Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Makan Bergizi dan Cermin Tata Kelola Bangsa: Antara Proyek, Korupsi, dan DNA Gotong Royong

Politik | 2025-10-02 21:21:20
MBG (Photo Republika)

Program penyediaan makan bergizi untuk rakyat, khususnya anak-anak, adalah agenda mulia yang didasarkan pada visi perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penanggulangan masalah gizi krusial seperti stunting. Namun, di tengah gemuruh niat baik ini, program pangan publik seringkali menjadi cermin buram dari tata kelola bangsa kita yang masih dibayangi oleh tantangan klasik: nepotisme, korupsi, dan proyekisme—sebuah penyakit struktural yang mengancam efektivitas setiap kebijakan.

Ketika Niat Mulia Tersandera "Proyek"

Pelaksanaan program besar dengan alokasi anggaran fantastis kerap memunculkan praktik-praktik yang bertentangan dengan semangat pelayanan publik. Isu yang sering mengemuka adalah:

Pertama, Nepotisme dan Konflik Kepentingan. Penunjukan mitra pelaksana, penyedia barang, atau yayasan yang tiba-tiba muncul acapkali terindikasi memiliki afiliasi dengan aktor politik atau kelompok kekuasaan. Hal ini menciptakan akses preferensial yang mengabaikan prinsip meritokrasi dan transparansi, sehingga berpotensi menyerahkan amanah publik kepada pihak yang kurang kompeten namun memiliki kedekatan kuasa.

Kedua, Korupsi dan Manipulasi Proyek. Anggaran besar menjadi magnet bagi potensi penyelewengan. Mulai dari praktik mark-up harga, pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang tidak transparan tanpa dokumentasi terbuka, hingga penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi demi meraup keuntungan pribadi. Program pangan yang bertujuan mengatasi gizi justru dapat berujung pada kerugian keuangan negara dan ancaman kesehatan penerima manfaat, seperti kasus keracunan makanan.

Ketiga, Lahirnya Yayasan Dadakan. Program dengan dana masif seringkali memicu pembentukan entitas-entitas, termasuk yayasan atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) "dadakan" yang hadir tanpa rekam jejak yang jelas, namun berhasil mendapatkan kontrak pengadaan besar. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dari tujuan utama program (menyehatkan rakyat) menjadi sasaran profit bagi segelintir elite.

Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan publik—meskipun berniat baik—dapat menjadi medan di mana masalah tata kelola bangsa seperti inefisiensi dan penyalahgunaan wewenang menemukan ruang subur, merusak kepercayaan publik, dan menggagalkan capaian program.

Tujuan yang Baik, Harus Dicapai dengan Cara yang Baik: Menghindari Efek Kobra

Filosofi tata kelola mengajarkan bahwa a good end does not justify a bad means. Tujuan yang baik, yaitu menyediakan makan bergizi untuk membangun SDM unggul, harus dicapai dengan cara yang baik, yaitu melalui proses yang transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi serta nepotisme. Program pangan tidak boleh sekadar menjadi sarana politik atau lahan proyek, tetapi harus menjadi gerakan nasional yang diemban dengan integritas moral tertinggi.

Jika sebuah kebijakan publik, meskipun didorong oleh niat mulia, diterapkan dengan insentif yang salah dan tata kelola yang buruk, ia berisiko memunculkan Efek Kobra (Cobra Effect). Istilah ini merujuk pada fenomena di mana solusi yang diupayakan untuk mengatasi suatu masalah justru memperburuk masalah itu sendiri, atau bahkan menciptakan masalah baru. Asal-usul istilah ini adalah anekdot di India kolonial, di mana pemerintah Inggris memberikan hadiah untuk setiap kobra mati demi mengurangi populasi ular beracun; namun, warga yang cerdik malah menangkap kobra, membudidayakannya, dan kemudian menyerahkan kobra-kobra hasil ternak tersebut demi hadiah uang.

Dalam konteks program Makan Bergizi, Efek Kobra dapat termanifestasi dalam beberapa skenario berbahaya. Pertama, insentif finansial yang terlalu fokus pada kuantitas pengadaan (mencapai target jumlah porsi) tanpa pengawasan kualitas yang ketat, akan mendorong oknum untuk memotong biaya (cutting corners). Mereka akan menggunakan bahan pangan termurah, bahkan yang tidak layak, untuk memaksimalkan margin keuntungan proyek. Akibatnya, alih-alih mengatasi stunting, program ini hanya menyediakan makanan yang ada tetapi tidak bergizi, bahkan berpotensi menyebabkan penyakit, merugikan kesehatan penerima manfaat.

Kedua, sentralisasi pengadaan yang didorong oleh skala besar anggaran akan menciptakan insentif bagi kelompok politik atau usaha tertentu untuk memonopoli rantai pasok. Ketika tender hanya dimenangkan oleh yayasan atau kontraktor yang terafiliasi dengan kekuasaan (nepotisme), tujuan awal untuk memberdayakan petani dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal menjadi terabaikan. Hal ini bukan hanya menggagalkan multiplier effect ekonomi di tingkat lokal, tetapi juga menciptakan ketergantungan pada segelintir pemasok yang rawan melakukan manipulasi harga (mark-up).

Ketiga, kebijakan yang gagal memperhitungkan reaksi sistem secara keseluruhan seringkali merusak mekanisme sosial yang sudah ada. Jika dana besar dialokasikan untuk program baru, ia berisiko mengeringkan sumber daya dan perhatian yang seharusnya ditujukan pada program pencegahan yang lebih mendasar, seperti penguatan Posyandu, edukasi gizi bagi ibu hamil, atau sanitasi lingkungan. Dengan kata lain, fokus yang terlalu besar pada “pengobatan” (makan siang) dapat membuat “pencegahan” (Posyandu) terpinggirkan, sehingga laju stunting tidak tertanggulangi dari akarnya. Oleh karena itu, jika cara yang digunakan cacat, maka hasil akhirnya, bahkan jika berhasil secara fisik, akan meninggalkan luka struktural berupa korupsi yang makin mengakar dan munculnya masalah baru yang lebih kompleks.

Gotong Royong: DNA Bangsa dan Solusi Berbasis Komunitas

Di sisi lain, Indonesia memiliki DNA kultural yang kuat, yaitu Gotong Royong dan Kebersamaan. Nilai luhur ini, yang merupakan perasan tunggal dari Pancasila, adalah kunci untuk membangun masa depan bangsa yang lebih berintegritas dan sejahtera. Gotong royong mengajarkan bahwa masalah kolektif diselesaikan secara kolektif, dengan mengedepankan kerja sama tanpa pamrih di atas urusan untung-rugi proyek.

Sejarah mencatat, banyak masalah di tingkat akar rumput justru selesai bukan diawali dengan urusan APBN atau APBD, melainkan dari inisiatif dan swadaya masyarakat. Desa-desa berhasil membangun infrastruktur, menanggulangi bencana, hingga mengatasi permasalahan sosial melalui semangat kebersamaan yang tidak terikat oleh birokrasi yang rumit dan godaan korupsi.

Namun, semangat reformasi dan desentralisasi yang terlalu berorientasi pada formalitas anggaran dan kelembagaan formal telah membuat kita lalai melestarikan infrastruktur sosial ini:

Pertama, Siskamling dihilangkan, muncul begal. Hilangnya sistem keamanan lingkungan (Siskamling) yang dibangun dari swadaya dan partisipasi warga digantikan oleh profesionalisme keamanan yang mahal dan kurang terintegrasi dengan masyarakat, sehingga menciptakan celah kerawanan baru.

Kedua, Posyandu dihilangkan, muncul stunting. Kurangnya dukungan dan perhatian terhadap Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yang merupakan ujung tombak kesehatan berbasis relawan masyarakat, menyebabkan program pencegahan gizi buruk dan pemantauan tumbuh kembang anak melemah. Akibatnya, masalah stunting—yang seharusnya ditangani sejak ibu hamil dan balita—kembali mencuat sebagai isu nasional.

Menghidupkan Kembali Kekuatan Akar Rumput

Untuk memastikan program makan bergizi benar-benar menyentuh sasaran dan terbebas dari jerat "proyek", kita perlu kembali mengaktifkan dan memberdayakan infrastruktur sosial berbasis gotong royong:

Pertama, Dapur Komunitas Berbasis Lokal. Alih-alih melibatkan kontraktor besar atau yayasan yang terafiliasi politik, program pangan seharusnya memberdayakan dapur-dapur lokal, katering rumahan, dan ibu-ibu PKK/Posyandu di tingkat RW/Desa. Mekanisme ini memastikan perputaran ekonomi terjadi di tingkat komunitas, kualitas makanan lebih mudah diawasi, dan semangat seva (pelayanan tanpa pamrih) lebih dominan daripada semangat profit.

Kedua, Transparansi dan Pengawasan Partisipatif. Pengawasan harus dilakukan secara terbuka oleh warga, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan setempat. Transparansi anggaran hingga kualitas bahan pangan yang digunakan harus menjadi kewajiban, sejalan dengan prinsip Gotong Royong yang berlandaskan saling percaya dan peduli.

Gotong Royong adalah cetak biru masa depan bangsa. Ia bukan sekadar konsep, melainkan model tata kelola alternatif yang menempatkan kebersamaan, integritas, dan kearifan lokal sebagai fondasi, sekaligus menjadi tameng yang kuat melawan virus nepotisme, korupsi, dan proyekisme yang selama ini menghambat kemajuan.

Jika program makan bergizi berhasil dilaksanakan dengan semangat ini, ia bukan hanya akan menyehatkan anak-anak, tetapi juga akan menjadi simbol reformasi sejati tata kelola bangsa yang kembali pada DNA aslinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image