Ekonomi di Dorong di Jalan yang Buntu
Politik | 2025-10-01 10:37:22
Oleh Dra. Rahma
Praktisi Pendidikan
Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengumumkan kebijakan mengalirkan sebagian dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari saldo yang selama ini mengendap di Bank Indonesia kepada lima bank milik negara (Himbara). Dana ini berasal dari sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA) yang terakumulasi bertahun-tahun akibat rendahnya penyerapan anggaran.
Rinciannya: BNI, Mandiri, dan BRI masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta BSI Rp10 triliun. Dana tersebut ditempatkan dengan bunga 4 persen, atau 80 persen dari suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate).
Menurut Menkeu yang mengagumi Milton Friedman-tokoh utama neoliberalisme-ekonomi membutuhkan tambahan likuiditas untuk tumbuh. Kucuran dana di-harapkan mendorong bank menyalurkan kredit ke sektor riil dengan bunga lebih rendah. Kredit itu nantinya dipakai untuk investasi, konsumsi, maupun modal kerja.
Namun, persoalan utama bukanlah kurangnya likuiditas. Data menunjukkan dana menganggur perbankan sudah sangat besar. Per Juni 2025, simpanan perbankan di Bl mencapai Rp921 triliun, sementara yang diparkir di surat berharga yang mencapai Rp2.316 triliun. Tambahan Rp200 triliun ini hanya menambah tumpukan likuiditas tanpa kepastian mengalir ke sektor riil.
Masalah terletak pada sistem bunga dan insentif perbankan. Bank memang punya dana, tetapi lebih memilih menaruhnya di instrumen aman seperti SBN atau fasilitas Bl ketimbang menyalurkan kredit yang berisiko. Akibatnya, dana besar berputar di sektor keuangan, sementara UMKM dan sektor produktif tetap kesulitan akses pembiayaan. Sebagai gambaran, suku bunga kredit BPR pada Juni 2025 untuk sektor pertanian masih setinggi 25 persen.
Lebih jauh, sistem bunga membuat pemerintah terbebani biaya pembayaran bunga yang mencapai Rp600 triliun pada RAPBN 2026, hampir 20 persen belanja pemerintah pusat. Artinya, negara ikut tersandera oleh logika bunga.
Kebijakan Menkeu ini jelas keliru menurut Islam. Sistem ekonomi Islam berdiri di atas prinsip berbeda. Pertama, larangan riba meniadakan beban bunga utang. Jika pembayaran bunga Rp600 triliun per tahun dihapus, dana itu bisa dialihkan untuk sektor produktif dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, Islam melarang penimbunan harta (kanzul mal). Prinsip ini mencegah dana besar menganggur namun tetap menghasilkan bunga. Modal harus dialirkan ke aktivitas riil, bukan sekadar diparkir. Ketiga, mekanisme pembiayaan Islam mengenal instrumen syirkah mudharabah (bagi hasil) dan qard alhasan (pinjaman tanpa bunga). Skema ini tidak menjerat pelaku usaha dengan beban tetap, melainkan mendorong berbagi risiko dan hasil. Ini membuka akses lebih luas, termasuk bagi UMKM.
Keempat, penerimaan negara akan lebih kuat bila sumber daya alam seperti migas, mineral, dan batu bara dikelola langsung oleh negara, bukan swasta. Dana dari pengelolaan SDA akan sangat besar untuk menggerakkan sektor riil.
Alhasil, selama sistem kapitalistik berbasis pajak dan utang tetap menjadi fondasi, kebijakan parsial seperti ini hanya menjadi tambalan jangka pendek. Sebaliknya, penerapan ekonomi Islam secara menyeluruh akan membuat sektor riil bergerak lebih cepat dengan arah yang diridai Allah SWT dan Rasul-Nya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
