Tokoh Muslim Komunis Indonesia yang Nyaris Terlupakan: Haji Muhammad Misbach
Sejarah | 2025-09-30 12:18:51
Islam dan komunisme seringkali dipandang sebagai dua ideologi yang bertolak belakang. Islam berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan dan wahyu, sedangkan komunimse menganut prinsip-prinsip materialism sekuler yang cenderung atheis. Islam mengakui adanya hak milik pribadi dengan batasan moral (misalnya kewajiban zakat dan larangan riba), sebaliknya, komunisme menyerukan penghapusan kepemilikan pribadi demi tercapainya masyarakat tanpa kelas. Selain du aitu, masih banyak lainnya. Perbedaan prinsipil tersebut membuat Islam dan komunisme sering dianggap mustahil dipertautkan. Meskipun demikian, paradoksnya, kedua ideologi tersebut memiliki kesamaan dalam semangat perjuangan keadilan sosial bagi kaum tertindas. Baik Islam maupun komunisme sama-sama menentang penindasan dan ketidakadilan yang lahir dari sistem yang eksploitatif. Islam menekankan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bersama, misalnya melalui ajaran zakat/sedekah untuk mendistribusikan kekayaan secara adil, serta melarang riba yang dianggap eksploitatif. Di sisi yang berbeda, komunisme memperjuangkan kaum buruh dan rakyat kecil dengan cara menghapus sistem kapitalisme yang dianggap menindas. Kesamaan visi inilah yang memungkinkan munculnya upaya-upaya menjembatani Islam dan komunisme. Bahkan dalam kaca mata sejarah, pernah ada tokoh Muslim yang mencoba menyatukan dua ideologi yang tampaknya bertolak belakang ini. sosok tersebut hampir-hampir dilupakan sejarah, yakni Haji Muhammad Misbach.
Haji Mohammad Misbach (1876–1926) – kerap disebut Haji Misbach – adalah salah satu tokoh pergerakan Islam di Indonesia yang paling dikenal karena kedekatannya dengan paham komunisme. Ia bahkan dijuluki “Haji Merah” karena pandangan kiri dan aktivitas revolusionernya. Lahir di Kauman, Surakarta, pada tahun 1876 dari keluarga pedagang batik yang religius, Misbach mendapatkan pendidikan agama di pesantren dan sempat mengenyam sekolah bumiputra Ongko Loro selama beberapa bulan. Latar belakang religius dan pemahamannya terhadap ajaran Islam cukup mendalam sejak muda. Ia turut mendirikan kelompok pengajian dan madrasah di Surakarta, lalu bergabung dengan organisasi Sarekat Islam (SI) yang ketika itu menjadi wadah perlawanan kaum pribumi terhadap penjajahan. Namun, pada akhirnya Ia keluar dan bergabung dengan partai Komunis.
Pemikiran Haji Mohammad Misbach Terhadap Islam-Komunis
Secara spesifik, Haji Misbach menyoroti kesesuaian nilai-nilai ekonomi Islam dengan prinsip komunisme. Islam, misalnya, mewajibkan zakat dan menganjurkan sedekah sebagai mekanisme pemerataan kekayaan yang adil, serta melarang praktik riba karena bersifat eksploitatif. Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam menentang penumpukan kekayaan pada segelintir orang dan menghendaki kesejahteraan kolektif, yang pada hakikatnya berlawanan dengan sistem kapitalisme. Sementara itu, komunisme secara teoretis mengkritik kapitalisme sebagai sumber kesenjangan sosial-ekonomi dan eksploitasi, sehingga mengusulkan penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi serta pengelolaan ekonomi secara kolektif demi terwujudnya kesetaraan. Bagi Misbach, kedua ajaran ini sama-sama mengecam ketidakadilan dan penindasan, hanya berbeda terminologi dan pendekatan. Ia menegaskan bahwa Islam dan komunisme sama-sama menginginkan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera, membela hak-hak rakyat kecil yang selama ini terabaikan.
Dalam upaya memadukan dua arus pemikiran tersebut, Misbach bersikap selektif dan kontekstual. Ia secara tegas menolak aspek komunisme yang bertentangan dengan akidah Islam, terutama doktrin ateisme dan pandangan anti-agama kaum komunis garis keras. Kritik Misbach terhadap komunisme atheistik sangat jelas: baginya, komunisme tanpa spiritualitas akan kehilangan pijakan etis. Ia berbeda pendapat dengan slogan Marx tentang agama sebagai candu; menurut Misbach, Islam justru dapat menjadi mitra perjuangan kaum tertindas, bukan musuh mereka. Karena itu, Misbach mengajak kaum komunis untuk tidak memusuhi agama, melainkan melihat nilai-nilai revolusioner dalam Islam. Di sisi lain, Misbach juga mengkritik kalangan Islam konservatif yang antipasti terhadap nilai komunisme. Ia menilai penolakan total terhadap komunisme. Bagi Misbach, banyak prinsip komunisme yang sejalan dengan nilai-nilai Islam – seperti antikapitalisme, antiimperialisme, dan pembelaan kaum fakir miskin. Pendekatan integratif ini tampak dalam berbagai tulisan dan pidatonya, di mana ia mengutip ayat suci maupun dalil agama untuk mendukung kritiknya terhadap kapitalisme dan kolonialisme, sembari menggemakan seruan perjuangan kelas ala Marx dalam bahasa yang dapat diterima kalangan santri.
Untuk menyebarkan gagasan tersebut, Haji Misbach aktif menulis di media. Salah satu karyanya yang terkenal adalah seri artikel berjudul “Islamisme dan Komunisme” yang dimuat dalam surat kabar Medan Moeslimin secara bersambung sepanjang tahun 1924–1925. Dalam artikel-artikel itu, Misbach menjelaskan pandangannya bahwa umat Islam wajib “berjihad melawan penindasan” dalam konteks modern, yakni melawan kolonialisme dan kapitalisme. Ia menunjukkan dalil-dalil agama yang mendukung perjuangan kaum miskin, sekaligus mengutip teori sosialis untuk memperkaya argumen. Melalui tulisan tersebut, Misbach berupaya meyakinkan pembacanya (baik dari kalangan Islam maupun kaum pergerakan kiri) bahwa Islam dan komunisme dapat berjalan beriringan sebagai ideologi pembebasan. Bahkan, dalam salah satu edisinya, ia menyebut persatuan Islam dan komunisme sebagai syarat bagi tercapainya kemerdekaan sejati kaum pribumi.
Meski banyak kritik “komunisme Islam” ala Misbach tidak pernah terlembagakan secara resmi, ide bahwa Islam mengandung spirit anti-penindasan sejalan dengan nilai komunisme, telah memberi perspektif baru dalam memahami perjuangan umat Islam Indonesia di era kolonial. Pada akhirnya, pemikiran Haji Misbach mengingatkan bahwa nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesetaraan dapat mempertemukan ideologi-ideologi besar yang tampaknya bermusuhan, asalkan para pemeluknya bersedia mencari titik temu demi kemaslahatan rakyat banyak. Misbach telah mencoba membuktikan hal itu dengan tindakan dan pemikirannya – sebuah warisan yang kontroversial namun kaya akan pelajaran.
Daftar Pustaka:
1. Mochammad Fajar Firdaus et al. (2024). Pemikiran dan Pergerakan Politik Haji Misbach di Surakarta 1912–1926. Solo: UNS
2. Sulaiman Yusuf & Abil Arqam (2024). Islam dan Komunisme: Analisis Pemikiran Islam dan Epistemologi Pergerakan Haji Misbach. Peradaban: Journal of Religion and Society, 3(2): 130-146.
3. Muhammad Luthfi Nurhazami (2017). Haji Misbach "Pewarta Muslim Kiri". Skripsi S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
