Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nisrina Khansa Adhira

Sok Inggris atau Kreatif? Tren Komunikasi Code-Mixing oleh Generasi Z di Era Global

Sastra | 2025-10-02 18:17:03
Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Di kampus, ruang nongkrong, atau kafe-kafe di kota besar, khususnya Jakarta Selatan, percakapan anak muda sering terdengar seperti ini:

“Gue tuh literally capek banget, but you know life must go on, kan?”

Bagi sebagian orang, bahasa campur-campur ini terdengar lucu atau keren. Tapi bagi yang lain, membingungkan bahkan dianggap sok gaul. Fenomena code-mixing ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi kini semakin menonjol di era digital. Bukan hanya sekadar gaya bicara, melainkan cermin perubahan sosial, identitas generasi, dan bahkan tantangan baru bagi teknologi bahasa.

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga penanda identitas sosial. Cara seseorang berbicara sering kali menjadi cermin dari siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan kelompok sosial mana yang ingin ia tunjukkan kepada orang lain. Di kota besar seperti Jakarta, fenomena ini terlihat sangat jelas dalam praktik bahasa campur-campur (code-mixing) di kalangan anak muda.

Secara sederhana, code-mixing adalah praktik mencampur dua atau lebih bahasa dalam satu percakapan atau bahkan dalam satu kalimat. Bentuknya bisa berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa dari bahasa lain ke dalam struktur bahasa utama. Menurut Muysken (2000), code-mixing berbeda dengan code-switching, karena terjadi di dalam level kalimat (intra-sentential), bukan antar kalimat. Dalam konteks Indonesia, code-mixing biasanya berupa Bahasa Indonesia yang disisipi kata atau frasa dari bahasa lain, seperti Bahasa Inggris, Sunda, atau Jawa.

Fenomena inilah yang kemudian banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari anak muda perkotaan. Menurut penelitian Sukma (2020) dalam prosiding Konferensi Linguistik Atma Jaya, remaja perkotaan cenderung meninggalkan bahasa daerah dalam interaksi sehari-hari karena dianggap “kurang prestise”, bahkan bisa memunculkan stigma “kampungan”. Akibatnya, Bahasa Indonesia standar menjadi pilihan utama di ruang publik, namun dengan bumbu Bahasa Inggris yang kian menonjol. Sebagai gantinya, mereka memilih campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Bahasa Inggris dipandang lebih modern, keren, bahkan intelektual. Fenomena ini sangat jelas di Jakarta Selatan, di mana anak muda sering mencampurkan Bahasa Indonesia dengan istilah Inggris dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, “Gue nggak expect bakal se-crowded ini, sumpah.” Dalam kalimat ini, kata kunci dalam Bahasa Inggris (expect, crowded) dimasukkan ke dalam struktur kalimat Bahasa Indonesia, dan terdengar sangat natural di telinga anak muda perkotaan.

Dari sudut pandang identitas sosial, praktik ini bisa dibaca dalam beberapa hal:

1. Simbol Keanggotaan Komunitas: Menggunakan bahasa campur-campur adalah cara untuk menunjukkan bahwa sesorang termasuk dalam kelompok tertentu, yakni komunitas anak muda yang "melek global" dan dekat dengan budaya populer internasional. Dengan berbicara bahasa campur, mereka merasa in-group dengan teman sebaya yang juga paham kode tersebut.

2. Pembeda Status Sosial: Bahasa menjadi pembeda antara "yang ngerti" dan "yang nggak ngerti". Remaja yang bisa mengikuti percakapan campuran sering dianggap lebih gaul, keren, atau modern. Sebaliknya, mereka yang tidak terbiasa kadang dianggap kurang up-to-date. Di sinilah bahasa berperan sebagai alat pembeda kelas sosial dan gaya hidup.

3. Alat Pencitraan Diri (Self-branding): Bagi banyak anak muda, khususnya di media sosial, penggunaan bahasa campur-campur menjadi bagian dari personal branding. Caption Instagram atau cuitan X dengan gaya campuran bisa memberi kesan lebih global, stylish, dan sesuai dengan citra diri yang ingin ditampilkan.

Seperti dijelaskan oleh Heryanto (2019) dalam Popular Culture in Indonesia, bahasa sering menjadi arena perebutan identitas, di mana anak muda membentuk citra diri mereka melalui pilihan kata. Fenomena ini pada akhirnya menunjukkan bahwa bahasa campur-campur bukan sekadar “gaya bicara sok Inggris”, melainkan alat simbolis untuk membangun identitas sosial. Ia bisa menjadi tanda keterhubungan dengan dunia global, tapi sekaligus juga menegaskan garis batas sosial di dalam masyarakat. Fenomena bahasa gaul sebenarnya bukan kali pertama terjadi dalam sejarah Bahasa Indonesia.

Sejak dulu, anak muda selalu punya kecenderungan untuk menciptakan bahasa sendiri sebagai tanda kebebasan, identitas, sekaligus perlawanan terhadap bahasa baku yang formal dan dianggap terlalu kaku. Generasi sebelumnya juga punya bahasa gaul khas:

- Era 1980an - 1990-an: Bahasa prokem, yakni bahasa gaul jalanan yang banyak dipakai oleh anak muda Jakarta. Kosakatanya seperti bokap-nyokap (ayah-ibu), bokis (bohong), atau kece (keren). Bahasa ini banyak dipakai di warung, sekolah, atau tongkrongan anak muda dan menjadi simbol solidaritas.

- Era 2000-an: Memasuki era ponsel dan SMS, muncul fenomena bahasa alay. Anak muda kala itu mengutamakan gaya menulis cepat, penuh singkatan, dengan huruf besar-kecil campur, bahkan memakai angka sebagai pengganti huruf. Contohnya, “Qta temenan 4ever y4h, jgn lup4 smilezzz :)”, “AkUh cYinta KmU sLamaNyA”. Bahasa ini sering dipandang sebelah mata oleh orang tua atau kalangan akademis, karena dianggap merusak Bahasa Indonesia. Namun, bagi generasi mudanya, gaya tulis alay adalah simbol kreativitas sekaligus hasil adaptasi dengan keterbatasan karakter SMS. Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana teknologi SMS dan media sosial awal seperti Friendster, Facebook, dan Yahoo Messenger membentuk gaya bahasa baru.

- Era 2010-an hingga saat ini: Memasuki era globalisasi digital, tren bahasa anak muda berubah drastis. Anak muda urban, khususnya di Jakarta Selatan, mulai mempopulerkan bahasa campur-campur, atau yang akrab disebut bahasa Jaksel. Ciri khasnya adalah mencampur Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris, baik kosakata maupun frasa lengkap. Misalnya, “Honestly, gue tuh lagi burnout banget.” Berbeda dengan bahasa prokem atau alay yang fokus pada kosakata lokal atau gaya tulisan, bahasa Jaksel mencerminkan perpaduan budaya global dan lokal. Anak muda bukan hanya mengambil kata-kata Inggris, tetapi juga menyerap pola pikir, ekspresi emosional, bahkan gaya komunikasi Barat yang masuk melalui film, musik, YouTube, TikTok, hingga pendidikan internasional.

Meskipun populer dengan label “bahasa Jaksel”, fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta Selatan. Di kota besar lain seperti Bandung, anak muda sering menggabungkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari. Misalnya ketika di tongkrongan atau kampus terdengar kalimat seperti, “Santuy atuh, nanti we kelar,” atau “Aing mah ngikut aja, bebas we,” yang mencampur bahasa gaul Indonesia dengan partikel Sunda seperti “mah” dan “we”. Sama seperti Bandung, gaya bahasa campur di Surabaya biasanya muncul dari percampuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa Jawa dialek Suroboyoan, misalnya, “Aku males banget rek, tugas numpuk pol. Rasane pengin turu ae seharian.” Kata seperti “rek”, “pol”, dan “ae” diselipkan begitu saja dalam kalimat berbahasa Indonesia. Fenomena di Bandung dan Surabaya memperlihatkan bahwa code-mixing tidak hanya identik dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris seperti di Jakarta. Di banyak kota besar, praktik ini justru melibatkan bahasa daerah. Bagi anak muda, mencampur Bahasa Indonesia dengan Sunda atau Jawa bukan hanya cara komunikasi, tapi juga strategi untuk merawat identitas lokal sekaligus menegosiasikan diri dengan modernitas perkotaan.

Ada beberapa faktor pendorong munculnya bahasa campur, yaitu:

1. Globalisasi dan Pop Culture: Pengaruh musik Barat, film Hollywood, hingga budaya internet global membuat Bahasa Inggris semakin akrab di generasi Z, sehingga Bahasa Inggris hadir bukan sekadar mata pelajaran, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.

2. Media Sosial: Platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan X memperkuat tren bahasa campur. Caption foto sering dibuat bilingual, meme diambil dari sumber luar, lalu disesuaikan ke konteks lokal.

3. Prestise dan Identitas Sosial: Bahasa Inggris memberi kesan keren, intelektual, dan berkelas. Di kalangan anak Jaksel, menggunakan bahasa campur dianggap cara untuk tampil modern dan relate dengan dunia global.

4. Lingkungan Pendidikan dan Kerja: Sekolah internasional dan startup global yang berbasis di Jakarta banyak menggunakan Bahasa Inggris. Hal ini memperkuat penggunaan code-mixing bahkan dalam percakapan informal.

Fenomena bahasa campur-campur ini tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Ibarat koin dengan dua wajah, yang di satu sisi mencerminkan kreativitas generasi muda, tetapi di sisi lain juga menyimpan potensi masalah sosial dan budaya. Dari sisi positif, bahasa campur-campur jelas memperkaya cara berkomunikasi. Anak muda dapat mencampur dua bahkan tiga bahasa dalam satu kalimat tanpa kehilangan makna, dan justru menambah ekspresivitas pesan yang ingin disampaikan. Hal ini juga menunjukkan betapa luwesnya generasi muda dalam beradaptasi dengan arus globalisasi. Dengan menggabungkan Bahasa Indonesia, slang lokal, dan istilah asing, mereka memperlihatkan kemampuan menciptakan gaya komunikasi baru yang unik dan khas.

Namun, di sisi negatif, hal ini berpotensi menciptakan eksklusivitas. Mereka yang paham dianggap bagian dari “circle gaul” atau kelompok modern, sementara yang tidak mengerti bisa dipandang ketinggalan zaman. Akibatnya, bahasa campur-campur menjadi semacam “pagar sosial” yang memisahkan satu kelompok dengan yang lain. Jurang antar generasi pun semakin terasa; banyak orang tua merasa kebingungan atau bahkan asing dengan bahasa yang dipakai anak-anak mereka. Selain itu, tren ini secara tidak langsung mendorong bahasa daerah semakin terpinggirkan. Jika dibiarkan berlanjut tanpa ada kesadaran pelestarian, ada risiko bahasa ibu makin jarang digunakan dan perlahan hilang dari keseharian anak muda di kota besar.

Fenomena bahasa campur-campur anak muda Jakarta adalah cermin nyata bagaimana globalisasi dan digitalisasi mengubah cara kita berkomunikasi. Hal ini bisa membingungkan, mengundang kritik, bahkan menimbulkan jurang sosial. Namun, di sisi lain juga menunjukkan kreativitas dan fleksibilitas generasi muda dalam menghadapi dunia global. Daripada menilainya sekadar “sok Inggris”, kita bisa melihatnya sebagai bukti bahwa Bahasa Indonesia sedang berevolusi. Tantangannya adalah menjaga agar evolusi ini tetap inklusif, tidak meninggalkan bahasa daerah, dan mampu dipahami lintas generasi. Pada akhirnya, bahasa, entah campur, atau murni, adalah tentang membangun jembatan, bukan tembok.

Penulis: Nisrina Khansa Adhira & Yuni Sari Amalia S.S., M.A., Ph.D.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image