Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jeje Zaenudin

Ricuh di Muktamar PPP: Marwah Islam yang Tercoreng, Cermin Krisis Akhlak Politik

Politik | 2025-10-01 12:42:14

Oleh: Jeje ZaenudinMahasiswa Hukum UBP Karawang | Aktivis Pemuda Agamis-Marhaenis

Kericuhan dalam Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) baru-baru ini kembali menyita perhatian publik. Forum tertinggi partai yang seharusnya menjadi ajang musyawarah dan pemersatu kader, justru diwarnai ketegangan dan konflik antar-kubu. Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar: ke mana arah perjuangan partai yang membawa nama “Persatuan” dan lambang Ka’bah itu?
Sebagai partai berlatar Islam, PPP seharusnya menjadikan musyawarah, ukhuwah, dan keikhlasan sebagai landasan utama. Lambang Ka’bah yang diusung bukan sekadar simbol politik, melainkan lambang kesucian dan persatuan umat Islam. Ironisnya, simbol suci itu kini tercoreng oleh dinamika internal yang lebih mengedepankan ambisi kekuasaan dibanding semangat persaudaraan.
Al-Qur’an telah mengingatkan:
> “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Ketika partai yang membawa simbol keislaman justru terjebak dalam pertikaian, marwah Islam ikut dipertaruhkan. Politik seharusnya menjadi alat perjuangan moral, bukan ajang perebutan kepentingan. Konflik yang terjadi tidak hanya merugikan partai, tapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap politik berbasis agama.
Dari sudut pandang Marhaenisme, politik sejati harus berpihak pada rakyat kecil, bukan terjebak dalam perebutan elit. Bung Karno menegaskan bahwa politik adalah jalan pengabdian. Ketika partai kehilangan arah perjuangan dan justru larut dalam konflik internal, maka kaum marhaen (istilah yang digunakan Bung Karno untuk menyebut rakyat kecil) yang seharusnya dibela, justru sering menjadi pihak yang paling dirugikan.
Peristiwa ini menjadi peringatan bagi seluruh organisasi yang membawa nama Islam. Simbol agama tidak boleh dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Agama bukan sekadar atribut, melainkan pedoman moral. Jika nilai-nilai Islam tidak tercermin dalam perilaku politik, maka perjuangan kehilangan ruhnya.
Membangun politik yang berakhlak adalah tanggung jawab bersama, terutama bagi generasi muda. Politik yang baik lahir dari niat yang bersih dan tujuan mulia: menegakkan keadilan, menjaga persatuan, dan mengabdi kepada rakyat.
Kericuhan di Muktamar PPP semestinya dijadikan cermin untuk introspeksi. Sudah saatnya seluruh partai Islam dan organisasi keagamaan kembali menegakkan nilai-nilai ukhuwah, musyawarah, dan amanah dalam berpolitik. Hanya dengan cara itu, marwah Islam dapat dijaga dan kepercayaan publik dapat dipulihkan.

Momen lempar kursi dalam pembukaan Muktamar X PPP di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (27/9/2025). (FOTO : Bayu Adji P/Republika

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image