sebagai prison camp terbesar di dunia.

Lebih lanjut, apa yang terjadi pada warga Gaza sejalan dengan gambaran filsuf Italia Giorgio Agamben, yang menyebut konsep homo sacer. Dalam hukum Romawi Kuno, dengan status homo sacer, manusia diakui sebagai manusia, tetapi kemanusiaan mereka dirampas dalam tatanan sosial-politik. Dengan kata lain, mereka manusia yang bisa dibunuh tetapi tidak bisa disebut korban. Warga Gaza berada pada posisi itu, mereka bisa dibinasakan, tapi tidak pernah mendapatkan status hukum sebagai korban sah di mata dunia internasional. Gaza seperti menjadi ruang pengecualian (state of exception), di mana hukum internasional seolah berhenti berlaku, dan nyawa menjadi sesuatu yang tak berharga.

Dunia yang Membisu

Lebih dari itu, ironi terbesar sejatinya bukan hanya di Gaza, tetapi pada dunia internasional yang membisu. Amerika Serikat yang pandai mengajarkan demokrasi dan HAM justru memasok senjata dan dukungan finansial yang digunakan dalam perang ini. Uni Eropa bersuara lantang soal Ukraina, tetapi canggung bersuara lantang soal Gaza. Adapun negara-negara Arab terjebak dalam politik dua wajah. Mereka berbicara tentang solidaritas Palestina, tetapi pada saat yang sama tetap “menjaga” hubungan dengan Israel maupun sekutu-sekutunya. Disadari atau tidak, birokrasi internasional yang lamban dan penuh kalkulasi politik justru menjadi bagian dari mesin kekerasan itu sendiri.

Dua tahun perang Gaza juga memberikan kita pelajaran betapa dunia ini adalah ahli dalam berpura-pura. Kita punya PBB dan Dewan Keamanan-nya yang diberi mandat untuk menjamin perdamaian, tetapi justru menjadi panggung pertunjukan veto. Kita punya media global yang konon netral, tetapi sering kali memberitakan Gaza secara tidak berimbang. Kita punya masyarakat digital (netizen) yang punya kekuatan untuk membuat isu menjadi viral, tetapi tragedi Gaza kerapkali tersisih oleh tren hiburan sesaat.

Selama dua tahun, Gaza telah menjadi cermin bahwa bukan hanya kegagalan Israel atau Hamas untuk mewujudkan gencatan senjata dan menapak jalan damai. Tetapi juga kegagalan kita semua sebagai komunitas global yang membiarkan penderitaan mereka berlangsung terus-menerus. Dua tahun sejatinya bukan waktu singkat. Jika ia bayi yang lahir pada Oktober 2023, maka kini ia sudah belajar berjalan dan belajar berbicara. Namun, di Gaza, bayi itu tak pernah sempat merayakan ulang tahunnya sebab namanya ada di daftar panjang korban.

Selama dunia masih membiarkan hukum internasional tunduk pada veto, selama moralitas masih kalah oleh kalkulasi geopolitik dan kepentingan pragmatis, perang ini tidak akan pernah benar-benar berakhir. Mungkin, Gaza telah memaksa kita untuk bertanya, apakah peradaban umat manusia modern ini benar-benar layak disebut beradab? Sejarah yang mencatat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image