Duck Syndrome, Ketika Hidup Butuh Validasi Manusia
Agama | 2025-10-02 08:58:53
Istilah duck syndrome (atau sindrom bebek) naik lagi ke permukaan lini masa warganet, setelah merebak kasus gangguan kejiwaan (mental illnes). Kondisi sindrom ini dapat disederhanakan seperti bebek yang tampak tenang di permukaan air, sementara kakinya terus mengayuh kuat-kuat.
Mahasiswa Stanford University yang pertama kali mempopulerkannya, sebagai analogi dari kondisi seseorang yang tampak bahagia dengan kesuksesannya, prestasi, maupun penampilannya, namun di balik itu ia stres sebab berusaha keras menghalau seluruh tekanan hidupnya. Biasanya hal ini terjadi pada mahasiswa, pelajar, atau pekerja muda, yang mendapat tekanan sosial dan ingin terlihat berhasil di mata orang lain.
Akibatnya, menimbulkan sikap perfeksionisme, tak mau terlihat lemah, serta berusaha sama dengan citra ideal yang ditampilkan di media sosial. Alhasil sindrom ini tak hanya terjadi di Stanford, tetapi dialami pula oleh mahasiswa lain, termasuk Indonesia. Mereka berusaha memenuhi ekspektasi tinggi yang dibebankan lingkungan, kepada dirinya sendiri.
Lingkungan kompetitif semacam ini, lahir dari sekularisme yang menegasikan peran Allah SWT. Tanpa tolok ukur akidah, seseorang berusaha keras mencapai standar nilai yang dianut banyak orang. Akhirnya ia mengalami kecemasan, bahkan depresi, karena berusaha tenang meski kaki bebeknya terus mengayuh di bawah air. Jika tak segera mendapatkan pertolongan, maka ia bisa celaka.
Sementara sekularisme menghasilkan krisis multidimensi. Pilar kebebasan menjerat siapa pun yang ingin tampil sempurna di mata manusia. Karenanya tak mungkin sindrom ini diselesaikan oleh individu, tetapi perlu langkah-langkah strategis dan sistemik agar pribadi unggulan dapat melekat pada diri generasi kita. Bukan pribadi bebek.
Solusi Islam
Pada dasarnya kehidupan memang penuh dengan ujian. Banyak hal tak berjalan seperti yang kita harapkan. Hal ini diperparah dengan fondasi sekularisme yang menyandarkan aktivitas, tolok ukur dan tujuan kebahagiaan, kepada materi. Alhasil individu disibukkan dengan nilai-nilai fatamorgana buatan manusia. Tampak indah dipandang mata, namun tak memiliki nilai di hadapan Allah.
Karena sesungguhnya pemilik aturan yang sebenarnya adalah Allah Al-Mudabbir (Sang Pengatur). Maka seluruh aktivitas manusia pun wajib terikat dengan hukum Allah. Dialah yang membuat alam semesta beserta isinya ini, berjalan teratur dan sempurna. Begitu pun seluruh organ internal di tubuh manusia, bekerja rapi mengikuti arahan Ilahi Rabbi.
Maka bukan hal yang mustahil jika Allah pun memiliki perangkat aturan untuk kehidupan manusia. Bahkan pengaturan-Nya memastikan tercapainya ketentraman hati, terpuasnya akal, memiliki kesesuaian dengan fitrah manusia dan menghasilkan keberkahan.
Maka tak perlu riya' atau sum'ah, menunjukkan amal salih di ruang media sosial. Pun tak perlu flexing atau pamer keberhasilan, sebab semua hal itu bukan ajaran Islam. Kaum muslim tentu tak perlu validasi manusia, sebab aktivitasnya hanya untuk mendapatkan rida Allah semata.
Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d: 28).
Kembali kepada Allah adalah obat hati yang gelisah. Maka pola pikir (mindset) kita pun perlu digiring agar tunduk kepada Islam, dan seluruh aktivitas kita pun diarahkan sesuai tuntunan Allah SWT. Maka kita perlu berada dalam komunitas yang sehat dan kondusif, yang senantiasa mendorong kita pada kebaikan dan takwa. Sebab lingkungan yang toksik, hanya akan menjerumuskan kita dalam kompetisi yang tidak sehat dan melelahkan.
Hal ini pernah terjadi di masa lalu, ketika Rasulullah ﷺ mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, di Madinah. Muhajirin yang meninggalkan harta kekayaannya di Makkah, tidak merasa malu dan rendah diri. Sebaliknya orang-orang Anshar pun tak pamer kekayaan di hadapan Muhajirin, melainkan justru membantu meringankan beban mereka. Baik Muhajirin maupun Anshar sama-sama beriman, memperjuangkan agama Allah. Karenanya mereka memiliki nilai yang sama tingginya.
Islam juga memiliki solusi lainnya, yaitu dengan membentuk kehidupan Islam. Sebagaimana kita saksikan pada muslim Gaza hari ini, yang terus menerus bertaruh nyawa menghadapi genosida, namun kecintaan kepada Allah tak pernah pupus. Sementara mereka harus menghadapi senjata mematikan, kehilangan keluarga dan kerabat, kelaparan, penyakit, penderitaan, dan beragam bentuk ketakutan lainnya. Akan tetapi mereka memasrahkan hidupnya hanya kepada Allah.
Mereka tak mencari validasi manusia. Mereka juga tak berusaha tampil sempurna di hadapan orang lain. Namun dunia yang menatap mereka detik demi detik, menjadi saksi keagungan iman warga Gaza, yang menjaga tanah para nabi.
Ketabahan Gaza terlihat di ruang gawai: anak-anak tetap belajar mengaji dan menghafal Al-Qur'an, meski kehidupan mereka dibayang-bayangi kematian. Kebengisan Zionis bisa saja menghabisi nyawa mereka seketika itu juga. Namun mereka beraktivitas surga, seolah akan hidup panjang seribu tahun lamanya.
Mereka bahkan menyelesaikan studinya tanpa didampingi orang tua. Sebab bukan karir atau gelar yang mereka ingin capai, tetapi mereka menuntut ilmu semata-mata untuk mengejar rida Allah. Karenanya pendidikan tinggi pun dapat mereka tuntaskan meski orang tua mereka telah berpulang syahid, lebih dulu.
Para ibu Gaza senantiasa menutup aurat mereka dan melindungi anak-anak dari kejahatan perang. Mariam Abu Daqqa, seorang ibu jurnalis yang syahid di Gaza, menulis surat untuk anaknya Gaith.
" Aku ingin engkau mendoakanku, bukan menangisiku. Kelak setelah kamu dewasa, menikah dan punya anak perempuan, namai dia Mariam, sebagaimana namaku. Aku hanya menginginkan satu hal darimu, Gaith, shalatmu, shalatmu dan shalatmu.”
Sebagaimana kita tahu bahwa Mariam adalah nama istimewa. Sebab satu-satunya nama perempuan yang tercantum secara eksplisit dalam Alqur’an, bahkan digunakan sebagai nama surat. Shalat tak boleh ditinggalkan, sebab ia merupakan hal penting sebagaimana nasihat Luqman kepada anaknya.
"Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan."
Dari selembar surat Mariam itu kita belajar, bahwasanya surat ini tak hanya untuk Gaith, tapi untuk seluruh ibu di dunia. Kita menjadi paham datangnya kekuatan yang dimiliki Gaza selama ini, dari hati perempuan salihah, yang mengerti betul bagaimana mendidik anak-anaknya. Kesalihan itu hanya akan didapat melalui Islam. Seandainya sistem hari ini ditata sebagimana Allah mengaturnya, tentu para ibu dapat membentuk buah hatinya agar memiliki kepribadian yang baik.
Para ayah pun tetap tabah saat satu demi satu anggota keluarganya syahid membela agama Allah. Seorang ayah di Gaza berkata, "Kami tidak akan meninggalkan Gaza, meskipun mereka merobohkan semua menara. Kami tidak akan pergi ke selatan atau mengungsi ke luar negeri."
Orang tua di Gaza tidak mewariskan harta, namun mereka meninggalkan izzah, keteguhan dan kekuatan, untuk terus berusaha mempertahankan Masjidil Aqsha dan tanah kharajiyah.
Kepribadian mulia ini, nyata adanya. Mereka tidak sedang berpura-pura atau pencitraan. Sejatinya mereka memang menyandarkan hidup dan mati, hanya kepada Allah pemilik alam semesta. Ini membuktikan bahwa Islam mampu membina calon pemimpin peradaban. Hal inilah yang seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi yang mengidap duck syndrome.
Maka memperbaiki kepribadian generasi adalah dengan penerapan Islam kaffah. Tatkala kita mengembalikan tatanan kehidupan ini kepada Islam, maka saat itulah setiap individu memiliki aqliyah dan nafsiyah Islam. Jika hal tersebut melekat dalam diri umat, maka akan membentuk jati diri kaum muslim yang sesungguhnya yaitu khairu ummah. Allahumma ahyanaa bil Islam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
