Fenomena Job Hugging
Agama | 2025-10-01 21:12:48
Fenomena job hugging semakin marak di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Istilah ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk bertahan dalam satu pekerjaan meski sudah tidak lagi memiliki minat dan motivasi. Kondisi ini semakin terlihat nyata di tengah ekonomi global yang lesu, meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pasar kerja yang tidak bergairah. Perusahaan pun mengalami penurunan kinerja, sehingga sulit menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan bahwa job hugging lahir dari ketidakpastian pasar kerja. Para lulusan perguruan tinggi terjebak dalam situasi ini karena lebih memilih keamanan finansial ketimbang menganggur. Fenomena “asal bekerja daripada menganggur” seolah menjadi realitas pahit bagi para intelektual muda yang seharusnya bisa berkembang sesuai potensi mereka.
Penyebab Maraknya Job Hugging
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari kegagalan sistem kapitalisme global dalam menjamin pekerjaan yang layak bagi rakyat. Kapitalisme menempatkan negara hanya sebagai regulator, sementara kewajiban utama menyediakan lapangan kerja dilimpahkan kepada sektor swasta. Akibatnya, masyarakat dipaksa bergantung pada perusahaan yang orientasinya semata-mata mengejar keuntungan, bukan melayani kepentingan publik.
Lebih jauh, negara bahkan melegalkan penguasaan sumber daya alam oleh segelintir kapitalis. Kekayaan yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, justru dieksploitasi untuk kepentingan korporasi besar, baik lokal maupun asing. Hal ini menutup peluang besar penciptaan lapangan kerja berbasis sumber daya yang dimiliki bangsa.
Kapitalisme juga menjadikan praktik ekonomi non-riil dan ribawi sebagai pilar utama. Aktivitas seperti spekulasi, perdagangan derivatif, dan bunga pinjaman hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara nyaris tidak menggerakkan sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja secara luas. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam stagnasi pekerjaan tanpa ruang berkembang.
Di sisi lain, meskipun kurikulum perguruan tinggi terus disesuaikan agar adaptif dengan dunia kerja, hal ini tidak menyelesaikan masalah mendasar. Prinsip liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa, justru membuat negara semakin lepas tangan dalam memastikan warganya memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Para lulusan akhirnya hanya dipersiapkan untuk bersaing dalam pasar kerja yang sempit, bukan untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Alternatif Solusi: Islam Menjamin Pekerjaan
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memandang bahwa negara adalah pihak yang ertanggung jawab utama dalam mengurus rakyat, termasuk dalam hal penyediaan lapangan kerja. Hal ini ditegaskan dalam Muqaddimah Dustur pasal 153, yang menyebutkan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, maupun pekerjaan.
Dalam sistem Khilafah, penyediaan lapangan kerja tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Negara mengelola langsung sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, bukan menyerahkannya kepada korporasi asing atau swasta. Hasil pengelolaan ini menjadi modal kuat untuk pembangunan industri yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan.
Selain itu, konsep ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati) menjadi salah satu kebijakan penting. Negara memberikan tanah produktif kepada warganya yang mampu mengelolanya. Bila seseorang tidak memiliki modal, negara akan memberikan bantuan modal, sarana produksi, bahkan keterampilan agar mereka bisa bekerja secara mandiri. Dengan demikian, lapangan kerja tidak hanya terbatas pada sektor formal, tetapi juga terbuka luas dalam sektor pertanian, industri, dan perdagangan yang sehat.
Dalam Islam, pendidikan dan pekerjaan dibingkai oleh ruh keimanan. Rakyat bekerja bukan semata-mata karena tekanan kebutuhan finansial, melainkan karena dorongan ibadah kepada Allah. Standar halal dan haram menjadi pegangan dalam setiap aktivitas ekonomi, sehingga arah pembangunan tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga keberkahan. Begitu pula negara, yang melayani urusan rakyatnya dengan motivasi ibadah, bukan demi kepentingan politik atau oligarki.
Penutup
Fenomena job hugging sesungguhnya adalah cerminan kegagalan kapitalisme dalam menyediakan kepastian kerja dan kesejahteraan bagi rakyat. Selama negara hanya bertindak sebagai regulator dan menyerahkan pengelolaan ekonomi kepada segelintir kapitalis, maka rakyat akan terus terjebak dalam kondisi serba terbatas, bahkan kehilangan motivasi dalam bekerja.
Islam menawarkan solusi mendasar dengan menjadikan negara sebagai penanggung jawab penuh atas urusan rakyat, termasuk dalam penyediaan lapangan kerja. Melalui pengelolaan sumber daya alam, pembangunan industri, ihya’ul mawat, serta dukungan modal dan keterampilan, rakyat akan memiliki akses luas terhadap pekerjaan yang layak. Lebih dari itu, ruh keimanan menjadikan pekerjaan bukan sekadar alat bertahan hidup, tetapi juga jalan ibadah yang bernilai akhirat.
Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, fenomena job hugging tidak akan lagi menjadi momok yang mengekang generasi muda. Sebaliknya, mereka akan tumbuh sebagai pribadi produktif, penuh semangat, dan mampu memberikan kontribusi terbaik bagi peradaban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
