Anak Muda dan Krisis Literasi Baca di Era Digital
Pendidikan dan Literasi | 2025-10-01 16:57:44
Indonesia sedang menghadapi fenomena paradoks. Di satu sisi, kita tengah menikmati bonus demografi dengan jumlah generasi muda yang melimpah, namun di sisi lain kita justru dihantui oleh krisis literasi baca yang mengkhawatirkan. Data UNESCO menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen; artinya dari seribu orang, hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca secara serius. Di era ketika informasi berlimpah melalui teknologi digital, anak muda cenderung lebih dekat dengan gawai, media sosial, dan konten visual instan ketimbang buku yang menuntut kesabaran serta konsentrasi. Kondisi ini bukan sekedar kebiasaan sehari-hari, melainkan persoalan serius yang akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia bangsa di masa depan.
Mengapa Minat Baca Rendah?
Ada sejumlah faktor yang membuat minat baca anak muda kian menurun. Pertama, budaya instan yang terbentuk dari media sosial. Platfom digital melatih generasi muda untuk terbiasa dengan teks pendek, gambar, atau video singkat, sehingga fokus mereka semakin sulit diarahkan pada bacaan panjang yang membutuhkan analisis mendalam. Kedua, akses bacaan yang tidak merata. Meskipun ada ribuan e-book gratis di internet, faktanya tidak semua daerah memiliki jaringan internet yang memadai, dan perpustakaan di banyak daerah masih jauh dari kata ideal.
Selain itu, kurangnya teladan dari ingkungan keluarga maupun sekolah turut memperparah keadaan. Anak-anak yang sejak kecil tidak terbiasa membaca akan sulit menumbuhkan minat tersebut di kemudian hari. Faktor ekonomi pun berperan: Akibatnya, banyak anak muda lebih memilih mengalokasikan dana mereka untuk hiburan digital ketimbang membeli buku. Belum lagi stigma sosial yang menganggap membaca buku bukan gaya hidup yang popular, sehingga literasi sulit tumbuh menjadi kebiasaan massal.
Peran Teknologi: Ancaman Sekaligus Solusi
Teknologi sering dituding sebagai penyebab menurunnya minat baca. Memang benar, gawai dan media sosial menyita banayk waktu generasi muda. Namun jika dimanfaatkan dengan bijak, teknologi juga bisa menjadi solusi. Platfom digital kini menyediakan berbagai inovasi literasi: aplikasi e-book, audiobook, forum diskusi daring, hingga perpustakaan digitas yang dapat diakses dari ponsel.
Tren literasi di media sosial pun mulai muncul, misalnya komunitas “bookstagram” atau “booktok” yang merekomendasikan bacaan dan mengulas isi buku secara kreatif. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda sebenarnya tidak menolak membaca, hanya saja mereka membutuhkan format dan cara penyajian yang lebih sesuai dengan kehidupan digital. Dengan pendekatan yang tepat, teknologi bisa menjadi jembatan yang memperluas akses literasi hingga ke pelosok.
Refleksi Pribadi: Membaca Sebagai Investasi
Sebagai mahasiswa, saya merasakan bagaimana membaca bukan sekedar kewajiban akademik, melainkan kebutuhan untuk memperkaya wawasan. Buku mempertemukan kita dengan pemikiran para tokoh besar, membuka cakrawala baru, dan melatih pola pikir kritis. Namun, saya juga menyadari betapa mudahnya aktivitas membaca kalah oleh godaan “scroll” tanpa henti di media sosial. Dari pengalaman itu saya belajar, membaca membutuhkan kesadaran bahwa literasi adalah bentuk investasi diri.
Tanpa kebiasaan membaca yang baik, generasi muda akan rentan terhadap pola pikir dangkal: mudah percaya pada informasi palsu, sulit berpikir kritis, dan tidak terbiasa dengan diskusi mendalam. Padahal tantangan masa depan, mulai dari perubahan iklim, kompetisi ekonomi global, hingga perkembangan teknologi, menuntut kemampuan analitis yang tajam. Semua itu hanya biasa diasah dengan tradisi membaca yang kuat.
Menghidupkan Kembali Budaya Baca
Krisis literasi baca di kalangan anak muda memang nyata, tetapi bukan berarti tanpa jalan keluar. Kita membutuhkan ekosistem yang mendukung dari berbagi pihak. Keluarga dapat membiasakan membaca sejak dini, sekolah perlu menghadirkan program literasi yang krearif dan menyenangkan, sementara pemerintah dapat memperluas akses buku murah dan berkualitas. Media sosial pun bisa menjadi sarana kampanye literasi yang inovatif, agar membaca terlihat keren di mata anak muda.
Generasi muda Indonesia harus berani mengubah orientasi mereka, dari sekadar konsumen hiburan instan menjadi insan yang haus pengetahuan. Membaca bukan aktivitas kuno, melainkan pintu menuju masa depan yang lebih cerah. Tanpa literasi, bonus demografi hanya akan menjadi beban. Tetapi dengan tradisi membaca yang kokoh, anak muda Indonesia dapat menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
Penulis:
Shabrina Nur Rahma Sari, Mahasiswa Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
