Islam, Jalan Keluar dari Krisis Pekerjaan Pemuda yang tak Kunjung Usai
Agama | 2025-09-30 07:42:03Islam, Jalan Keluar dari Krisis Pekerjaan Pemuda yang Tak Kunjung Usai
Oleh : Ummu Awwabin
Dunia saat ini menghadapi krisis tenaga kerja global. Negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Cina tengah berhadapan dengan meningkatnya angka pengangguran. Bahkan muncul fenomena memprihatinkan: orang berpura-pura bekerja atau rela bekerja tanpa digaji hanya agar dianggap produktif. Kondisi ini menandakan adanya masalah mendasar pada sistem ekonomi global yang belum mampu menyediakan lapangan kerja layak dan berkeadilan.
Di tengah kondisi global yang suram, Indonesia mencatat tren berbeda. Indonesia memang mencatat penurunan angka pengangguran secara nasional. Namun, persoalan serius justru terletak pada generasi muda.
Dilansir dari CNBC Data BPS Februari 2025 mencatat ada sekitar 7,28 juta orang penganggur, dan lebih dari separuhnya (±52,64%) adalah pemuda usia 15–24 tahun. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kalangan anak muda bahkan mencapai 16,16%, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang hanya 4,76%. Angka ini jelas mengkhawatirkan, sebab generasi muda adalah aset bangsa sekaligus motor pembangunan di masa depan.
Fenomena ini mengindikasikan adanya kesenjangan keterampilan (skill gap) antara kebutuhan pasar kerja dengan kompetensi yang dimiliki lulusan muda. Banyak anak muda yang sudah menamatkan pendidikan, tetapi tidak segera terserap oleh pasar kerja. Akibatnya, mereka terjebak dalam pengangguran atau bekerja di sektor informal yang tidak menjamin kepastian dan kesejahteraan.
Kondisi ini dapat berimplikasi besar terhadap masa depan produktivitas bangsa. Generasi muda sejatinya adalah bonus demografi sekaligus penentu arah pembangunan. Jika potensi mereka tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi bukanlah bonus, melainkan ancaman berupa tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial.
Realitas ini sesungguhnya menyingkap kelemahan mendasar dari sistem ekonomi kapitalisme. Sebagai sistem yang kini mendominasi dunia, kapitalisme digadang-gadang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun faktanya, kapitalisme justru gagal memenuhi salah satu kebutuhan mendasar manusia, yaitu pekerjaan.
Kapitalisme menempatkan pekerjaan bukan sebagai hak dasar rakyat, melainkan sekadar konsekuensi dari mekanisme pasar. Siapa yang bisa bersaing, dialah yang mendapat pekerjaan. Siapa yang kalah, dibiarkan menganggur. Negara dalam sistem kapitalis tidak berkewajiban langsung menyediakan lapangan kerja, melainkan hanya bertindak sebagai regulator. Akibatnya, jutaan orang kehilangan pekerjaan tanpa ada jaminan perlindungan.
Padahal, tanpa akses terhadap pekerjaan yang layak, kesejahteraan mustahil terwujud. Tidak adanya penghasilan berarti hilangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Maka, krisis tenaga kerja global ini sesungguhnya adalah krisis kesejahteraan yang ditimbulkan oleh kegagalan kapitalisme.
Konsentrasi Kekayaan
Salah satu akar utama tingginya angka pengangguran adalah konsentrasi kekayaan yang hanya berputar di kalangan segelintir orang. Fenomena ini bukan hanya terjadi di level global, tetapi juga nyata di Indonesia.
Data Celios (Center of Economic and Law Studies) mencatat, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta rakyat Indonesia. Bayangkan, puluhan juta orang harus berbagi sumber daya yang nilainya sama dengan harta yang dikuasai hanya oleh puluhan orang saja.
Ketimpangan ini menunjukkan betapa kapitalisme menciptakan jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin. Orang kaya semakin leluasa memperbesar hartanya melalui akses modal, jaringan, dan kekuasaan. Sementara rakyat kecil semakin terpinggirkan, bahkan sulit mendapatkan pekerjaan untuk sekadar bertahan hidup.
Ironisnya, negara justru lepas tangan dari kewajiban utamanya. Alih-alih menyediakan lapangan kerja, negara cenderung menyerahkan urusan penciptaan pekerjaan kepada mekanisme pasar dan dunia industri. Padahal, industri saat ini pun tengah diguncang badai PHK massal, digitalisasi, dan ketidakstabilan global.
Alhasil, rakyat dibiarkan bersaing di pasar kerja yang semakin sempit tanpa ada jaminan keadilan. Inilah bukti nyata bahwa kapitalisme tidak hanya gagal menghapus pengangguran, tetapi justru memperparah ketimpangan sosial-ekonomi.
Solusi Semu
Di tengah meningkatnya angka pengangguran, pemerintah kerap menggaungkan berbagai program yang disebut sebagai solusi. Salah satunya adalah penyelenggaraan job fair atau bursa kerja di berbagai daerah. Sekilas, langkah ini tampak menjanjikan karena mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan. Namun faktanya, job fair tidak banyak menyelesaikan masalah.
Alasannya jelas, dunia industri saat ini justru sedang dilanda badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Banyak perusahaan merampingkan tenaga kerja akibat tekanan ekonomi global, efisiensi biaya, maupun dampak digitalisasi. Akibatnya, jumlah lowongan yang tersedia jauh lebih sedikit dibandingkan membludaknya pencari kerja. Job fair hanya menjadi etalase yang tidak sebanding dengan kebutuhan nyata.
Di sisi lain, pemerintah juga terus mendorong pembukaan sekolah dan jurusan vokasi. Harapannya, dengan pendidikan berbasis keterampilan, lulusan akan lebih mudah terserap dunia kerja. Akan tetapi, realitas membuktikan sebaliknya. Banyak lulusan vokasi justru tetap menganggur. Pasar kerja tidak mampu menampung mereka karena terbatasnya industri yang berkembang. Bahkan, sebagian lulusan bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya, menandakan adanya mismatch antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri.
Selama roda ekonomi dunia masih berputar dalam sistem kapitalisme, problem pengangguran tidak akan pernah menemukan jalan keluar. Kapitalisme tidak menempatkan pekerjaan sebagai hak rakyat yang harus dijamin negara, melainkan sekadar urusan pasar. Siapa yang kuat bersaing, dia yang dapat; siapa yang lemah, dibiarkan tersingkir.
Di bawah logika kapitalisme, perusahaan hanya mengejar efisiensi dan keuntungan. Tenaga manusia digantikan mesin, otomatisasi, dan digitalisasi. Maka, meskipun sekolah vokasi terus dibuka, dan ribuan lulusan baru hadir setiap tahun, lapangan kerja tak kunjung tersedia. Pasar kerja hanya menampung mereka yang dibutuhkan industri, bukan semua yang membutuhkan pekerjaan. Akibatnya, pengangguran menjadi penyakit menahun.
Solusi Islam
Dalam pandangan Islam, penguasa memiliki peran sebagai raa’in—yaitu pengurus urusan rakyat. Artinya, negara tidak boleh bersikap lepas tangan sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Justru negara berkewajiban memastikan setiap rakyatnya memiliki akses untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
Dengan peran negara yang aktif ini, Islam memastikan rakyat tidak hanya dijamin kebutuhannya, tetapi juga difasilitasi untuk mandiri. Inilah perbedaan mendasar dengan kapitalisme yang membiarkan rakyat bersaing sendiri di pasar bebas.
Selain memastikan rakyat memiliki akses terhadap pekerjaan, Islam juga mengatur agar kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang. Allah SWT berfirman:
> “ supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ” (QS. Al-Hasyr: 7).
Prinsip ini menjadi landasan bahwa kekayaan harus berputar dan memberikan manfaat luas, bukan hanya memperkaya elite atau korporasi besar. Untuk mewujudkan distribusi yang adil, Islam menetapkan sejumlah mekanisme:
Pertama, Pengelolaan kepemilikan umum (seperti tambang, energi, hutan, dan air) oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan pada swasta atau asing.
Ke dua, Penerapan zakat dan larangan riba, sehingga tidak terjadi penumpukan harta pada kelompok tertentu.
Ke tiga, Pencegahan monopoli dan praktik eksploitatif, yang biasanya menjadi pintu masuk konsentrasi kekayaan dalam kapitalisme.
Ke empat, Pendistribusian tanah dan aset produktif, agar rakyat memiliki sarana mencari nafkah.
Dengan sistem ini, Islam bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menjamin agar hasil kerja tidak kembali tersedot ke tangan segelintir orang. Distribusi yang adil memastikan roda ekonomi berputar untuk semua lapisan masyarakat, sehingga kesenjangan sosial dapat ditekan secara signifikan.
Selain itu dari segi pendidikan, Islam memandang pendidikan sebagai salah satu kunci penting untuk membangun manusia yang berdaya dan masyarakat yang sejahtera. Berbeda dengan paradigma kapitalisme yang menjadikan pendidikan sekadar jalan menuju lapangan kerja, Islam menjadikan pendidikan sebagai sarana membentuk insan berilmu, berkeahlian, dan berakhlak mulia.
Sehingga dalam sistem Islam kurikulum dirancang sesuai kebutuhan umat dan negara, sehingga lulusan benar-benar siap berkontribusi di bidangnya, bukan sekadar berkompetisi mencari pekerjaan.
Ilmu agama dan ilmu kehidupan berjalan beriringan, membentuk generasi yang tangguh secara spiritual, intelektual, dan profesional.
Negara menanggung biaya pendidikan hingga level tinggi, sehingga akses pendidikan tidak hanya milik kalangan kaya.
Fokus pada keahlian nyata, sehingga lahirlah tenaga kerja ahli di bidang pertanian, industri, perdagangan, teknologi, hingga administrasi pemerintahan.
Dengan pola pendidikan seperti ini, negara Islam mampu mencetak sumber daya manusia yang tidak hanya siap bekerja, tetapi juga siap memimpin dan menggerakkan peradaban. Hasilnya, masyarakat tidak lagi bergantung pada mekanisme pasar kapitalis yang penuh ketidakpastian, melainkan pada sistem yang benar-benar menyiapkan mereka untuk berkarya dan berkontribusi. Wallahu alam..
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
