Menilik Wacana Tax Amnesty Jilid 3
Bisnis | 2025-10-01 20:50:31
Wacana Kebijakan Tax Amnesty
Kebijakan pengampunan pajak dapat diibaratkan seperti seorang pemilik properti yang memberikan diskon besar kepada penyewa yang telah lama menunggak, sementara para penyewa lain yang selalu membayar sewa tepat waktu tidak mendapatkan penghargaan apa pun. Meskipun sebagian tunggakan akhirnya terbayar, rasa keadilan bagi mereka yang selama ini patuh menjadi taruhannya.
Analogi inilah yang membayangi wacana Tax Amnesty Jilid 3 yang kembali mengemuka. Rencana ini telah resmi masuk ke dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029, seakan membuka babak baru dalam kebijakan fiskal Indonesia. Namun, di balik sorotan tersebut, muncul pertanyaan fundamental: apakah ini solusi nyata untuk penerimaan negara, atau sekadar repetisi kebijakan yang mengorbankan rasa keadilan?
Ingatan Dua Jilid Tax Amnesty Sebelumnya
Sejak Tax Amnesty pertama kali diperkenalkan pada 2016, pemerintah menekankan urgensi kebijakan ini untuk menarik dana masyarakat Indonesia yang disimpan di luar negeri, sekaligus memperluas basis pajak domestik. Tax Amnesty Jilid 1 bahkan disebut sebagai salah satu yang tersukses di dunia, dengan deklarasi harta mencapai lebih dari Rp 4.800 triliun. Namun, keberhasilan itu tidak lepas dari kritik. Banyak pihak menilai pengampunan pajak seakan memberi hadiah kepada para wajib pajak yang sebelumnya abai terhadap kewajiban mereka. Pertanyaan kritis yang muncul: bagaimana dengan jutaan wajib pajak yang selama ini patuh? Apakah kepatuhan mereka benar-benar dihargai negara?
Pada 2022, pemerintah kembali membuka program pengungkapan sukarela (PPS) atau yang sering disebut Tax Amnesty Jilid 2. Meski tak sebesar jilid pertama, program ini tetap berhasil menghimpun ribuan triliun rupiah deklarasi harta. Sekali lagi, perdebatan soal keadilan pun mengemuka. Bagi masyarakat kelas menengah yang taat membayar pajak, kebijakan ini dipandang kurang adil karena mereka yang “nakal” justru mendapat pintu masuk untuk memperbaiki catatan pajaknya dengan tarif lebih ringan. Banyak pengamat menilai PPS hanya mengulang pola lama: memberi tiket bersih tanpa membangun kepatuhan yang berkelanjutan.
Hasilnya, budaya “tunggu amnesti” masih mengakar. Wajib pajak cenderung berpikir bahwa menunda kewajiban bisa lebih menguntungkan, karena suatu saat akan ada kesempatan untuk mengungkap dengan biaya lebih ringan. Ini yang disebut moral hazard: ketika hukuman menjadi ringan, pelanggaran dianggap tidak lagi berisiko.
Perkembangan Sejauh Ini
Tahun 2025, kabar ini kembali muncul: Tax Amnesty Jilid 3 resmi dimasukkan ke dalam daftar panjang Prolegnas 2025–2029. Namun, DPR dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan ini tidak akan berlaku pada tahun ini. Masih tahap awal, sebatas rencana legislasi, belum sampai pada bentuk program yang konkret. Yang lebih menarik adalah sikap pemerintah. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak keras gagasan pengampunan pajak berulang. Dalam pandangannya, amnesti yang dilakukan berkali-kali akan merusak kredibilitas negara. Publik akan menganggap bahwa pelanggaran pajak bukanlah kesalahan serius, melainkan strategi menunggu “diskon” berikutnya.
Penolakan ini diperkuat dengan suara publik. Serikat buruh dan pengusaha kompak menentang. Mereka menilai amnesti hanyalah bentuk ketidakadilan: yang selama ini patuh tidak pernah mendapatkan penghargaan, sementara yang lalai justru diberi kemudahan.
Dengan kondisi ini, jalan menuju Tax Amnesty Jilid 3 masih panjang. Meskipun masuk daftar panjang Prolegnas, realisasinya masih penuh tanda tanya. Bisa jadi berubah bentuk, bisa jadi tertunda, atau bahkan dibatalkan.
Dilema Klasik Tax Amnesty
Wacana Tax Amnesty Jilid 3 kembali memunculkan dilema klasik: antara kebutuhan pragmatis menambah penerimaan negara dan idealisme membangun sistem pajak yang adil. Di satu sisi, negara butuh dana besar untuk pembangunan. Namun, di sisi lain, masyarakat yang taat pajak merasa dikhianati ketika pengemplang justru diberi karpet merah. Pertanyaan pun muncul: sampai kapan pelanggar terus diberi maaf, sementara yang patuh hanya menanggung beban?
Pengalaman tax amnesty sebelumnya menunjukkan bahwa kepatuhan pajak pasca-program tidak stabil. Hal ini menegaskan bahwa tax amnesty bukan solusi tunggal. Jika digunakan terlalu sering, efektivitasnya menurun dan berpotensi menciptakan moral hazard.
Karena itu, tax amnesty seharusnya dipandang hanya sebagai instrumen sementara. Yang lebih mendesak adalah reformasi struktural, penguatan sistem, dan pembangunan kepercayaan publik. Tanpa itu, tax amnesty hanyalah pereda sakit, bukan penyembuh penyakit.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
